Selasa, 07 September 2010

The Magdalene Sister

Ada rasa nyeri yang saya rasakan persis sama dengan ketika menonton Dogville beberapa waktu yang lalu. Melihat seseorang begitu disiksa, tidak secara gagap dan ribut seperti kebiasaannya, namun dengan hening dan sunyi ketika tusukan itu masuk semakin dalam dan menyesakkan dada.

Saya ingat pertama kali melihat film ini beberapa tahun yang lalu bersama seorang sahabat sebagai bagian dari pesta kecil-kecilan kami tidur bersama di kediaman kecilnya. Sebuah pilihan yang gak matching menampilkan film ini sebagai pengantar cekakak tawa kami. Dan yang saya ingat hanyalah, ini film tentang biarawati dengan ada adegan kontes (maaf) bulu kelamin di dalamnya. Adegan yang mengagetkan yang membuat saya menyuruh kawan saya itu untuk menghentikan film dan menggantinya dengan sesuatu yang lain.


Beberapa hari yang lalu, saya baru mengerti film ini tentang apa.


Ini berdasarkan kisah nyata. Mengenai sebuah tempat yang disebut Asylum Magdalene. Sebuah tempat laundry yang berada di bawah pengelolaan biara ordo Magdalene. Para pekerja di laundry ini adalah perempuan-perempuan yang dianggap telah jatuh ke dalam dosa dan dikucilkan, atau dihakimi oleh keluarga dan masyarakatnya. Di sini, para pendosa tersebut harus membayar kesalahan yang telah mereka lakukan dengan cara bekerja, dengan tanpa di bayar, sampai...entahlah. Nampaknya sampai mati. Dan yang namanya juga pendosa, tentu mereka tidak diperlakukan dengan baik-baik. Hari demi hari harus mereka telan dengan tanpa bisa berbuat apa-apa semua penghinaan, pelecehan, dan penyiksaan.


Film ini terinspirasi dari kisah nyata, tapi tidak secara penuh. Setelah terlalu banyak kasus kekerasan yang kemudian terungkap dan berujung dengan ditutupnya Assylum Magdalene pada tahun 1966, maka diadakan semacam wawancara kepada semua perempuan yang sampai saat itu masih ’bekerja’ di Assylum. Dari berbagai kisah ini kemudian di rangkum dan dihadirkan sebagai 3 orang perempuan.


Orang pertama adalah Margareth yang diperkosa oleh sepupunya. Ketika dia memberi tahu keluarga tentang kejadian yang menimpa dirinya, bukannya keadilan yang dia dapatkan, justru malapetaka. Dia dikirim ke Asylum Magdalene sebagai seorang (dianggap) pendosa. Perempuan kedua adalah Bernadatte, seorang gadis yatim piatu yang cantik dan centil. Senang menarik perhatian anak-anak lelaki di sekitarnya. Kemudian Rose/Patricia yang dikirim karena melahirkan anak sebelum waktunya (bisa karena memang hamil sebelum menikah atau lahir premature). Anak seperti itu, dianggap anak sial. Dan hanya terjadi karena memiliki ibu yang seorang pendosa. Dari ketiga orang ini, yang sejak awal terlihat sanggup untuk melawan adalah Margareth, walaupun tidak secara terbuka.


Margareth segera menemukan, bukan hanya teman, namun adalah orang yang dia lindungi yaitu Crispina. Seorang perempuan yang agak terbelakang dan memiliki permasalahan psikologis. Dia dikirim ke Assylum karena kasus yang sama dengan Rose. Crispina ini bukan hanya sering direndahkan, namun juga di lecehkan. Dan Margareth berusaha untuk merawat dan melindunginya, semampu yang dia bisa.


Bernadatte, pada awalnya tidak begitu peduli dan terkesan egois, namun kemudian dia berubah menjadi jauh lebih dewasa. Bersama Rose, dia kemudian merencanakan pelarian.

Two little mice fell into a bucket of cream

Two little mice fell into a bucket of cream. The first mouse quickly gave up and drowned, but the second mouse, he struggled so hard that he eventually churned that cream into butter and he walked out

Frank Abagnale, Jr - Catch Me If You Can

Sabtu, 28 Agustus 2010

Selasa, 24 Agustus 2010

akhir akhir ini

Akhir akhir ini, saya sedang ingin hening, dan ketenangan di sekitar saya. Saya sudah kehilangan moment awal puasa, dan rasa rindu yang biasanya saya rasakan. Gak ada. Terganti dengan beban pemikiran lain yang menghabiskan semua perhatian hati.

Saya benar-benar sedang ingin segalanya tersetting untuk tenang.

Maka saya begitu terganggu dengan suara-suara gaduh.

Minggu, 22 Agustus 2010

Tukang Ngamen Sendal

Saya itu kangen banget masa-masa kita bisa buka pintu depan dengan tenang.


Saya tumbuh di lingkungan keluarga, daerah kampung di Jakarta. Pintu rumah hampir selalu ngablak terbuka. Kemudian, tetangga bisa duduk ngobrol becengkrama. Bikin kue pas mau lebaran juga sama-sama. Hari ini bikin kue di rumah ibu ini, besok di rumah ibu itu. Kekeluargaan.


Sekarang, udah gak bisa lagi pintu ngablak terbuka. Gak tenang.


Bukan masalah keamanan, tapi masalah kenyamanan. Pintu rumah terbuka itu mengundang banget para pengamen dan tukang minta-minta serta pemohon sumbangan memohon-mohon di depan rumah. Bukan maksudnya pelit juga, cuma jaman sekarang, itu semua datang tidak berhenti.


Cobalah sesekali buka pintu, dalam waktu lima menit tau-tau ada yang mengucap salam minta sumbangan. Belum lima menit kemudian, ada orang nyanyi depan rumah.


Bener-bener gak nyaman.


Disini, di rumah yang saya tempati bareng Eni juga begitu. Sesekali buka pintu depan, langsunglah peminta sumbangan datang. Belum dua menit, datang lagi peminta sumbangan yang lain. Sampe heran!


Ini bahkan lebih parah dari di Jakarta.


Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan bapak pemilik warteg langganan, ini dikarenakan angka pengangguran di daerah coret baik Jawa Barat maupun Jakarta ini sungguh tinggi. Karena juga orang-orang disini rada membel kalo disuruh kerja keras.


Bikin bingung juga. Bukankah di daerah sini, perekonomiannya lagi meningkat tajam. Lapangan kerja lagi buka-bukaan, tuh! Emang bukan pekerjaan yang memberi hasil besar, tapi kan cukup menyerap tenaga kerja juga. Bahkan, bisa dikatakan, peluang buka usaha kecil-kecilan cukup mantap.


Ya, tapi orang yang akhirnya ngisi pekerjaan itu pendatang, Neng. Kata bapak itu. Kayak si Eneng ini. Dan yang buka usaha juga pendatang. Orang Jakarta yang pada beli tanah disini, trus buka kost-kostan. Bikin kontrakan. Bikin warteg, fotokopi, dan sebagainya. Bukan orang-orang sini.


Loh, kenapa gitu?


Orang sini mana ada yang sekolah tinggi. Lulus SMP juga Alhamdulillah. Liat aja anak-anak muda disini, nongkrong doang kerjaannya. Paling jadi tukang ojek. Kebanyakan yang kerja disini perempuannya. Kalo beruntung kerja di pabrik jadi buruh. Kebanyakan jadi pengasuh anak atawa pembantu para pendatang. Pengennya yang gampangnya aja orang sini. Ngamen atau pura-pura nyari sumbangan.


Ooo.....


Sebenernya, ini mau ngomongin tukang ngamen. Ngaku deh, kalo ada tukang ngamen di depan rumah, kita kasih duit buat dia karena apa? Terhibur dengan lagu yang dinyanyikan?


Enggak, kan?


Kita kasih duit buru-buru biar dia cepet pergi.


Kadang tukang ngamen itu baru aja salam blum sempet jreng gitar, kita udah lari ngasih duit. Hehehe…


Herannya, tukang ngamen itu gak tersinggung, yah…


Dulu pernah ada seorang kakek yang merupakan kakeknya salah satu anak kost ibu saya rada salah paham sama tukang ngamen. Ceritanya si kakek di kampong belum pernah tau tukang ngamen. Blum pernah ditemuinya. Satu-satunya tukang ngamen yang ditemuinya adalah tukang ngamen di dalam bus perjalanan ke Jakarta.


Kan beda, ya?


Kalo tukang ngamen dalam bus rada niat dikit. Nyanyi sampe selesai. Kadang bagus pula. Apalagi pengamen di KRL, beuh!! Bagus-baguuuus!! Niat banget bawa drums sama biola kadang keyboard sama celo juga dibawa.


Kembali kepada si kakek, yang dia paham, tukang ngamen itu nyanyi 3 lagu baru minta duit.


Nah, ceritanya si kakek lagi nyante di depan rumah saya, datanglah tukang ngamen. Tidak seperti normalnya orang langsung lompat ngasih duit, si kakek mah nyante aja diem. Sampe tukang ngamen itu selesai nyanyi satu lagu penuh!


Kebayang gimana betenya tuh pengamen.


Lalu saat si pengamen itu minta, si kakek bilang:


Kan baru satu lagu. Kurang dua lagu.


Huahaha....


Tapi dikasih juga sih uangnya sama si kakek.


Nah, beberapa hari yang lalu, saya dan Eni menyaksikan peristiwa yang bikin kita nyengir juga mengenai tukang ngamen. Ceritanya, setelah menghadapi kita yang sedang duduk santai di depan rumah (dan buru2 kita kasih duit biar cepet pergi), tu tukang ngamen menghadapi tetangga yang dari hari ke hari duduk aja di depan rumahnya. Nyanyi. Tetangga kita gak bergerak. Diem aja gitu. Kayak gak kepengaruh.


Pas tukang ngamen itu minta uang, tetangga kita memberi pandangan kesal:


Saya gak minta situ nyanyi. Situ aja yang nyanyi-nyanyi sendiri. Trus minta uang. Yang ada juga saya yang merasa terganggu harusnya marah sama situ.


Saya dan Eni bengong, lalu cekikikan.


Besok sorenya, pas ada tukang ngamen lagi, kita mau coba. Bukan marah-marahnya, tapi kita biarin aja. Dan kebetulan kesempatan itu datang saat kita berdua sedang masak di dapur sementara pintu depan terbuka. Lupa nutup.


Yaudah, kita sama-sama diem aja. Nunggu. Sambil ngintip.


Tukang ngamen itu nyanyi makin lama makin keras.


Biarin!!!!


Sampe akhirnya satu lagu habis dibawakan. Bete kali ye....


Kita tetep diem. Tetep ngintip. Sambil kasak kusuk.


Lalu:


‘permisiii… permisiiii…’


Kita tetep diem.


‘Bu…. Ibuuuuu….’


Diem.


‘PERMISIIIIIII!!!!’


Masih diem.


Gedor-gedor!!! Ampun dah! Gak nyerah tu orang!


Diem.


Lama-lama gak enak juga.


Akhirnya, Eni keluar dengan menggenggam dua uang logam lima ratusan.


’Udah gak ada.’ Katanya saat kembali ke dapur.


’Tukang ngamennya udah gak ada, AL.’ Lapor Eni. ’Tapi, sendal gua juga udah gak ada.’


Gubrak!!!

mudik?


Kamis, 19 Agustus 2010

Semester Berapa

Lagi-lagi ini terjadi. Heran! Apakah waktu tidak berputar di sekitar rumah ibu saya...

Berbaring sendirian di atas dipan. Pintu diketuk. Bangun. Menghampiri.

Orang diluar: Assalamualaikuuum... Assalamualaikum, Bu Haji..

Saya: Iya, iyaaaa... Duileh.. Wa'alaikum salam..

Tante Susi: Eh, si teteh. Mamanya ada, Teh?

Saya: Oooh, gak ada tuh Tante. Lagi diluar kota.

Tante Susi: Oh, gitu.. Yaudah nitip ini aja buat adekmu, ya... (ngejelasin ini itu...)

Saya: (mengangguk-angguk) Okeh.. Okeh...

Tante Susi: Gitu, ya, AL. Duh, cakep kamu mirip banget mamanya....

Saya: Hehe.. (menyeringai)

Tante Susi: Udah semester berapa, sih, AL? Kapan wisuda?

Hekkk!!!! Emangnya saya ada tampang mahasiswa abadi apa? Saya udah lulus sejak 6 tahun yang laluuu....