Senin, 27 Agustus 2007

Sepupuku Guru

Sepupu saya memulai langkahnya di sebuah SDN di Bekasi dengan lelehan air mata. Sampai sekarang pun masih. Tapi dia tetap berangkat setiap hari mengajar puluhan anak-anak kampung yang luarbiasa menohok hati. Namanya Septi, umurnya baru 17 tahun.

Sepupu saya ini berasal dari keluarga yang kacau balau. Pada suatu hari, ibunya datang nangis-nangis histeris lalu pergi sambil lari meninggalkan anaknya yang masih kecil di ruang tamu keluarga saya. Waktu itu, saya masih sekolah. Ibu saya berlari-lari membujuk agar bibi saya itu mau kembali dan bicara baik-baik. Paman saya, suaminya, baru saja meninggal dunia. Komplikasi. Paman saya itu seorang supir angkot, jadi tidak ada warisan apapun yang ditinggalkan. Ibu saya berjanji, membantu hidup bibi saya. Tapi Septi tidak dapat tinggal bersama kami. Ibu saya menyatakan, tidak sanggup. Sebab ibu sendiri pun hanya seorang single parent. Seorang ibu rumah tangga yang harus membesarkan 4 anak. Anaknya yang pertama, saya, masih SMA. Bukan hanya masalah biaya, tapi ibu saya bingung untuk membagi perhatian. Dua anaknya sedang remaja, dan tersakiti karena tidak punya ayah. Ibu saya tidak mau, hanya karena kurang perhatian, anak-anaknya akan hancur berkeping-keping di tengah jalan.

‘Nanti.. Kalau Iyya sudah bisa saya lepas, Septi akan saya bawa ke sini.’ Janji ibu saya kepada bibi saya. Dan janji itu terus-menerus diingatkan setiap saat. Berkali-kali, bibi saya datang lagi dan bertanya,’Kapan Septi bisa tinggal disini?’ Itu semua diucapkan di depan muka Septi. Saya membayangkan, bagaimana perasaan Septi setiap kali itu terjadi.

Bibi saya menikah lagi, punya anak, lalu ditinggalkan begitu saja. Kami yang merasa agak lega, lalu tertikam lagi. Septi bersama ibunya dan adik tirinya kembali ke rumah neneknya, tapi justru keadaan tambah parah. Di rumah neneknya, tinggal juga saudara-saudara kandung sang ibu yang situasinya sama persis, punya beberapa anak tapi tidak ada suami. Bertengkar saja tiap hari kerjanya. Bertengkarnya ini, tidak hanya cacian dan makian, tapi juga segala gayung dan benda-benda ikut beterbangan. Beberapa kali lebaran, saya tidak pernah mau kalau diajak menemui keluarga Septi, tidak tega. Di rumah yang kecil itu, begitu banyak orang berdesak-desakan. Lalu ibu saya membuat keputusan, tambah satu anak tidak apalah. Septi pindah ke rumah kami. Beberapa bulan kemudian, ibunya menikah lagi dan punya anak. Dua tahun kemudian, suaminya yang ke-tiga ini, meninggal dunia juga. Sekali lagi, yang tertinggalkan hanya anak yang bertambah, pula ditambah hutang ke sana ke mari biaya rumah sakit selama suaminya ini dirawat berminggu-minggu.

Satu tahun yang lalu, Septi lulus SMK. Ibu saya yang memutuskan bahwa Septi sekolah di SMK saja, biar bisa langsung kerja. Terus terang, kami tidak yakin akan punya biaya untuk Septi melanjutkan kuliah. Tapi saat Septi lulus, situasi kami berubah. Dia dapat kuliah. Septi nampaknya senang sekali, walau tidak begitu memperlihatkannya. Dia akan kuliah juga. Tapi ternyata, dia malah jadi guru.

Ibunya datang, meminta Septi pulang ke rumah. Sudah lulus sekolahnya. Sudah saatnya kerja membantu orangtua. Sampai kelelahan ibu saya menghalang-halangi. Sudahlah, kata ibu saya. Dia baru 16 tahun, mau kerja apa?

Di pabrik, kata ibunya. Sebagai tenaga harian nyuci botol saos.

Tau kan, saos jelek tomat busuk dan segala macam dicampur-campur. Pernah beberapa kali diulas di Trans TV.

Lumayan, bisa dapet 50 ribu perminggu.

Gak akan ada masa depannya dia jadi tukang nyuci botol saos. Ya Allah, dia baru 16 tahun. Apakah kamu tega melepas anak perempuan 16 tahun yang selama ini taunya sekolah dan aktif jadi pengurus remaja masjid itu ke tempat yang paling rawan pelecehan? Biarlah dia kuliah dulu, 4 tahun. Atau 3 tahun lah. Paling tidak, D3.

Masalahnya, dia tuh kesenengan disini. Gak mau pulang-pulang.

Pulang. Nanti Septi akan pulang. Tapi nanti, kalau pendidikannya sudah selesai. Coba deh pikirin, buat apa saya banting tulang biar anak-anak saya bisa kuliah. Kalau mau, saya juga bisa aja nyuruh anak-anak gak usah kuliah dan kerja saja. Lalu apa? Nanti dia akan punya nasib yang sama dengan kita. Gak bisa ngapa-ngapain. Kalau kuliah itu orang terbuka wawasannya untuk maju, bukan begini-begini aja. Paling enggak, kalau nanti kenapa-napa, dia bisa berusaha sediri, Cari jalan. Gak lumpuh. Lari lagi ke orangtua akhirnya.

Bibi saya pulang. Kami lega. Septi lega bukan main. Beberapa hari kemudian, ini sangat mengejutkan, bibi saya datang lagi. Kali ini, tidak ada kompromi. Septi musti pulang.

Saya dan adik-adik saya duduk di atas kasur memandangi Septi yang mengemas seluruh hartanya sambil terisak-isak.

Saya memandangi brosur-brosur PT yang sempat dikumpulkan Septi diam-diam selama satu tahun akhir masa sekolahnya. Sudah lama dia memendam keinginan bisa kuliah, tapi tidak pernah mengutarakannya kepada ibu saya. Saya jadi agak menyalahkan ibu dan diri sendiri. Kalau tahu begini, kami tidak akan menawarkan Septi kuliah. Rasanya sakit sekali, sekonyong-konyong punya harapan, lalu harus terhempas dengan keras ke muka bumi.

Dia gak akan jadi buruh pabrik, kata ibunya. Jadi guru. Ngegantiin mamangnya yang sakit, gak bisa kerja lagi. Jadi guru computer di SD.

Memang, lulusan SMK bisa jadi guru? Boleh?

Bisa. Kata mamangnya bisa. Abisnya gak ada lagi. Gak ada yang mau. Gajinya cuma 400 ratus. Tapi itu lumayan.

Saya mengerti, ini dua kali lipat daripada jadi tukang cuci botol saos. Ibunya tentu tidak akan menyianyiakan kesempatan emas ini.

Ibu saya yang mau protes, langsung ditahan.

Saya itu, tukang cuci botol. Dapet duit Cuma 200 sebulan. Anak saya ada dua, masih kecil-kecil. Uang segitu, buat makan juga susah. Mana neneknya tinggal bareng kita juga. Kalau Septi tetep disini, adeknya putus sekolah.

Ya sudah, adiknya suruh ke sini saja. Ibu saya menguatkan diri. Tambah satu anak lagi, kami pasti bisa. Entah gimana caranya, pokoknya bisa lah!

Bibi saya menggeleng. Nanti dia gak mau pulang juga. Lama-lama, anak saya abis. Liat aja Septi, liburan sekolah gak mau pulang ke rumah malah ngedekem terus disini.

DAN ITU SALAH SIAPA! Teriak saya dalam hati. BIBI SENDIRI YANG TERUS-TERUSAN BERUSAHA MENYINGKIRKAN DIA DULU. MEMANGNYA NI ANAK GAK PUNYA PERASAAN. GAK BISA MERASA SAKIT KALAU TERUS-TERUSAN DI SURUH PERGI SAMA IBUNYA!! PAS UDAH LULUS SEKOLAH AJA, DIMINTA LAGI. ENAK AJA!!! SELAMA BERTAHUN-TAHUN, KEMANAAA!!!

Gimana tu anak betah di rumah, kalau pulang, dimintain uang. Tabungannya hasil ngumpulin uang saku yang gak pernah dijajanin itu, dan uang-uang beasiswa dari masjid, selalu dimintain sampai habis. Ughhhh!! Rasanya emosi saya sudah naik ke ubun-ubun kepala. Tapi ini bibi saya, orangtua saya juga, orang yang musti saya hormati sampai mati.

Lama amat sih, siap-siapnya? Tanya bibi saya.

Dia ke masjid dulu, sebentar saja. Mau pamit sama teman-temannya. Septi itu sekretaris remaja masjid, kan gak bisa tau-tau pergi. Musti ngasih laporan dulu, apa-apa yang sudah dikerjakan, apa-apa yang belum selesai. Bingung nanti pengurus yang lain kalau dia tau-tau pergi.

Oh.. Ya, jangan lama-lama.

Saat dia pergi, saya sudah ngacir ke warnet. Gak sanggup ngeliatnya. Mengutuki diri sendiri dalam hati. Sialan! Saya ini guru sekolah, tapi mencegah keluarga sendiri musti pupus pendidikannya saja tidak sanggup. Guru macam apa aku!

Paling tidak, Septi punya pekerjaan yang jelas. Jadi guru. Yah, walaupun jadi guru eskul yang bisa diputus kapan saja, paling enggak dia bergaul sama guru-guru. Mudah-mudahan bisa maju.