Selasa, 07 September 2010

The Magdalene Sister

Ada rasa nyeri yang saya rasakan persis sama dengan ketika menonton Dogville beberapa waktu yang lalu. Melihat seseorang begitu disiksa, tidak secara gagap dan ribut seperti kebiasaannya, namun dengan hening dan sunyi ketika tusukan itu masuk semakin dalam dan menyesakkan dada.

Saya ingat pertama kali melihat film ini beberapa tahun yang lalu bersama seorang sahabat sebagai bagian dari pesta kecil-kecilan kami tidur bersama di kediaman kecilnya. Sebuah pilihan yang gak matching menampilkan film ini sebagai pengantar cekakak tawa kami. Dan yang saya ingat hanyalah, ini film tentang biarawati dengan ada adegan kontes (maaf) bulu kelamin di dalamnya. Adegan yang mengagetkan yang membuat saya menyuruh kawan saya itu untuk menghentikan film dan menggantinya dengan sesuatu yang lain.


Beberapa hari yang lalu, saya baru mengerti film ini tentang apa.


Ini berdasarkan kisah nyata. Mengenai sebuah tempat yang disebut Asylum Magdalene. Sebuah tempat laundry yang berada di bawah pengelolaan biara ordo Magdalene. Para pekerja di laundry ini adalah perempuan-perempuan yang dianggap telah jatuh ke dalam dosa dan dikucilkan, atau dihakimi oleh keluarga dan masyarakatnya. Di sini, para pendosa tersebut harus membayar kesalahan yang telah mereka lakukan dengan cara bekerja, dengan tanpa di bayar, sampai...entahlah. Nampaknya sampai mati. Dan yang namanya juga pendosa, tentu mereka tidak diperlakukan dengan baik-baik. Hari demi hari harus mereka telan dengan tanpa bisa berbuat apa-apa semua penghinaan, pelecehan, dan penyiksaan.


Film ini terinspirasi dari kisah nyata, tapi tidak secara penuh. Setelah terlalu banyak kasus kekerasan yang kemudian terungkap dan berujung dengan ditutupnya Assylum Magdalene pada tahun 1966, maka diadakan semacam wawancara kepada semua perempuan yang sampai saat itu masih ’bekerja’ di Assylum. Dari berbagai kisah ini kemudian di rangkum dan dihadirkan sebagai 3 orang perempuan.


Orang pertama adalah Margareth yang diperkosa oleh sepupunya. Ketika dia memberi tahu keluarga tentang kejadian yang menimpa dirinya, bukannya keadilan yang dia dapatkan, justru malapetaka. Dia dikirim ke Asylum Magdalene sebagai seorang (dianggap) pendosa. Perempuan kedua adalah Bernadatte, seorang gadis yatim piatu yang cantik dan centil. Senang menarik perhatian anak-anak lelaki di sekitarnya. Kemudian Rose/Patricia yang dikirim karena melahirkan anak sebelum waktunya (bisa karena memang hamil sebelum menikah atau lahir premature). Anak seperti itu, dianggap anak sial. Dan hanya terjadi karena memiliki ibu yang seorang pendosa. Dari ketiga orang ini, yang sejak awal terlihat sanggup untuk melawan adalah Margareth, walaupun tidak secara terbuka.


Margareth segera menemukan, bukan hanya teman, namun adalah orang yang dia lindungi yaitu Crispina. Seorang perempuan yang agak terbelakang dan memiliki permasalahan psikologis. Dia dikirim ke Assylum karena kasus yang sama dengan Rose. Crispina ini bukan hanya sering direndahkan, namun juga di lecehkan. Dan Margareth berusaha untuk merawat dan melindunginya, semampu yang dia bisa.


Bernadatte, pada awalnya tidak begitu peduli dan terkesan egois, namun kemudian dia berubah menjadi jauh lebih dewasa. Bersama Rose, dia kemudian merencanakan pelarian.

Two little mice fell into a bucket of cream

Two little mice fell into a bucket of cream. The first mouse quickly gave up and drowned, but the second mouse, he struggled so hard that he eventually churned that cream into butter and he walked out

Frank Abagnale, Jr - Catch Me If You Can

Sabtu, 28 Agustus 2010

Selasa, 24 Agustus 2010

akhir akhir ini

Akhir akhir ini, saya sedang ingin hening, dan ketenangan di sekitar saya. Saya sudah kehilangan moment awal puasa, dan rasa rindu yang biasanya saya rasakan. Gak ada. Terganti dengan beban pemikiran lain yang menghabiskan semua perhatian hati.

Saya benar-benar sedang ingin segalanya tersetting untuk tenang.

Maka saya begitu terganggu dengan suara-suara gaduh.

Minggu, 22 Agustus 2010

Tukang Ngamen Sendal

Saya itu kangen banget masa-masa kita bisa buka pintu depan dengan tenang.


Saya tumbuh di lingkungan keluarga, daerah kampung di Jakarta. Pintu rumah hampir selalu ngablak terbuka. Kemudian, tetangga bisa duduk ngobrol becengkrama. Bikin kue pas mau lebaran juga sama-sama. Hari ini bikin kue di rumah ibu ini, besok di rumah ibu itu. Kekeluargaan.


Sekarang, udah gak bisa lagi pintu ngablak terbuka. Gak tenang.


Bukan masalah keamanan, tapi masalah kenyamanan. Pintu rumah terbuka itu mengundang banget para pengamen dan tukang minta-minta serta pemohon sumbangan memohon-mohon di depan rumah. Bukan maksudnya pelit juga, cuma jaman sekarang, itu semua datang tidak berhenti.


Cobalah sesekali buka pintu, dalam waktu lima menit tau-tau ada yang mengucap salam minta sumbangan. Belum lima menit kemudian, ada orang nyanyi depan rumah.


Bener-bener gak nyaman.


Disini, di rumah yang saya tempati bareng Eni juga begitu. Sesekali buka pintu depan, langsunglah peminta sumbangan datang. Belum dua menit, datang lagi peminta sumbangan yang lain. Sampe heran!


Ini bahkan lebih parah dari di Jakarta.


Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan bapak pemilik warteg langganan, ini dikarenakan angka pengangguran di daerah coret baik Jawa Barat maupun Jakarta ini sungguh tinggi. Karena juga orang-orang disini rada membel kalo disuruh kerja keras.


Bikin bingung juga. Bukankah di daerah sini, perekonomiannya lagi meningkat tajam. Lapangan kerja lagi buka-bukaan, tuh! Emang bukan pekerjaan yang memberi hasil besar, tapi kan cukup menyerap tenaga kerja juga. Bahkan, bisa dikatakan, peluang buka usaha kecil-kecilan cukup mantap.


Ya, tapi orang yang akhirnya ngisi pekerjaan itu pendatang, Neng. Kata bapak itu. Kayak si Eneng ini. Dan yang buka usaha juga pendatang. Orang Jakarta yang pada beli tanah disini, trus buka kost-kostan. Bikin kontrakan. Bikin warteg, fotokopi, dan sebagainya. Bukan orang-orang sini.


Loh, kenapa gitu?


Orang sini mana ada yang sekolah tinggi. Lulus SMP juga Alhamdulillah. Liat aja anak-anak muda disini, nongkrong doang kerjaannya. Paling jadi tukang ojek. Kebanyakan yang kerja disini perempuannya. Kalo beruntung kerja di pabrik jadi buruh. Kebanyakan jadi pengasuh anak atawa pembantu para pendatang. Pengennya yang gampangnya aja orang sini. Ngamen atau pura-pura nyari sumbangan.


Ooo.....


Sebenernya, ini mau ngomongin tukang ngamen. Ngaku deh, kalo ada tukang ngamen di depan rumah, kita kasih duit buat dia karena apa? Terhibur dengan lagu yang dinyanyikan?


Enggak, kan?


Kita kasih duit buru-buru biar dia cepet pergi.


Kadang tukang ngamen itu baru aja salam blum sempet jreng gitar, kita udah lari ngasih duit. Hehehe…


Herannya, tukang ngamen itu gak tersinggung, yah…


Dulu pernah ada seorang kakek yang merupakan kakeknya salah satu anak kost ibu saya rada salah paham sama tukang ngamen. Ceritanya si kakek di kampong belum pernah tau tukang ngamen. Blum pernah ditemuinya. Satu-satunya tukang ngamen yang ditemuinya adalah tukang ngamen di dalam bus perjalanan ke Jakarta.


Kan beda, ya?


Kalo tukang ngamen dalam bus rada niat dikit. Nyanyi sampe selesai. Kadang bagus pula. Apalagi pengamen di KRL, beuh!! Bagus-baguuuus!! Niat banget bawa drums sama biola kadang keyboard sama celo juga dibawa.


Kembali kepada si kakek, yang dia paham, tukang ngamen itu nyanyi 3 lagu baru minta duit.


Nah, ceritanya si kakek lagi nyante di depan rumah saya, datanglah tukang ngamen. Tidak seperti normalnya orang langsung lompat ngasih duit, si kakek mah nyante aja diem. Sampe tukang ngamen itu selesai nyanyi satu lagu penuh!


Kebayang gimana betenya tuh pengamen.


Lalu saat si pengamen itu minta, si kakek bilang:


Kan baru satu lagu. Kurang dua lagu.


Huahaha....


Tapi dikasih juga sih uangnya sama si kakek.


Nah, beberapa hari yang lalu, saya dan Eni menyaksikan peristiwa yang bikin kita nyengir juga mengenai tukang ngamen. Ceritanya, setelah menghadapi kita yang sedang duduk santai di depan rumah (dan buru2 kita kasih duit biar cepet pergi), tu tukang ngamen menghadapi tetangga yang dari hari ke hari duduk aja di depan rumahnya. Nyanyi. Tetangga kita gak bergerak. Diem aja gitu. Kayak gak kepengaruh.


Pas tukang ngamen itu minta uang, tetangga kita memberi pandangan kesal:


Saya gak minta situ nyanyi. Situ aja yang nyanyi-nyanyi sendiri. Trus minta uang. Yang ada juga saya yang merasa terganggu harusnya marah sama situ.


Saya dan Eni bengong, lalu cekikikan.


Besok sorenya, pas ada tukang ngamen lagi, kita mau coba. Bukan marah-marahnya, tapi kita biarin aja. Dan kebetulan kesempatan itu datang saat kita berdua sedang masak di dapur sementara pintu depan terbuka. Lupa nutup.


Yaudah, kita sama-sama diem aja. Nunggu. Sambil ngintip.


Tukang ngamen itu nyanyi makin lama makin keras.


Biarin!!!!


Sampe akhirnya satu lagu habis dibawakan. Bete kali ye....


Kita tetep diem. Tetep ngintip. Sambil kasak kusuk.


Lalu:


‘permisiii… permisiiii…’


Kita tetep diem.


‘Bu…. Ibuuuuu….’


Diem.


‘PERMISIIIIIII!!!!’


Masih diem.


Gedor-gedor!!! Ampun dah! Gak nyerah tu orang!


Diem.


Lama-lama gak enak juga.


Akhirnya, Eni keluar dengan menggenggam dua uang logam lima ratusan.


’Udah gak ada.’ Katanya saat kembali ke dapur.


’Tukang ngamennya udah gak ada, AL.’ Lapor Eni. ’Tapi, sendal gua juga udah gak ada.’


Gubrak!!!

mudik?


Kamis, 19 Agustus 2010

Semester Berapa

Lagi-lagi ini terjadi. Heran! Apakah waktu tidak berputar di sekitar rumah ibu saya...

Berbaring sendirian di atas dipan. Pintu diketuk. Bangun. Menghampiri.

Orang diluar: Assalamualaikuuum... Assalamualaikum, Bu Haji..

Saya: Iya, iyaaaa... Duileh.. Wa'alaikum salam..

Tante Susi: Eh, si teteh. Mamanya ada, Teh?

Saya: Oooh, gak ada tuh Tante. Lagi diluar kota.

Tante Susi: Oh, gitu.. Yaudah nitip ini aja buat adekmu, ya... (ngejelasin ini itu...)

Saya: (mengangguk-angguk) Okeh.. Okeh...

Tante Susi: Gitu, ya, AL. Duh, cakep kamu mirip banget mamanya....

Saya: Hehe.. (menyeringai)

Tante Susi: Udah semester berapa, sih, AL? Kapan wisuda?

Hekkk!!!! Emangnya saya ada tampang mahasiswa abadi apa? Saya udah lulus sejak 6 tahun yang laluuu....

Rabu, 18 Agustus 2010

Orang Bilang Ayah Teroris


Baru aja baca buku dengan judul diatas. Tipis. Menarik sekali. Berdasarkan catatannya Paridah Abas, istri terpidana mati Bom Bali I Ali Ghufron. Ini buku yang sudah lama banget ada di rak buku kami, tapi belum tertarik saya sentuh sampai hari ini.


Rasanya, tidak meyakinkan.


Ternyata, ini adalah buku yang tidak dapat diletakkan sampai selesai. Membawa saya di haru biru. Jenis buku yang setelah kita baca, akan membuat kita termangu-mangu dengan suasana.


Padahal, tulisannya sendiri sederhana sekali. Namun tiap patah kata, nampaknya ditulis dengan sepenuh hati. Sepenuh kasih sayang yang tercurah dari seorang perempuan kepada suaminya. Dari seorang ibu kepada anak-anaknya.


Kisah dimulai pada Ramadhan, ketika suami yang ditunggu janji untuk pulang, malah terdengar kabar ditangkap polisi. Paridah sedang di Indonesia saat itu, tertinggalkan di sebuah rumah kontrakan lusuh dengan selembar kasur dan tikar, serta peralatan rumah tangga yang jauh dari layak. Hamil dengan anak-anak yang masih kecil.


Suaminya meletakkannya beserta anak-anak di tempat itu lalu pergi. Dengan janji, akan pulang saat lebaran nanti. Tapi yang ditunggu tak kunjung datang.


Kisah bergulir silih berganti, antara masa kini dengan masa lalu yang saling lompat. Seakan kita sedang duduk dihadapannya yang bercerita, dengan tenang, dan baik hati, mengenai masa-masa yang mungkin adalah merupakan salah satu saat tergelap di hidupnya. Dari bingungnya menghadapi pertanyaan anak-anak tentang sang ayah yang tak kunjung datang, kemudian memori bagaimana dua orang yang pikirannya utara selatan ini bisa saling berdampingan.


Tulisannya mengisyaratkan bahwa dia adalah perempuan yang cerdas sekali, kritis, dan mandiri. Orang yang hanya bisa ditaklukan dengan ilmu. Kemudian suatu hari, dia mengutarakan keinginan kepada ayahnya bahwa dia ingin pergi ke Indonesia. Ingin menimba ilmu agama di pesantren. Ayahnya bilang, tidak usah ke Indonesia. Sang ayah akan mencarikan seorang ustadz untuknya. Paridah tentu senang. Dia menyangka bahwa ayahnya akan mendatangkan seorang ustadz sebagai gurunya. Tapi yang terjadi adalah, sang ayah mencarikan ustadz orang Indonesia untuk dinikahkan kepadanya.


Paridah menolak mati-matian.


Tapi kemudian, dia mengalah. Menurutnya, karena jelas tidak ada alasan syar’i yang dapat dipergunakannya untuk menolak pernikahan tersebut.


Saya baru sadar betapa menyesakkannya keadaan yang saat itu menjepitnya. Paridah adalah seorang warganegara Malaysia, tertinggalkan di negara asing baginya. Suaminya ditangkap dengan tuduhan yang begitu berat. Anak-anak serta keadaannya yang sedang hamil. Lalu tangan hokum pun sampai pula kepadanya saat dia harus dijerat UU imigrasi yang memojokannya. Semua passport dan surat-suratnya dibawa sang suami, dan entahlah dimana itu semua.


Namun, dalam keadaan paling menjepit pun, figure seorang ibu, seorang pendidik yang baik tetap mempertahankan bijaksananya. Kepada anak-anak, tidak ada suatu kebencian yang coba dia kobarkan kepada pihak yang lain. Dia tidak mengutuk, mengeluh, berurai ratap. Dia hidupkan pikiran dengan menahan diri, atau dialog yang terbuka.

Di Atas Pohon


The White Ribbon



Film Jerman pertama yang saya tonton. Bagoes!!


Selasa, 17 Agustus 2010

Udah Pantes Pake Baju Putih

Awalnya demam plus batuk yang tak kunjung berhenti. Batuk yang kemudian saya rasakan menyiksa. Membuat saya terjaga sepanjang malam didera kelelahan fisik karena tak tidur tak dapat berbaring. Tidak dapat. Sebab kalau berbaring, saya akan terbatuk hebat sampai muntah-muntah dan meneteskan air mata. Saya kira, saya kena pertusis atau apa. Batuk saya kemudian reda dan berangsur menghilang. Tapi saat tes ini dan itu sebelumnya, ada temuan tentang ketidak beresan dalam tubuh saya. Dokter mengirim saya ke dokter spesialis. Kemudian, dokter spesialis tersebut mengangguk menyatakan bahwa saya benar memang harus ditangani olehnya.


Heran, kaget, dan yang pasti takut.


Bagaimana tidak, ayah saya pun harus ditangani oleh spesialis yang sama tepat enam bulan sebelum beliau meninggal dunia. Keadaan inilah yang kemudian dinyatakan sebagai apa yang membawa beliau pergi, menurut laporan dokter yang memastikan kematiannya. Saat itu, usia ayah saya baru 45 tahun. Sekarang, apakah saya mendapat kehormatan untuk mengalami sakit yang sama dengan beliau?


Menyebalkannya adalah, ini membuat saya harus bolak balik ke RS. Dan setiap perjalanan menuju ke sana, rasanya memberat di dada saya. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga pikiran. Bagaimana caranya saya memberi tahu ibu saya mengenai ini? Bagaimana dengan biayanya? Sakit ini sakit yang mahal. Bagaimana caranya saya membiayai tindakan-tindakan yang mungkin kalau hanya untuk serangkain tes saja harus bingung. Oh, please deh! Harusnya, untuk orang seperti saya, level sakitnya itu masuk angin, radang tenggorokan, flu, atau TBC. Bukan ini.


Di sana pun saya tidak senang.


Lucunya, baik di puskesmas maupun di RS, hal yang menarik perhatian saya ketika menunggu adalah aktifitas sesama pasien. Ya anak-anak atau obrolan. Senang mendengar kisah-kisah hidup orang lain. Dan selama ini, walaupun di ruang tunggu RS, saya selalu bersama dengan orang-orang yang hidup dan menjalani hidupnya dengan sebaik yang mereka bisa. Tapi di bagian ini, yang saya temui adalah orang-orang yang diam.


Muka-muka penuh kerutan dengan mata yang menyiratkan asam garam dunia. Memakai tongkat dan tubuh yang lemah. Beberapa orang seusia saya ada, tapi mereka adalah si pengantar neneknya atau kakeknya tersebut.

Bisa saja saya heboh pecicilan sendiri. Cengar-cengir mendengarkan MP3 atau sibuk dengan HP, baca buku, kadang nekad bawa laptop. Tapi tetep aja itu semua mempengaruhi saya, merasakan redup yang mulai membayang.


Kakek yang duduk di samping saya bilang kalau dia sudah pantes pake baju putih. Sudah terlalu lama hidup. Kakek-kakek dan nenek-nenek sekitar kami tersenyum, lalu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Jumat, 13 Agustus 2010

selesai dengan sendirinya

Terkadang, kita tidak perlu melakukan apapun. Masalah akan selesai dengan sendirinya.

Terkadang, loh, ya!

Well, dua minggu yang lalu, ada masalah di lingkungan pekerjaan. Saya harusnya ikut sibuk dengan ini. Tapi kali ini, saya benar-benar melepaskan perhatian. Bukan sengaja, tapi memang karena perhatian saya sedang penuh kepada diri saya sendiri. Bukan sedang ada masalah. Dan itulah masalahnya. Saya merasa tidak ada masalah. Baik-baik saja! Lincah-lincah aja, tuh!

Tapi dokter tidak sependapat dengan saya. Hasil test saya pun lebih memihak kepada dokter.

Maka, saya hanya dengar-dengar. Teman serumah saya gak banyak cerita juga. Mungkin dia gak mau bikin saya tambah kepikiran yang enggak-enggak. Tapi, rekan saya banyak bicara. Saya pun merasa sedang autis dengan gosip seluruh dunia, maka rasanya hanya pembicaraan yang jauh.

Maka saya hanya mengatakan, tunggu aja, deh! Gimana perkembangannya. Gak mau juga bikin keputusan saat ini.

Dan kemarin, mendadak itu semua mereda. Secara alamiah, mulai terbuka jalan keluar.

Satu lagi krisis terlewati.


Senin, 09 Agustus 2010

harga guru bantu

Percakapan saya dan ibu tadi pagi.

Ibu: Itu si Nugie sewot. Diboongin sama orang diknas yang ngurusin tunjangan fungsional. Katanya, udah bayar mahal, gak taunya dibohongin. Banyak yang kena itu guru-guru di sekolahnya Nugie

Saya: Emang bayarnya berapa?

Ibu: Lima puluh ribu.

Saya: Wah, dikali berapa orang, tuh?

Ibu: Banyak pokoknya. Kalo mau diangkat jadi guru bantu, 15 juta.

Saya: Hah? Guru bantu 15 juta? Lah, kalo PNS harganya berapa?

Ibu: Gak tau, tuh...

kandang ayam

Akhir-akhir ini, saya dan Eni jadi sering berantem gara-gara kandang ayam.


Kandang ayam siapa?


Yang jelas bukan kerjaan saya ataupun Eni. Gila apa! Walopun adalah keinginan terpendam untuk melihara binatang, tapi jelas beternak itu bukan pilihan hidup kami berdua, huehehe...


Gini, ada tanah kosong di sebelah rumah. Itu tanah gak jelas buat apa. Pernah jadi tempat sampah, untung cuma sebentar. Lalu jadi tempat anak-anak main. Sekarang, jadi kandang ayam.


Cukup banyak ayamnya. Entah punya siapa. Tapi Pak RT juga gak komentar apa-apa, jadi mungkin saja yang punya kandang, dan ayamnya tentu saja, adalah si pemilik lahan.


Trus kenapa jadi bahan berantem.


Saya dan Eni itu kan dua individu tinggal serumah. Biarpun orang bilang mirip gayanya, tapi kalo tinggal bareng gini mah jadi ketauan gak miripnya. Keliatan deh utara selatannya!!! Dan kayaknya, yang membuat saya betah bareng dia, adalah kita masing-masing gak pernah berusaha untuk merubah yang lain. Gak juga protes dengan perbedaan kebiasaan-kebiasaan kecil yang harusnya mengganggu tapi gak coba merasa terganggu ajalah.


Bagimu cara hidupmu, bagiku cara hidupku.


Salah satunya, kebiasaan buka pintu. Saya tipe orang yang suka rumah yang terbuka lebuaaaaaaaar!!! Seneng udara yang banyak. Gak suka kalo rasanya udara muter di situ terus. Sementara Eni sukanya tertutup. Pintu jendela nutup dan pasang AC.


Saya gak suka AC.


Maka, kalo lagi dua-duanya di rumah, kita dua orang terpisah kamar jauh. Kecuali pas tidur baru di ruang yang sama.


Saya di belakang diruang kerja, dengan pintu belakang dan jendela yang terbuka lebuar sementara Eni di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga (keluarga??). Kerja atau main PS. Dengan AC yang nyala.


Kalo bangun tidur, kebiasaan saya juga tuh buka pintu belakang lebar-lebar mengundang udara pagi yang masuk.

Biasanya, haaaaaaah segaaaarrrr!!


Tapi sekarang..


Huft, bau ayaaaammmmm....


Tapi saya tetep ngotot buka pintu lebuar walopun bau ayam itu masuk leluasa di rumah. Gimana gak bikin dongkol kelakuan saya itu. Sampe akhirnya..


’Al, gua gak mau tau, TUTUP ITU PINTU!!!’


Gak…

.

‘TUTUP!!!’


GAK MAU!!


Hari ini, mau gak mau itu pintu belakang tertutup. Kenapa? Soalnya kunci pintunya diambil dan sampe sekarang, saya gak tau diumpetin dimana.


Dimana, ya? Hmm...

Sabtu, 07 Agustus 2010

Dokter di Puskesmas

Karena batuk saya gak kunjung sembuh, maka pada hari Senin, saya berobat ke puskesmas.

Loh, kok, puskesmas? Gak elit banget!

Pertama, saya gak pernah ngerasa diri gak elit karena berobatnya ke puskesmas. Hari ini, pelayanan di puskesmas jauh lebih baik dari masa kecil saya dulu. Emang rada ribet, banyak orang, antre panjang, tapi saya malah merasa itulah seninya hehehe.. Lagian, saya sejak kecil dulu ya kalo sakit perginya ke puskesmas. Alasan ekonomi tentu saja. (Murah banget kan? Orang jaman sekarang aja cuma bayar 3 ribu rupiah doang. Kalo peserta askes gratis.) Kemudian jadi kebiasaan dan percayalah, puskesmas menjadi tempat yang jauh jauh lebih membuat saya nyaman dibanding rumah sakit. Kenapa?

Alasan pribadi.

Pertama, di RS itu sepi, dingin, dan bau obatnya menusuk banget. Udah gitu, bersihnya gak kira-kira bikin saya jengah. Huehehe, walopun saya juga gak nyaman di tempat yang jorok, tapi di tempat yang terlalu bersih dan kesannya elit pun saya merasa salah tempat. Makanya kalo makan diluar, paling males banget di kafe atau tempat-tempat yang musti beretika. Enakan juga nongkrong di kaki lima. Lebih bebas.

Emang aja bakatnya jadi orang susah!

Kedua, karena sejak kecil berobatnya di puskesmas, maka catatan saya udah panjang bener tuh disana. Dan itu termasuk catatan-catatan rujukan ke RS saat saya sakit cukup berat dan tak mampu lagi di tangani di puskesmas. Maka, kalo saya sakit, setiap dokter di puskesmas yang meriksa saya jadi sudah dapat meraba. Kalo ke RS atau ke dokter, kan musti dari awal lagi.

Masalahnya, hari-hari ini pas udah kerja, kalo sakit jadi gak bisa juga melenggang ke puskesmas. Jauh dari tempat tinggal saya yang deket ke tempat kerja. Jadilah ke dokter deket sekolahan aja. Kalo gak juga membaik, baru deh ke puskesmas. Biasanya sih, begitu nelen obat dari dokter si puskesmas, langsung sembuh, tuh!

Dulu waktu saya kecil, ada seorang dokter yang selalu dibejubeli pasien. Saya udah lupa mukanya bagaimana, hanya nama pada catatan medis saya dan jeep putih yang beliau kendarai yang saya ingat. Pokoknya kalau saya sakit, dan kebetulan beliaulah yang lagi jaga di bagian umum, ibu saya selalu tersenyum lega. Gak peduli walaupun para pasien kebanyakan milih ngantri di depan mejanya, ibu saya selalu milih beliau.

Oh, ya, sekedar info buat yang belum pernah ke puskesmas. Di sana biasanya (dulu) tersedia dua atau tiga dokter di satu ruangan yang hanya dijeda oleh meja-meja saja.

Sekarang, dokter jeep putih itu sudah tidak ada lagi. Sudah lama tidak ada. Sejak saya seumuran SMP. Mungkin di tugaskan di puskesmas lain atau apalah. Pokoknya, beliau tidak ada. Namun, hari Senin ini, saya seakan bertemu lagi dengan sosok beliau.

Dulu yang namanya berobat di puskesmas cuma ada bagian umum dan gigi aja. Kalau pasien harus mendapat penanganan dari spesialis, maka dirujuk ke RS pemerintah terdekat. Sekarang, sudah mulai ada spesialis-spesialis di sana. Tapi terbatas, dan nampaknya, juga masih pelayanan yang ringan. Mungkin.. Saya juga gak begitu tahu. Tapi yang jelas, kalau sakit, ya tetep musti ke bagian umum dulu. Nanti dokter umum yang alihkan kita ke bagian lain kalau memang butuh. Nah, jelas kan, di bagian umum ini, selalu pasien banyak sekali berdesakan.

Hari Senin itu, ada dua dokter di bagian umum. Di ruang yang kanan (sekarang dipisahkan ruang, euy!), pasiennya banyaaaaak banget yang ngantri. Kebetulan dari admin di depan, saya disuruh ke dokter xxx yang di bagian kanan itu. Melongo juga, tuh ngeliat segitu banyak orang.

Emang lagi musim sakit!

Baru duduk, tau-tau sang dokter nongol. Beliau ngasih pengumuman:

’Bapak-bapak, ibu-ibu, silahkan setengahnya ke ruangan sebelah saya ini.’

Orang-orang pada bergumam:

’Gak, ah! Disini aja..’

’Saya mau sama Bu Dokter xxx aja…’

’Disini aja..’

’Saya biasanya kan sama dokter, dok…’

Bu Dokternya bengong…

’Bapak-bapak, ibu-ibu, kalo semuanya disini, saya yang teler ini… Banyak banget!’

Orang-orang bergumam. Akhirnya, banyak juga sih yang pindah. Tapi saya tetep di tempat saya. Gak yakin juga untuk pindah. Sebenernya, bukan juga masalah dokternya toh saya juga belum pernah ditangani oleh beliau, tapi memang menurut catatan saya akan ditangani oleh dokter yang ini.

Beberapa lama kemudian (lamaaaa) saya beserta lima orang yang lain dipanggil masuk ke ruangan. Dan barulah saya ngeh kenapa dokter ini dikenal oleh pasien. Sebab beliau juga kenal dengan pasien.

Baru masuk, tau-tau Bu Dokter langsung menegur seorang anak laki-laki yang masuk bareng saya:

’Kenapa lagi..’katanya keras. Kontan semua orang nengok ke anak laki-laki usia SD kelas 3-4 itu. ’Asmanya kambuh? Batuk sampai gak bisa tidur? Masih suka jajan es di pinggir jalan, ya?’

Ibu sang anak langsung menyeret anaknya ke depan dokter yang sibuk meriksa.

Ibu itu: Iya, nih, dok… Masih suka jajan es di pinggir jalan.

Bu Dokter: Kok gak dilarang sih, bu? Ibu ini gimana sih!

Nah loh, si ibu diomelin dokter.

Bu Dokter: Anaknya dijagain dong, Bu! Kalo ibu sayang sama anak itu dijaga. Dilarang jajan sembarangan. Jangan dibiarin aja. Kasian anaknya, Bu! Kecil-kecil udah sakit-sakitan. Emang ibu mau anaknya dirawat di RS?

Ibu itu: Yah, dok.. Dilarang mah dilarang. Tapi kan sering gak ketauan saya.

Bu Dokter: (ngeliat ke anak) Oooh, ngumpet-ngumpet? Lebih seneng sakit, ya? Kalo gitu, kamu lebih milih di opname? Mau ibu kasih rujukan untuk opname?

Anak itu: (menggeleng-geleng)

Bu dokter: Makanya nurut sama ibumu, dong, dek… Hmmm, kamu itu..jangan bikin susah orangtuamu, dong, yaa. (ngucek-ngucek kepala si anak)

Anak itu: (mengangguk)

Nonton itu semua, kami hanya cengar-cengir aja. Lega juga, untung saya dipanggil terakhir dari 5 orang ini. Jadi pas saya diperiksa nanti, gak ada orang lagi di ruangan. Paling enggak, kalo nanti diomelin, udah gak ada orang, hehehe…

Saat giliran saya tiba, saya mengamati wajahnya dan mengigat namanya. Dok, saya harap, anda akan betah di sini. Kami, para pasien puskesmas, orang-orang kecil di negeri ini, membutuhkan orang seperti anda.

NB: Tulisan ini untuk para dokter puskesmas. Saya yakin, mereka adalah orang-orang yang istimewa. Yang bekerja dengan penuh dedikasi dan memberikan yang terbaik walaupun dengan fasilitas terbatas dan harus menghadapi pasien begitu banyak tiap hari. Menghadapi orang-orang yang mungkin kurang menghargai dedikasi. Anda datang, dan bagaimanapun, memberikan kesabaran yang luarbiasa.

usaha dong

Beberapa hari yang lalu, seorang tweeps yang twitternya saya ikuti rada sewot dengan iklan IDI yang bertema 'ayo berobat'. Katanya kalo gak salah begini:

Selanjutnya apa? Pemerintah bisa gak cari solusi untuk orang kecil berobat gratis?

Beberapa saat kemudian, nampaknya banyak yang juga sewot dengan iklan tersebut. Katanya, bikin shok. Bikin orang ketakutan. Nanti jadi kepikiran. Bahkan ada yang mau laporin ke KPI segala. Katanya, KPI jangan urusin ciuman melulu dong!

Dalam pikiran saya pas baca tulisan itu: yeee, cemen banget sih lo! Cuma adegan kangker mata, batuk berdarah sama anak hidrocepalus aja ketakutan! Pengennya liat yang enak-enak melulu, sih! Kaga kuat liat yang rada ngeri dikit aja.

Saya jadi mikir, orang-orang itu mungkin begitu perlentenya kali ya sampai gak pernah liat yang begituan! Cobalah sekali-kali jalan gak naik mobil pribadi atau taksi. Liat sekelilingmu!

Kalau pagi, sehabis subuh, saatnya saya berangkat ke sekolah, diatas jembatan penyebrangan, anak-anak jalanan tidur nyenyak disana adalah pemandangan yang biasa. Mereka hanya berselimut koran, atau tanpa selimut apapun.

Dan diatas jembatan penyebrangan itu, suatu saat saya bertemu dengan perempuan tua nyaris tanpa wajah! Mukanya bolong! Hanya satu mata yang saya lihat. Tertutupi perban yang sudah begtu kumal. Mungkin karena kangker atau apa! Dua kali saya melihatnya, dan itu pemandangan paling pilu yang pernah saya saksikan selama ini. Kali pertama, saya melihatnya mengemis. Kali kedua, saya melihatnya sedang dimaki-maki oleh pengemis lain. Yang nampaknya marah karena hadirnya nenek tanpa wajah, telah mengurangi pendapatannya. Saya melerai pengemis galak itu, lalu menuntun sang nenek turun. Sampai di bawah, saya antar ke puskesmas terdekat, lalu saya berikan seluruh uang yang saya bawa. Sampai hari ini, saya tidak pernah melihatnya lagi. Mudah-mudahan, pegawai puskesmas mengurus nenek itu ke dinas sosial atau apa.

Suatu hari dalam hidup saya, pernah menyaksikan seorang perempuan muda yang lumpuh menyeret tubuhnya di lantai rumah yang terbuka sementara di belakangnya, seorang perempuan lain, yang mungkin saja adalah ibunya sendiri, sedang membentak-bentak melemparkan gayung kepadanya. Adegan itu menyayat hati saya.

Suatu kali dalam perjalanan ke sekolah, saya bertemu dengan seorang bapak yang menyeret anaknya yang tidak memiliki lengan dan kaki. Anaknya itu duduk di atas papan beroda, dan memakai baju seragam SD. Seseorang menyapa sang bapak yang membalas sambil tertawa, bahwa dia sedang nganterin anaknya sekolah.

Pernah saya bertemu dengan seorang perempuan muda yang bicaranya aneh dan tertatih-tatih di pinggir jalan. Dia bilang, dia mau pulang kampung saja. Sebab dia tidak betah disini, tiap hari dipukul majikan. Suka gak dikasih makan. Tubuhnya gemetar dan dia tanya kalau mau ke garut, naik mobil apa? Tangannya meremas uang sebesar tiga ribu rupiah.

Itu semua hal-hal nyata, dan terjadi di sekitar kita jika saja anda mau membuka mata. Maka, menurut saya, iklan itu tiada masalah. Mungkin memang maksudnya untuk nakut-nakutin orang.

Intinya apa sih? Nyuruh orang berobat secepatnya! Karena hal-hal kecil, bisa jadi besar kalau kita tidak menanggapinya. Kutil bisa jadi tumor mata, batuk bisa saja ternyata TBC, dan kalau kita gak periksa kehamilan, mungkin saja ada hal-hal menyangkut kesehatan yang kita gak tau sampai terlambat. Mungkin nanti akan lahir anak kita hidrocepalus.

Menurut saya, beberapa orang memang perlu untuk ditakut-takutin! Sebab kalo gak gitu, suka gak peduli sih!

Perasaannya takut aja duluan. Takut kalo berobat mahal, lah! Akhirnya sakit dibiarkan saja. Beli obat warung. Padahal kalo dihitung-hitung, harga Neozep itu 4 butir 2 ribu rupiah. Cuma buat satu hari. Harga obat batuk OBH sepuluh ribu rupiah. Ya kalo memang sakit ringan sih gak masalah.

Kemarin saya ke puskesmas, dan sempet terkejut dengan kenyataan bahwa biayanya hanya 3 ribu rupiah! Itupun saya pasien umum tanpa askes. Dan hanya butuh bawa KTP saja, kok! Maka geregetan banget kan kalo ketemu bapak-bapak yang bilang gak mau berobat karena mahal sambil menghembuskan rokok dalam-dalam. Lah, itu sanggup beli rokok?

Orang cuma males ribet! Itu saja!

Berapa kali saya mengurus surat keterangan tidak mampu di kelurahan untuk beasiswa baik saya sendiri maupun adik-adik saya. Ribet dikit kan lumayan hasilnya! Tapi masalahnya, yaitu, orang kebanyakan malas!

Atau malu!

Saya merasa gak perlu malu untuk mengurus surat keterangan gak mampu demi mendapatkan beasiswa. Toh kita berusaha untuk kelangsungan pendidikan kita, kok! Sesuatu yang produktif bagi negeri ini. Biar kita bisa tumbuh mandiri, mungkin gak sanggup memberi tapi paling enggak, tidak nyusahin. Sama dengan kita gak usah kesal kalo ribet ngurus surat itu demi pelayanan kesehatan kita sendiri. Itu toh demi diri kita sendiri!

Ini kan enggak! Yang saya tahu, orang lebih tebal muka untuk menyatakan diri gak mampu biar dapet tiga ratus ribu atau sedekah!

Lihatlah penghuni bantaran kali sampai sekarang masih juga buang sampah sembarangan di kali. Kalau ditanya, katanya gak tau mau buang sampah di mana. Astaga! Segitu bodohnya kah mereka sampai gak mampu mikir untuk ngumpulin sampah dan buang di tempatnya. Pernah juga saya menyaksikan saat diwawancara, orang-orang ini mengeluh tempat sampahnya jauh. Orang gila! Emangnya disangka saya buang sampah tiap hari itu deket! Jauh, jek! Musti naik sepeda ke depan perumahan.

Giliran banjir aja, sewot karena pemerintah lambat ngasih bantuan! Disuruh pindah dikasih modal buat transmigrasi ogah! Bangga banget sih hidup dikasihanin orang lain!

Malas dan maunya mengeluh, mungkin itu penyakit di negeri ini.

Seperti akhir-akhir ni saya rada kesal dengan rekan-rekan saya yang selalu mengeluh tentang sedikitnya penghasilan sebagai guru. Mereka bingung kenapa saya santai saja. Apa saya santai? Gak juga. Ke sana kemari nyari info buat ngurus ini itu supaya tunjangan fungsional dari pemerintah turun. Sedikit, tapi lumayan nambah penghasilan saya. Dan itu memang hak saya sebagai guru di negeri ini. Gak ada yang mau ikut ribet kayak saya biar saya ajak-ajak juga. Kalo temen serumah saya sih, dia memang gak pernah niat dapet tambahan dari itu. Tapi kesel juga saat ternyata saya dapet itu tunjangan, yang lain pada iri.

Lah, kalian gak mau ribet ngurus! Gimana sih?

Usahalah dikit! Ada jalan terbuka untuk yang mencarinya!

Senin, 26 Juli 2010

resmi

Seorang sahabat bertanya: gimana rasanya udah 27?

Saya teringat suatu adegan di film The Hurt Locker yang nampaknya, ini menggambarkan aya yang sedang saya rasakan:

You love playing with that, You love playing with all your stuffed animals,

You love your mommy, your daddy, your nature pajamas,

You love everything, don't you? Yeah,

You know what, buddy?

Once you get older, some of the things that you love might not seem so special anymore,

Like your Jack in the Box,

Maybe you realize it's just a piece of tin and a stuffed animal

and then you forget

the few things you really love,

And by the time you get to my age maybe it's only one or two thing

.

Sabtu, 24 Juli 2010

anyone at all

Wasn't in the plan not that I could see
Suddenly a miracle came to me
Safe within your arms I can say what's true
Nothing in the world I would keep from you

You could have been anyone at all
An old friend calling out of blue
I'm so glad it was you

Selasa, 29 Juni 2010

Minggu, 27 Juni 2010

Baru Tahu

Saya baru tahu, kalau hidupmu penuh dan berat, kawan. Sepanjang kita berdampingan, kamu gak pernah kasih clue tentang itu. Saya tahu kamu berjuang setiap hari, hanya saja, saya tidak tahu kamu menyimpan perih dan tangis di dadamu.


Saya baru tahu, saat saya menangkap hening. Dan yang saya ingat adalah pembicaraan kita di waktu itu, saat saya berkobar emosi dan baru pulih. Saya harap, saya bukan kupu-kupu untukmu.

Kalian menghormati aku; namun bagaimana bila suatu hari nanti rasa hormat itu harus tumbang? jagalah agar patung yg tumbang jangan menjatuhimu mati

Friedrich Nietzche

Orang membayar jasa seorang guru buruk jika tinggal sebagai murid

Friedrich Nietzsche

Manusia yang berpengetahuan harus mampu, bukan hanya mencintai musuhnya, tapi juga membenci temannya

Friedrich Nietzsche

Rabu, 23 Juni 2010

kadang

this post removed

Senin, 14 Juni 2010

Paper Plane

I fly like paper, get high like planes
If you catch me at the border I got visas in my name
If you come around here, I make 'em all day
I get one down in a second if you wait

Jumat, 11 Juni 2010

Mesra dan Porno

Bos: Bu, ibu kan yang sering berhubungan dengan internet, ya, kan? Saya minta tolong, bisa?

Saya: Apa?

Bos: Cariin adegannya Ariel itu dong. Istri saya pengen tahu katanya. Abis di TV heboh banget gosipnya. Kayak gimana, sih!

Saya: Lah, itu kan pornografi, Pak.

Bos: Oh, porno? Bukan adegan mesra mesraan?

Saya: Wah, gak tau juga, ya.. Tapi kayaknya, itu porno kan? Iya kan? (bingung..)

Bos: Istri saya pengen tau katanya. Emang gak bisa cari yang bukan di daerah porno, ya, Bu? Ibu kan suka download-download..

Saya: Ya tapi kalo Bapak minta saya download filmnya Ariel sama Luna Maya, itu artinya Bapak nyuruh saya mendownload film porno. Yang bener aja, Pak...

Bos: Ooo, iya, yaa... Emang gak bisa Ibu download aja gak usah lihat. Masukin di flashdisk saya, gitu...

Saya: Gak mau, ah! Pak, kita bukan cuma gak boleh minum khamr, tapi juga gak boleh jual khamr. Gak boleh dititipin ngebiliin khamr untuk orang lain. Baik melakukan, maupun memfasilitasi, sama-sama salah. Gak mau saya!

Bos: Tapi istri saya pengen tau katanya...

Saya: Bapak bilang aja sama istri Bapak kalo itu pornografi. Gak usahlah liat-liat kayak gitu. Kalo tetep mau kasih buat istri, Bapak cari aja sendiri. Tuh, banyak komputer nganggur. Yaa, itu kalo Bapak gak malu sama profesi Bapak.

Bos: (diam...)

Bos: Ya udah, deh. Paling istri saya bete aja. Soalnya tadi dia bilang pengen tau dan nyuruh saya cariin fotonya Ariel lagi mesraan sama Luna Maya yang bikin heboh itu saya bilang okeh...

Saya: Bapak bilang aja sama istri bapak kalo itu porno.

Bos: Wah, kalo gitu alhamdulillah. Saya jadi tau. Makasih, ya, Bu... (pergi)

Saya: (mikir: ini bos saya beneran gak ngeh atau pura-pura ak ngeh, ya.. Well, jadi orang husnudzon ajalah )

Saya:

Kamis, 10 Juni 2010

At Your Side

I'll be at your side
There's no need to worry
Together, we'll survive
Through the haste & hurry
I'll be at your side, if you feel like you're alone
And you've nowhere to turn
I'll be at your side

Minggu, 06 Juni 2010

Understand this, I mean to arrive at the truth. The truth, however ugly in itself, is always curious and beautiful to seekers after it.

Agatha Christie-he Murder of Roger Ackroyd

Who what am I?

Who what am I? My answer: I am the sum total of everything that went before me, of all I have been seen done, of everything done-to-me. I am everyone everything whose being-in-the-world affected was affected by mine. I am anything that happens after I've gone which would not have happened if I had not come. Nor am I particularly exceptional in this matter; each "I", everyone of the now-six-hundred-million-plus of us, contains a similar multitude. I repeat for the last time: to understand me, you'll have to swallow a world

Salman Rushdie-Midnight's Children

Sabtu, 05 Juni 2010

jika kita tak mampu hidup bersama maka matilah sendirian

hey kamu yang dua kali sudah menghantuiku

Kita dalam perjalanan pulang. Bukan ke tempat dimana kita lahir atau berdiam orangtua kita.
Duduk di meja bundar dengan dua gelas kopi dan roti tawar isi selai kacang cokelat.
Bagimu, aku tahu, ini adalah minimal kali kedua dan bagiku mungkin pertama.
Dan kamu menunggu seseorang.

Kita bertiga kembali ke tempat dimana aku pernah tinggal.

Kamis, 03 Juni 2010

Siap Jadi Janda

Ini cerita gak penting banget. Cewe banget, dah! Ngebosenin. Tapi, mungkin bisa jadi bahan pemikiran.


Semalam, sedang asik berbaring menunggu mata terpejam ditemani Harun dan Lautan Dongeng-nya Salman Rushdie, pintu diketuk. Dua orang datang dan beberapa saat kemudian, saya dan teman serumah saya harus menjadi saksi dari drama emosional antar dua orang manusia yang terlibat hubungan pertunangan. Drama ini berakhir dengan tamparan keras yang mengejutkan semua pihak.


Saya ikut keseret-seret dikit.


Okeh, ada dua orang perempuan. Berteman. Dua orang ini bisa asik bareng tapi gak pernah juga saling curhat-curhatan masalah pribadi. Maka kita sebut saja teman. Mari kita beri inisial A dan B. Lalu ada guy1, pacarnya si B.


Si A hanya pernah bertemu si guy1 beberapa kali tanpa banyak interaksi. Hanya jika si B bawa-bawa si guy1 lalu hang-out bareng-bareng lingkaran pertemanan. Suatu hari guy1 jadi suka nelpon A membicarakan B. Isi pembicaraannya biasa antar teman. Sampai suatu hari, salah seorang kawan A mengatakan bahwa B dan guy1 tidak lagi bersama.


Guy 1: Iya…


A : Kenapa?


Guy 1 : Itu kan bukan urusanmu..


A : Okeh, sori.. Gua baru tahu aja.


Guy : Soalnya, ada cewe lain.


Guy 1 saat itu berbohong. Tapi A gak tau dan percaya dengan itu. Sebab sehari sebelumnya, A Baru saja bertemu dengan B yang curhat pajang lebar. Betapa dia gak bisa melupakan guy1 dan masih mengharapkan.


B: Dia itu bilang sama gue kalo dia bareng sama cewe lain. Cewe itu temen gue. Lo bisa ngebayangin gak sih gimana perasaan gue?


Yup, cewe A itu saya. Dan pembicaraan yang saya tuliskan adalah pembicaraan saya yang terakhir dengan guy1, sampai semalam. Saat dia entah bagaimana, tiba di depan pintu saya.


Sekarang, kita lihat dari sisi guy1.


Guy 1 punya cewe kita sebut saja B. Suatu hari, si B ini mengaku kepada guy 1 bahwa dia punya pacar lagi yang kita sebut saja sebagai guy 2. Ini membawa hubungan mereka jadi berantakan. Lah, iya, laaah!!!

Guy 2 tahu tentang guy 1. Tapi kelebihannya guy 2 ini adalah, dia juga kenal dekat dengan ibu si B. Ibu si B tadinya netral agak cenderung ke guy 2. Tapi itu terserah anaknya.


B perlu waktu lama memilih dan menggantung 2 orang laki-laki sampai mereka masing-masing tertekan. Dalam keadaan tertekan itu, guy 1 melarikan diri dengan hang-out kepada cewe A. Bagi guy 1, hanya sekedar tempat istirahat aja. Menyenangkan punya temen hang-out yang gak perlu mengkhawatirkan perasaan cinta-cintaan. Toh si A tau guy 1 itu sama B, jadi gak mungkin kan si A mengharap apa-apa.


Tapi ternyata masa istirahat ini jadinya panjang dan mulai mengarah semakin dekat. Dan itu semua berakhir karena B tau-tau curhat sama A. Ini akhir dari PDKT A dan guy1.


Sekarang, dari sisi B.


B percaya bahwa guy1 diam-diam bareng sama A, tapi dia gak bisa konfrontasi langsung karena dia juga bermasalah. Jadi, dia menerima lamaran guy 2, lalu mereka bertunangan. Ibunya bahagia. Ayahnya B yang sebenernya lebih suka dengan guy1 okeh-okeh aja dengan itu.


Setelah pertunangan, barulah kemudian masalah besar datang. Guy 2 ternyata bukan seperti yang diperlihatkan sebelumnya. Dia posesif banget. Sampai B gak bisa lagi kemana-mana dan ngilang dari hubungan petemanannya. Cewek maupun cowok. Sebulan sebelum pernikahan, tindakan fisik mulai dilakukan. Tampar! Gampar! Jenggut!


Cerita kemarin.


Sesuatu membuat B akhirnya gak tahan. Pulang kantor, dia pergi ke kantornya guy 1. Guy 1 yang sudah sering dicurhatin sama B cuma nyuruh B untuk jujur sama orangtuanya. Tentang apa yang terjadi. Curhatan itu berlangsung sampai malam dan akhirnya, guy 1 nyuruh B pulang. Tapi B gak mau pulang karena takut kena gampar orangtuanya yang gak mau terima kalo anaknya pulang malam.


Maka guy 1 mengantarkan B ke......tempat tinggal A.

………………………………………


Saya senang aja mereka tiba-tiba nongol. Udah lama gak ketemu dua-duanya, soalnya. Tapi, yah, saya baru tahu kalau ternyata saya ketinggalan banyak cerita. Tapi cerita masih berlanjut. Baru saja guy 1 pulang, telpon berdering dari guy 2. Moarah-marah karena seharian gak berhasil menghubungi B. Dia gak percaya bahwa B menginap di rumah temen ceweknya. Sampai akhirnya si B memberikan alamat untuk membuktikan.


Bad idea!


Guy 2 nongol, dan perang terjadi. B sampai memohon-mohon maaf karena pergi seharian tapi terus saja bentakan demi bentakan keluar dari mulut guy 2. Saya dan Eni yang tadinya mengkerut di pojokan mulai ikut emosi. Apalagi Eni. Sebagai pemilik rumah, dia bilang gitu, tuh, Eni menyuruh guy 2 keluar. Kalo gak, dipanggilin Pak RT!


Guy 2 tambah sewot, dong. Dia mulai melampiaskan kemarahannya ke orang lain yaitu saya. Dia tahu bahwa B diam-diam sering ketemu guy 1 dan itu semua gara-gara saya. Karena saya ’putus’ sama guy 1 akhirnya bikin semuanya kacau balau lagi.


Di titik ini, saya udah kepusingan sendiri. Duileeeh, nonton sinetron aja gak pernah ngerti, gimana menghadapinya sendiri. Ruwet banget, sih!!!


Lalu...


PULANG!!!


Teriak guy 2.


B gak mau dan akhirnya...


PLAK!!!!


Semuanya bengong.....


PULAAAANGG!!!!


GAK MAUUU!!!


Itu semua diakhiri dengan Eni tau-tau udah megang tongkat kasti dan mengayunkan ke kepala Guy 2


‘Lo kalo gak pergi dari rumah gua sekarang juga ini tongkat mendarat di kepala lo!’


Tu orang pergi. Entah karena takut, tapi kayaknya sih, lebih karena malu soalnya di depan rumah udah ngumpul cowo-cowo nerd tetangga yang semuanya melongo tapi siap membantu tiga cewe cantik ini, heheh...


Percakapan antara saya dengan B pagi ini:


Saya: Kenapa lo gak coba jujur aja sama orangtua lo tentang hal ini?


B: Udah…


Saya: Trus?


B: Masalahnya, ibu gue itu lebih percaya guy 2 daripada gue.


Saya: Loh, kok, bisa?


….. (hening)


B: Lagi pula, undangan udah dibuat. Kalo ada apa-apa, mau ditaro ke mana muka kita.


Saya: Tapi, ini kan hidup lo sampai…nanti. Sampai seumur hidup lo, atau dia.


……………… (hening)


Saya: Gimana pendapat bapak, lo. Bapak biasanya lebih bisa ngerti anak ceweknya, kan?


B: Iya, emang. Bapak gue bilang, dia tahu kalau gue bingung memutuskan. Dia juga tau, kalo gua baru ngeh sama perasaan gua saat gua tahu kalo guy1 sama lo. Tapi itu udah terlambat. Gua udah terlanjur nerima guy2. Jadi bapak nyuruh gua untuk ngelanjutin sama guy2.


Saya: Tapi, bapak lo kan sukanya sama guy1.


B: Tapi bapak gue pengen liat ibu gua hepi.


………..(hening)


B: Kalo lo jadi gua?


Saya: Tau, deh! Kawin lari, kali. Atau, yah, ngadepin camer bilang batal. Terserah, dah! Gua kagak mau dikurung, bok! Apalagi dijadiin samsak.

………


Saya: Udah, lo kawin aja sama guy1. Lo berdua kan masih sama-sama sayang. Gua kira, bapak lo bisa ngerti. Bapak lo kan suka sama guy1. Pasti mau ngerti, deh! Apalagi kalo dia tau bahwa lo suka digebuk sama guy2.


B: Gua kan udah bilang, bapak gua itu maunya ibu gua hepi. Kalo gue melakukan itu, mungkin gua bakalan digamparin sama orangtua gua.


Saya: Loh, mendingan digamparin sama orangtua. Udah selesai, kan, udah! Kalo lo nikah sama guy2, gak ada yang tau sampai dimana batasnya. Bisa seumur idup! Pernah nonton oprah, gak, sih?


B: Yang pasti, gua udah siap...


Saya: Siap apa? Siap babak belur?


B: siap jadi janda.

……………….


B: Orang kan harus bertanggungjawab sama apa yang dia pilih, AL. Dari awal, ini udah salahnya gue.


Saya: Yaaa, tapi kalo masih ada waktu memperbaiki, kenapa enggak, sih?

Rabu, 02 Juni 2010

Jika Nanti Aku Jatuh Cinta

Allahu Rabbi, aku minta izin
Ketika suatu saat nanti aku jatuh cinta

Jangan biarkan cinta untuk-Mu berkurang
Hingga membuat lalai akan adanya engkau
Allahu Rabbi, aku punya pinta
Ketika suatu saat nanti aku jatuh cinta

Penuhilah hatiku dengan bilangan cinta-Mu yang tak terbatas
Biar rasaku pada-Mu tetap utuh
Allahu Rabbi, izinkanlah
Ketika suatu saat nanti aku jatuh cinta

Pilihkan untukku seseorang yang hatinya penuh dengan cinta-Mu
Dan membuatku semakin mengagumimu
Allahu Rabbi
Ketika suatu saat nanti aku jatuh cinta

Pertemukanlah kami
Berilah kami kesempatan untuk lebih mendekati cinta-Mu
Allahu Rabbi, pintaku yang terakhir
Ketika suatu saat nanti aku jatuh cinta

Jangan pernah Kau palingkan wajah-Mu dariku
Anugerahkanlah aku cinta-Mu
Cinta yang tak pernah pupus oleh waktu

Dari KUMPULAN DOA-DOA ISLAM SEHARI-HARI's notes

Selasa, 01 Juni 2010

Guru, Orangtua, Buku Teks Ajar, dan Komunikasi


Suatu hari, saya membaca sebuah kisah kecil yang dituliskan oleh seorang ibu di blognya. Dia mengisahkan suatu insiden yang menimpa anaknya di sekolah dan dia merasa sangat kesal karena itu. Begini ceritanya:

Sang anak ditegur oleh gurunya karena telah mengisi latihan-latihan yang terdapat di buku teks ajar di rumah. Bukan apa-apa, sang guru nampaknya agak bingung saat menugaskan anak-anaknya untuk mengisi latihan di sekolah, seorang ada yang sudah mengisinya di rumah. Lalu keluarlah kata-kata yang ternyata menyakitkan sang anak. Saya bilang menyakitkan, karena kata-kata itu sampai kepada ibunya:

’Sekalian aja yang sekolah ibunya kalau begitu.’

Sang ibu yang merasa agak tersinggung mempertanyakan kreatifitas sang guru. Latihan itu dia suruh anaknya kerjakan di rumah untuk kegiatan belajar di rumah. Lalu kenapa gurunya bisa bilang begitu? Seharusnya sang guru lebih kreatif dikit, dong! Memberikan tugas di sekolah gak usah dari buku. Lagian kok rasanya gak percaya banget kalo si anak mengerjakan latihan itu di rumah?

Kejadian senada pernah menimpa saya beberapa tahun yang lalu. Tapi saya tidak sampai mengatakan hal tersebut kepada anak-anak dan alhamdulillah, sang ibu tidak melakukan apa-apa selain mengirimkan surat protes panjang kepada saya, sehingga saya bisa lagsung menjelaskan kepadanya. Dialog antara kami pun terbuka dan kami mencapai keadaan saling memahami.

Ketika pertama kali mengajar, bisa dikatakan, saya sangat blank dengan pekerjaan yang saya geluti ini. Saya bukan jebolan sekolah pendidikan. Latar belakang saya ilmu sosial. Dan yang saya tahu mengenai bagaimana mengajar yang baik adalah dari potongan-potongan kisah di buku-buku tentang sekolah seperti Totto Chan dan sejenisnya. Juga dari film-film tentang guru yang meginspirasi macam Dead Poet Sociaty dan seterusnya. Saya punya keinginan untuk menjadi guru seperti mereka, tapi metodenya saya gak tahu. Bahkan saya agak blank dengan sistem pendidikan macam sekarang.

Saya masuk pada akhir diberlakukannya kurikulum KBK awal KTSP. Kurikulum yang jauh berbeda dengan yang pernah saya dapatkan di sekolah dahulu. Pun saya mengajar di sekolah dengan sistem fullday. Artinya, anak-anak berada di sekolah benar-benar sepanjang hari. Dari pukul 7 pagi teng masuk sampai pukul 3 sore. Pelajaran sekolah serta seluruh kegiatan dijadikan satu paket di sana.

Satu hal yang membuat saya agak melongo saat pertama kali mengajar adalah bahwa anak-anak tidak diberi PR. Okeh sebenarnya sistem tidak ada PR ini tidak berlaku di semua sekolah. Beberapa hari yang lalu, saya pernah berada dalam suatu pelatihan dan sang pemateri berdebat keras mengenai keputusan tidak memberikan PR tersebut dengan beberapa orang guru swasta. Sang pemateri sama sekali gak bisa menerima, bagaimana mungkin anak-anak tidak diberikan PR.

Sebenarnya, yang namanya ’tidak memberi PR’ itu bukan berarti anak-anak tidak diberi tugas apapun di rumah. PR yang tidak diberikan ini maksudnya adalah anak-anak tidak lagi diberi PR model konvensional macam kita sekolah dulu. Disuruh ngarjain LKS berlembar-lembar yang isinya soal pilihan ganda dan isian. Bahkan, beberapa kisah yang saya dengar dari rekan-rekan dan sempat saya temui sendiri ketika sekolah adalah, jalannya kelas ya hanya ngerjain LKS aja. Ngerjain soal melulu. Kalau tidak ngerjain soal, ya, dengerin guru ngoceh atau mencatat. Tugas tetap ada dan tetap harus dikerjakan, namun dalam bentuk yang lebih beragam lagi.

Tugas atau PR bagi kelas 1 SD di tempat saya adalah tugas-tugas yang leih merupakan lifeskill mereka. PR minggu ini adalah berusaha untuk membereskan tempat tidurmu sendiri, minggu depan belajar untuk memakai baju sendiri. Hal-hal seperti itu. Kelas dua mungkin lebih berat saat mereka harus belajar untuk mencuci piring, menyapu lantai, mengepel, dan seterusnya. Sedangkan untuk kelas besar, tugas yang diberikan kebanyakan melakukan risert kecil-kecilan lalu menuliskan laporannya. Membuat artikel mengenai salah satu tokoh sejarah misalnya, atau melakukan pengamatan dengan meminta mereka untuk mengubur beberapa benda di dalam tanah, untuk kemudian mengeluarkannya lagi. Mencari tahu mana benda yang dapat membusuk dalam tanah, mana yang perlu waktu lama. Hari ini saya memberikan tugas kepada anak-anak saya untuk mencari apakah ada negara di dunia ini yang tidak memiliki tentara. Dan jika ada, silahkan cari negara mana saja itu. Besok kami akan mendiskusikannya. Saya akan meminta opini mereka mengenai hal tersebut.

Maka, yang namanya tugas untuk mengerjakan soal di rumah nyaris tidak ada.

Soal adalah kerjaan di sekolah. Dan biasanya tidak dalam jumlah yang banyak. Karena kalau bisa, harus dapat selesai di sekolah sehingga dapat langsung dibahas dan dinilai saat itu juga. Tapi tentu tugas mengerjakan soal di rumah diberikan juga sesekali.

Pada kelas kecil, khususnya kelas 1 SD di tempat saya ini, anak-anak tidak membawa buku teks ajar mereka pulang ke rumah. Ini dikarenakan sistem di kelas kecil (kelas 1-3) adalah tematik, dan bukan mata pelajaran. Artinya, pelajaran diberikan di dalam kelas berdasarkan tema.Misalnya bulan ini mengenai keluarga, maka semua pelajaran akan membahas mengenai keluarga itu. Dalam PKN mungkin akan dibahas hak dan kewajiban anak dan anggota keluarga lain di dalam lingkup keluarga. Pada matematika anak akan diminta menghitung jumlah anggota keluarga, dan seterusnya. Jadi setiap guru masuk, pembahasan bisa langsung pula masuk beberapa mata pelajaran sekaligus. Bisa SBK, Bahasa Indonesia, dan IPS. Cara guru menyampaikan pelajaran juga tidak sama dengan kelas 4-6 yang berdasarkan pelajaran. Guru masuk mungkin langsung mengajak anak nyanyi naik kereta api sama-sama sambil tepuk tangan. Kadang sambil keliling kelas sambil beriringan seperti kereta api. Ini SBK-nya. Lalu kemudian diskusi kecil-kecilan mengenai macam-macam alat transportasi yang mereka temui sehari-hari sambil nyanyi lagi lagu-lagu transportasi. Mengidentifikasi macam-macam alat transportasi, ini IPS. Lalu kita bercerita di depan kelas mengenai pengalaman naik alat transportasi, ini IPS dan Bahasa Indonesia. Lalu anak diajak menuliskan cerita mereka di atas kertas, ini Bahasa Indonesia dan IPS. Terakhir, mungkin sama-sama menggambar alat-alat transportasi. Maka, dengan sistem pengajaran seperti ini, yang namanya mata pelajaran praktis tidak lagi berfungsi. Hari senin minggu ini apa yang dibahas mungkin beda dengan apa yang dibahas minggu depan. Tentu ada perencanaannya dan guru biasanya sudah menyiapkan daftar buku per minggu apa saja yang musti di bawa. Tapi, pada akhirnya ini agak ribet. Orangtua murid suka kebingungan sendiri dan anak-anak masih belum dapat memanajemen dirinya dengan baik. Karena itu, buku pelajaran biasanya disimpan di sekolah.

Bagi orangtua, sistem seperti ini agak mencengangkan. Protes yang biasa adalah tentang buku teks yang musti ditinggal di sekolah. Ini menyebabkan OTW bingung mengawasi belajar anaknya di rumah. ’Kita kan bukan guru, Bu. Mana kita tau pembahasannya tentang apa. Kalo gak ada buku, gimana anak-anak belajarnya?’

Itu protes yang baik. Langsung beritahu apa yang bikin susahnya ke guru sehingga dapat dicari solusinya. Gak asik banget kalo OTW langsung serta merta menyeletuk: Ah, gurunya males banget ngingetin anak-anak untuk bawa buku, sih.

Kadang begini kata-katanya, ’Kok gak percaya banget sh anak-anak belum bisa menyiapkan bukunya sendiri. Gak percaya banget sama orangtuanya’

Dengan segala hormat saya, Pak, Bu, bukannya gak percaya pada anak Anda atau Anda, tapi anak-anak itu beda-beda. OTW juga kesibukannya beda-beda. Alhamdulillah anak Anda sudah bisa mandiri, lalu bagaimana dengan anak yang lain? Dan menetapkan peraturan beda-beda pada setiap anak nantinya akan lebih ribet lagi. Bukan hanya orangtua yang merasa di beda-bedakan, anak juga akan merasa dibeda-bedakan. Kita membahas kelas kecil, loh, ya. Kemandirian tetap merupaka isu penting, tapi membiasakan untuk itu musti dengan bertahap juga.

Maka untuk hal-hal seperti ini memang harusnya komunikasi terbuka. Jika ada yang merasa gak sreg, tanyakan saja langsung pada guru. Saya kira, guru akan menjelaskan dengan suka hati. Kalau tidak mau menjelaskan, kritik saja dia. Sebab itu kan tugasnya, heheh…

Kasus yang terjadi bahwa pada awal tulisan ini pun terjadi di tempat saya dan sempat jadi pembahasan antar guru. Sejak awal kita sudah memberi tahu untuk tidak mengerjakan soal buku teks ajar di rumah. Sebab, dengan mengerjakannya di sekolah, tepat setelah pembahasan, guru ingin tahu, seberapa efektif pengajarannya barusan. Apakah anak sudah mengerti? Kalau sebagian besar anak tidak dapat mengerjakannya dengan baik, maka kemungkinan anak belum mengerti. Harus diulang atau metodenya dirubah.

Tapi kemudian banyak anak yang ternyata sudah mengerjakan soal latihan di rumah.

Lalu kami membuat soal sendiri untuk dikerjakan di sekolah berbeda dengan yang di buku. Ini membuat beberapa OTW jadi protes juga: Lah, kalo gitu, buat apa buku teks dibeli? Soalnya gak pernah dikerjain (karena guru membuat soal sendiri di sekolah) trus gak pernah dibaca pula (karena jaman sekarang udah gak asik banget guru masuk langsung berceloteh: ayo anak-anak buka halaman sekian, baca, jangan berisik.)

Protes mengenai kenapa buku teks ajar nampaknya gak pernah digunain adalah protes yang paling sering saya hadapi. Setiap tahun. Dari OTW anak baru yang belum kenal dengan cara saya mengajar. Karena terus terang, saya jarang sekali menyuruh anak untuk membuka buku teks ajar atau membahasnya secara berurutan patuh apa kata buku. Pada setiap kelas yang saya pegang, maka nampaknya akan mengacak sana-sini. Sebenarnya, tidak begitu. Biasanya pada awal tahun, saya sudah mengumpulkan semua materi yang harus sampai kepada anak-anak. Saya kumpulkan berdasarkan topik, lalu saya rancang dalam betuk kegiatan. Maka terkadang memang mengacak-acak dari buku. Bab pertama tidak selalu saya bahas pada awal tahun, kadang saya tarik bab ke 6 duluan. Ini tentu dengan penilaian saya sendiri. Misalnya, apakah topik ini saya perkirakan akan berlangsung lambat karena susah, atau saya kaitkan dengan pelajaran lain yang membahas topik serupa sehingga jalannya kelas tidak mengulang-ulang. Lagipula, saya biasanya tidak mengambil sumber dari buku teks tertentu saja. Suatu topik yang dibahas sumbernya saya ambil dari mana-mana. Dari banyak buku teks koleksi saya sendiri. Trimakasih untuk program BSE yang bagi saya sangat bermanfaat sekali karena memudahkan saya dalam mengoleksi berbagai macam buku teks. Juga saya ambil dari sumber-sumber diluar buku teks ajar seperti internet, atau buku-buku lain.

Lalu, buat apa buku teks ajar yang dipunya anak-anak saya itu? Ya, untuk mereka belajar di rumah. Saya biasanya akan memberi tahu bahwa pada hari yang akan datang, kita akan membahas mengenai apa. Baca dulu di rumah kalo gak mau melongo kayak sapi ompong di kelas nanti karena gak nyambung saat awal pelajaran saya langsung masuk diskusi.

Gak heran kan kalau ada komentar dari OTW yang bilang: pelajarannya Bu Alifia selalu yang paling bikin bingung. Lompat sana-sini.

Obrolan dengan guru swasta pada yang akhirnya sekolahnya memutuskan untuk tidak memberikan buku teks ajar karena dianggap OTW gak berguna akhirnya membuat kebingungan juga karena OTW malah jadi sama sekali gak ada clue topik yang dibahas tentang apa. Walaupun sudah diberikan catatan topik apa yang dibahas di semester ini, OTW pun bigung nyari bahannya dimana?

Nah, susah juga kan?

Kembalilah saya kepada komunikasi. Itu kuncinya.

Senin, 31 Mei 2010

mansturbasi hibernasi

Ini dialog ala Nguping Jakarta


Saya dan Eni masuk ruang guru. Sore. Kami baru saja ada kegiatan di sekolah tetangga.


Saya: (duduk dan ngegeletakin kepala di meja saja)


Eni: (geret kursi deket meja Bu IPA. Ngegerecokin Bu IPA yang lagi makan biskuit AKA ikutan ngunyah)


Bu IPA: Miss. AL kenapa?


Eni: Sakit.


Bu IPA kepada saya: Kenapa Miss AL? Layu gitu?


Saya: Gak enak badan..


Bu IPA: Yah, baru aja liburan. Emang kemana aja kamu pas liburan bisa ambruk gitu?


Saya: Cuma tidur doang.


Bu IPA: Masa, sih? Tidur aja? Tumben.


Saya: Iya, demam. Tiga hari hampir terus tidur aja.



Bu IPA: Waduh, seru juga tiga hari mansturbasi gitu.


Saya: Iya….


………….. (hening) (semuanya baru ngeh)….


Eni: Maksudmu hibernasi?!


Bu IPA: Huakaha… Iya, hibernasi!


Huakhakhakha…