Kamis, 18 Juni 2009

Dokter Dokter

Ini gara-gara baca tulisan dari Bu Dokter yang paling cantik sedunia (Orc paling cantik sedunia lebih tepatnya sih..).

Saya paling males yang namanya ke RS dan ketemu dokter. Dulu pernah ada pengalaman buruk saat kecil saya sakit kulit AKA korengan. Karena gak sembuh-sembuh, dirujuklah ke RS dari puskesmas langganan. Nah, saya yang masih kecil itu dan terbiasa kalau sakit perginya ke puskesmas yang seadanya, agak pangling tau-tau musti ke RS yang bersihnya amit-amit dan bau obat. Belum habis rasa khawatir, tau-tau dipanggilah ke ruang periksa. SENDIRIAN. Maksudnya, Cuma sama ibu saya doang. Biasanya di puskesmas, yang namanya ruang periksa itu penuh orang. 10 pasien masuk bersama-sama dengan yang mengantar sekaligus rombongan. Termasuk para ibu yang bawa-bawa adik kecil yang gak bisa ditinggal di rumah. Dokternya tersenyum ramaaaaaah sekali.

Mengerikan!! Senyumnya begitu lebar! Saya jadi merasa berbuat salah.

Nah, ternyata, dalam ruang periksa itu dokternya bukan hanya satu, tapi rame! Banyak sekali! Mungkin ada sepuluh. Mereka semua merubungi saya, senyum, lalu membicarakan saya. Beberapa tahun kemudian saya baru tahu kalau rombongan yang ngelilingin saya itu adalah mahasiswa.

Pengalaman itu bikin saya rada trauma. Bayangin aja, saya yang masih kecil, tau-tau dikelilingi orang-orang berbaju putih yang semuanya senyum kompakan kepada saya, gantian mengambil tangan saya, mengamati, lalu berebut ngomong membicarakan saya!

Itulah kenapa saya, bahkan sampai sekarang, paling ogah kalau disuruh ke RS.

Mungkin sebagai pertimbangan kalau pasiennya anak kecil, jangan dijadikan objek observasi, yaaa… Please!

Di puskesmas, pada masa saya kecil, itu memang keadaannya masih jauh dari yang sekarang. Kalau sekarang, puskesmas udah bagus-bagus. Dulu hanyalah suatu tempat berlantai satu yang selalu penuh orang sakit. Kadang, sampai duduk sekenanya di lantai-lantai yang dingin. Muka-muka pucat meringis. Batuk-batuk pilek sampai menggigil. Paling luarbiasa adalah antri. Antri-antri itu adalah:

  1. Antri daftar.
  2. Antri diperiksa.
  3. Antri disuntik (kalau perlu disuntik)
  4. Antri ambil obat.

Dan bagi orang-orang berkartu hijau, yang artinya adalah penyandang askes yang hampir gak bayar seperti saya ini, antri-antri ini jauh lebih panjang daripada orang-orang berkartu putih yang bayar penuh.

Satu hal yang saya ingat, dokter di puskesmas, jarang sekali terlihat wajahnya. Ya mungkin karena terlampau berjubelnya orang datang dengan keluhan yang itu-itu saja sehingga para dokter ini hanya butuh mengambil kartu catatan, lalu bergumam..iya..iyaa.. Sang pasien bilang-bilang. Dokter tulis-tulis. Lalu sudah. Kita diminta dengan hoormat segera pergi untuk memberi kesempatan pasien yang selanjutnya. Ini waktu jaman saya kecil, loh! Sekarang, sudah perhatian dokternya.

Tapi, bahkan saat saya kecil dimana keadaan masih begitu sulit dan pelayanan seadanya kurang mendapat perhatian pemerintah pun, satu hal yang saya ingat adalah, bu saya selalu tersenyum lega saat melihat mobil jeep putih datang dan parkir di halaman psukesmas yang sempit. Mobil itu milik seorang dokter perempuan yang ramah. Tidak terganggu dengan bejibunnya pasien yang keluhannya itu-itu aja—penyakit orang miskin—beliau selalu ramah menyapa, benar-benar melihat dan mendengarkan setiap keluhan, dan memberi nasihat. Itulah kenapa pada hari beliau datang, selalu orang menumpuk sampai ke lantai-lantai. Mungkin karena orang-orang lain pun seperti ibu saya, menunggunya. Atau karena beliau tidak memeriksa pasien dengan kecepatan sedahsyat dokter yang lain.

Saya tidak tahu nama beliau apalagi wajahnya pun nasihatnya kepada saya, tapi saya mengenangnya. Merasakan juga kesedihan ibu saya ketika suatu hari, beliau tidak pernah datang lagi ke puskesmas langganan saya. Beliau dimutasi ke tempat lain.

Pengalaman lucu adalah sewaktu kuliah. Mendadak kita satu kostan terserang gatal-gatal yang menimbulkan bentol kecil-kecil, lalu akan pecah jadi lecet merah. Perih sekali. Kebanyakan terkena di wajah. Kita curiga bahwa ini akibat dari gigitan serangga-serangga kecil yang memang banyak terdapat di lingkungan kita. Karena kompakan kena semua, kita pergilah semuanya rame-rame ke klinik kampus. Karena ada sesuatu yang mendesak, saya urung pergi rame-rame hari itu.

Kembali ke kostan, tanya-tanyalah saya kata dokter apa. Dikasih obat apa.

Rekan-rekan saya itu malah ketawa-tawa. Selain obat, ternyata dokter memberi perintah pada kita semua yaitu KERJA BAKTI.

Loh, kok, gitu.

‘Iya soalnya dokternya heran, ini kok satu rombongan keluhannya sama. Ternyata kita satu kostan. Trus dokternya bilang gini: wah, pasti ini karena kalian jorok. Makanya serangga-serangga pada betah di kostan kita.’

‘Trus, kita disuruh kerja bakti.’

Hallah!!!

Sang dokter, menurut kawan-kawan saya itu, malah sempat mengancam akan inspeksi ke kostan kita untuk membukatikan apakah kita sudah membersihkan dengan baik atau belum. Berhubung kostan kita hanya beberapa langkah dari kampus, kontan kita ngeri juga kalau tu dokter tau-tau iseng bener-bener dateng. Lah, orang deket! Jadilah kita kerja bakti rame-rame. Dokternya sih gak pernah dateng. Tapi itu kisah yang lucu dan patut untuk dikenang, heheh…

Masih masa kuliah, saya pernah jadi dokter gadungan. Pas KKN. Ketika tiba-tiba seorang bapak-bapak menghampiri saya dan rekan-rekan, memanggil, ‘Dokter’

Heh?

Kita lagi asik lari pagi dan belum mandi. Gak peru diberi tahulah pasti dandanan saya dan teman-teman awut-awutan dan bau keringet. Atas dasar apa tu bapak manggil kita dokter.

‘Ini dokter, anak saya gatel-gatel.’

Nengok-nengok. Kita doronglah rekan yang paling ganteng yang tampangnya paling mendekati dokter. Bersihan gitu.

‘Saya bukan dokter, pak. Saya mahasiswa.’

‘Iya, lagi dinas disini, kan? Kemaren kan di posyandu.’

Hah, di posyandu? Posyandu yang mana?

Karena bapak itu ngotot curhat, kita bawalah ke sekre. Rekan-rekan saya langsung kasih CTM.

Saat itu, kita belum mendengar bahwa ada rombongan KKN di kecamatan lain mengadakan penyuluhan yang gagal. Maksudnya mau menyuntik nutrisi untuk ternak, eh, ternaknya mati semua. Agak bikin kasus yang memalukan juga itu. Tapi saat itu kita belum mendengar kabarnya. Maka kita kasihlah itu CTM lengkap dengan peringatan: 3 kali sehari ya pak. Kalau udah gak gatel-gatel, jangan diminum lagi.

Kenapa bapak itu nyangka kita dokter? Kita kira, mungkin karena dosen pembimbing kita emang dosen FK yang notabene, dokter. Beliau kan nungul waktu kenal-kenalan pertama kali.

Sejak itu sering ada orang datang mengeluh sakit. Waduh, ruwet juga. Dijelasin berkali-kali kalau kita bukan dokter kok kayaknya gak mau denger. Ada mahasiswa peternakan yang belajar dikit tentang penyakit, tapi kan itu penyakit hewan yaaa..

Beberapa hari kemudian, dosen kita datang menjenguk. Barulah kita tahu bahwa memang ada rombongan KKN lain di desa yang sama ini dari FK. Jurusan keperawatan. Nah, mereka itu yang rame-rame ikut meramaikan posyandu tempo hari. Kita gak pernah ketemu, karena mereka berdomisili di dusun yang berbeda. Dusun yang paling jauh letaknya di desa. Sementara kita pun lebih banyak menghabiskan waktu di sawah.

‘Rekan-rekan kalian yang dari FK itu banyak keluhannya. Saya juga sebetulnya ingin jenguk mereka, sih. Cuma dusun tetangga, kan? Kalian bisa anter?’

Kami menelan ludah.

Emang sih, Cuma dusun tetangga. Tapi jauhnya amit-amit. Dan, kayaknya Bu Dosen belum pernah ke sono deh!

‘Bagaimana kalau kita makan dulu, bu?’

‘Biar ada tenaganya.’

Bu Dosen mulai curiga saat melihat kita nyiap-nyiapin ransel dan air minum yang lumayan.

‘Jauh, ya tempatnya?

Yaa, kalau kata anak-anak SD yang dari dusun itu sekolah disini sih gak jauh bu. Tapi bagi kita sih, lumayan banget. Jalannya menanjak terus.

‘Haduh..Gak ada kendaraan ke sana?’

Wah, kita gak tau bu.

Awal perjalanan yang masih datar, sempat ngobrol dan cerita-cerita. Kebanyakan curhat kesulitan kita di desa. Lalu mulailah masuk lembah, lewati sawah, sungai, najak, nanjak, nanjak, nanjak….jauuuuh…sawah lagi…NANJAK

Sampai di balai dusun, kita sudah disambut tim KKN FK yang senyum-senyum penuh arti melihat kita, AKHIRNYA, tiba dengan ngos-ngos-san.

Rekan-rekan tim KKN saya yang kebanyakan anak-anak pertanian dan peternakan yang notabene orang lapangan masih asik-asik aja. Begitu tiba, udah bisa saling kenalan dan salaman.

Saya dan seorang teman yang sama-sama dari Fakultas Komunikasi udah klepek-klepek.

Dosen kami paling belakang setengah tepar.

‘Saya huh..huh..huhh.. ‘dosen kita. ‘Mau pingsan dulu, yaa..’

‘Ya Dokter jangan pingsan dulu,’ seru seorang mahasiswa FK. ‘Ini kepala desa sama perangkat desa mau beramah tamah.’

Tapi, disitulah akhirnya penduduk mau mengerti bahwa walaupun pakai jas almamater yang sama, kita wilayahnya beda-beda. Rombongan yang satu memang mengurusi masalah kesehatan, sementara tim yang satu lagi, yaitu saya dan rekan-rekan, akan mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan pertanian, peternakan, dan pendidikan.

Maka secara resmi, berakhir pula karir dadakan kita sebagai dokter gadunga