Sabtu, 27 Februari 2010

Chilcot will change the way Muslims see the west

As we watch the ­unfolding drama of the Chilcot inquiry, we should be aware that this is not simply an act of domestic cleansing. Whatever the implications for our political and judicial institutions, it is crucial that the British people learn how we came to go to war. But Muslims are also waiting for the outcome of the investigation, and this makes the inquiry an opportunity that we can ill afford to lose.

It is simply not true that the current tension between the west and the Islamic world is due to an inevitable "clash of civilisations". At the beginning of the 20th century, nearly every Muslim intellectual was in love with the modern west, which they found deeply congenial with their own traditions. Hence the famous remark of Muhammad Abduh, Grand Mufti of Egypt (1849-1905), who said, provocatively, after a trip to Paris: "In France I saw Islam but no Muslims; in Cairo I see Muslims but no Islam." His point was that the ­modern European economy had created conditions of fairness and equity that came closer to the Qur'anic ideal than was possible in the pre-modern economies of the Muslim world.

Unfortunately, too many self-interested western policies in the Islamic world have soured that early enthusiasm. But not all Muslims have given up on the west. Gallup's unprecedented study of more than one billion Muslims, conducted between 2001 and 2007 in 35 countries, revealed, for example, that what many Muslims admire most about the west is its political liberty and freedom of speech.

But in recent months the situation has become more serious, as I discovered, somewhat ironically, during a visit to Cairo last June – just three weeks after President Obama had made his landmark speech there, promising a new era in American/Muslim relations. I had been invited to take part in the first international interfaith conference at the prestigious Al-Azhar University. It seemed an auspicious occasion. The theme of the conference was: "How could Al-Azhar best use its enormous influence to promote the cause of peace and global understanding?"

But we quickly became aware of the intense anger in the room. Even though many of us were personally known to Al-Azhar and were greeted with warmth and affection, as soon as western ­delegates took their places on the platform, they became representatives of "the west". There was no dialogue. Nobody responded to the content of our papers. Instead, one by one, the distinguished professors and imams of Al-Azhar rose to their feet to denounce western policy in the region.

Even though this was supposedly a religious conference, they all insisted that religion was not the issue. They were not concerned about differences in faith and belief: did not the Qur'an itself insist that religious diversity was God's will (5:48)? Instead, taking no heed of time constraints or the protests of the moderators, they deplored in detail and at length the sufferings of the Palestinians, the tragedy of Gaza, the conflict over Jerusalem, the crime of Guantánamo – and, of course, the horror of Iraq. The underlying message was clear: the west dominated the political discourse and did not take the Muslim viewpoint seriously; now it was our turn to listen.

When I discussed the situation with my western colleagues, many of us well-seasoned travellers in the Muslim world, we were concerned by the intensity, if not by the content of this assault. We had, after all, long been aware that there could be no peace for the world without a just and equitable solution to these problems. But this seemingly intractable rage was new. Obama, we concluded, had raised hopes – and that could be dangerous: if he did not in the very near future make some tangible gesture to show that the process of change had indeed begun, disappointment could only make matters worse. And if the professors felt so enraged, what on earth could it be like on the streets of Cairo, where this level of frustration, aggravated by economic and political discontent, could make many people easy targets for extremist propaganda?

But the mood of our conference changed. During the last session an American theologian managed, with some difficulty, to take the floor and spoke on behalf of us all. We had, he said, been deeply impressed by the pain in the room; we knew that "the eight horrible years of George W Bush" had inflicted grave damage on the region, and would do everything in our power to work with Al-Azhar for a better future. Immediately, one of the most vitriolic of our assailants responded with generosity and the conference was finally able to issue a firm and positive joint resolution.

So far, Obama has not given the concrete sign that we felt was essential. But the Chilcot inquiry has also raised hopes. If there is any hint of whitewash or cover-up, the consequent disillusion will only exacerbate an already inflamed situation. In Cairo, we discovered that a frank acknowledgment of culpability could turn things around. In our dangerously polarised world, we may not get such an opportunity again

Karen Armstrong
Gurdian Friday 5 February 2010

Darah Muda

Darah mudah darahnya para remaja
yang selalu merasa gagah tak pernah mahu mengalah
masa muda masa yang berapi-api
yag mahunya menang sendiri
walau salah tak peduli
darah mudah

biasanya para remaja
berfikirnya sekali saja
tanpa menghiraukan akibatnya
wahai kawan para remaja
berfikirlah kalau melangkah
agar tidak menyesal akhirnya

darah muda darahnya para remaja
yang selalu merasa gagah tak pernah mau mengakalah
dara mudah.....

Jumat, 26 Februari 2010

Ditinggal Kawin

Kawan, akhirnya sampai juga yah.. Kamu menemukan pengeran sekaligus imam dunia dan akherat. Selamat atas kehidupan baru yang akan kamu jalani. Saya yakin, kalian akan mampu menjalani semua yang akan datang nanti. Akhirnya, Maret tidak akan sendu lagi untukmu. Saya bahagia walaupun sekaligus merasa sedih, bahwa kita mungkin tidak akan sama lagi. Saya tahu, kamu tetap akan menjadi kawan yang baik, yang sama seperti 7 tahun yang kita jalani bersama. Kamu selalu ada di sampingku.

Dia orang yang terbaik untukmu, aku tahu. Sejak pertama kali kamu mengenalkannya kepadaku. Dan melihat betapa kamu mengagumi sosoknya, bahagia bersamanya, aku tahu bahwa dia adalah yang terakhir. Orang yang akan membuatmu aman, terbimbing, dan memberikan ketentraman.....

Seserpih surat yang dituliskan untuk temanku yang akan menikah minggu depan, dari sahabatnya. Saya yang ikut membacanya berkaca-kaca. Ingat saat sahabat saya akan menikah, saya merasakan hal yang sama. Bahagia, sekaligus sedih. Saya tahu bahwa dia akan tetap ada, tetap menjadi sahabat yang paling dekat dan yang paling tahu mengenai diri saya, bahkan terkadang saya yakin, dia malah lebih tau tentang diri saya dibanding saya sendiri, heheh... Tapi, toh segalanya tidak akan sama lagi.


Saya akan tersisih, menjadi nomor ke sekian dari hidupnya.

Senin, 22 Februari 2010

The Case for God: What Religion Really Means

APAKAH Tuhan perlu dibela? Bagi banyak orang beriman dalam agama mana pun, Tuhan mestilah dibela meski Tuhan sendiri, karena Ia adalah Zat Yang Mahakuasa, sebenarnya tidak perlu dibela siapa pun. Tuhan Mahakuasa dengan sendiriNya. Namun, Karen Armstrong lewat karya terbarunya The Case for God: What Religion Really Means (London: The Bodley Head, 2009) juga membela Tuhan dengan melihat apa sebenarnya makna agama. Judul secara bebas adalah ‘Membela Tuhan: Apa Sesungguhnya Arti Agama’.

Karya-karya Karen Armstrong, mantan biarawati, senantiasa menarik; Berbeda dengan karya-karyanya terdahulu, Armstrong dalam Case for God tampil lebih tegas membela agama, yang di masa kita sekarang mendapat serangan bertubi-tubi dari beberapa pemikir ateisme semacam Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris. Ateisme mereka ini merupakan perlawanan terhadap citra Tuhan seperti dipersepsikan dan diperjuangkan mati-matian oleh kaum fundamentalis Kristen Protestan; kerangka fundamentalisme kemudian juga diterapkan pada kelompok-kelompok fundamentalis agama lain, termasuk Islam.

Armstrong melalui karya ini membela Tuhan dan agama, terutama dari dekapan kaum fundamentalis dan skeptisisme orang-orang ateis. Hemat saya, pembelaan tersebut sangat tepat waktu ketika di berbagai penjuru dunia, banyak kalangan umat beragama mengalami antusiasme keagamaan menyala-nyala yang menimbulkan berbagai dampak politik, sosial, dan ekonomi. Pada saat yang sama, skeptisisme dan nihilisme terhadap Tuhan dan agama juga meningkat sebagai respons terhadap perkembangan keagamaan semacam itu.

Bagi Armstrong, pemahaman keagamaan di masa modern sudah sangat ‘terrasionalisasi’, sehingga apa pun doktrin dan praktik keagamaan yang tidak rasional mestilah ditolak. Tetapi ironisnya, dalam refleksi saya, sikap seperti ini justru melahirkan pandangan dan persepsi yang tidak logis tentang agama. Dan, dalam pandangan Armstrong, penafsiran keagamaan yang telah ‘dirasionalisasikan’ memunculkan dua fenomena modern yang cukup distingtif; fundamentalisme dan ateisme.

Fundamentalisme agama pada awalnya bersumber daripada kesalehan defensif, yang semula berkembang di kalangan kaum Kristen Protestan Amerika, yang pada waktu yang tidak terlalu lama juga menggejala terhadap agama-agama. Seperti diungkap Armstrong, kaum Protestan fundamentalis berkeinginan menghasilkan pemahaman keagamaan yang saintifik dan sepenuhnya rasional; karena itu mereka menghapuskan mitos keagamaan demi logos. Hasilnya adalah pemahaman yang sangat literal terhadap kitab suci, yang pada gilirannya memunculkan ‘ideologi’ keagamaan yang dikenal sebagai creation science yang meyakini Bible akurat secara saintifik.

Pada pihak lain, ateisme klasik Barat yang berkembang sepanjang abad 19 dan awal abad 20 lewat pemikiran Feuerbach, Marx, Nietzsche, dan Freud pada hakikatnya merupakan respons terhadap pandangan-pandangan teologis tertentu terhadap Tuhan. Dengan demikian, pada dasarnya mereka tidak menolak Tuhan itu sendiri; tetapi mereka memiliki persepsi sendiri yang berbeda jauh dengan kerangka teologis yang dominan. Jelas, ateisme tidaklah monolitik; bahkan dalam perkembangannya, ateisme kontemporer menampilkan diri sebagai reaksi terhadap meningkatnya persepsi teologis fundamentalis tentang Tuhan.

Apakah pemahaman dan penafsiran agama harus selalu rasional? Dalam batas tertentu boleh jadi sangat perlu, sebab jika tidak, orang-orang beriman dapat terjerembab ke dalam mitologi berlebihan. Dan, bahkan lebih parah lagi, boleh jadi pemahaman dan praktik agama lebih bersumber pada mitos dan tradisi yang kemudian dipersepsikan sebagai pemahaman dan praktik paling benar tentang agama.
Pandangan Armstrong tentang agama dan rasionalitas ini menarik untuk disimak. Bagi dia, agaknya kita berbicara terlalu banyak tentang Tuhan; dan dalam masyarakat demokratis sekarang ini, banyak orang beranggapan, konsep tentang Tuhan pastilah mudah dipahami. Orang-orang beriman mengetahui bahwa Tuhan adalah Mahatinggi, tetapi kadang-kadang di antara mereka menampilkan diri sebagai orang yang paling tahu persis tentang Tuhan. Hemat saya, hal inilah yang membuat orang-orang seperti ini dengan mudah mengecam, memusuhi, dan bahkan menghalalkan darah orang-orang beriman lain yang memiliki pemahaman yang sedikit berbeda tentang Tuhan.

Karena itulah bagi Armstrong, Tuhan dan agama bukanlah sesuatu yang harus selalu dipikirkan dan dirasionalisasikan; agama semestinya merupakan sesuatu yang mesti selalu dikerjakan. Kebenaran agama tidak selalu bisa diperoleh melalui rasio, tetapi lebih-lebih lagi melalui pengalaman dan amal saleh. Dengan demikian, agama adalah disiplin praktis yang mengajak kita untuk menemukan kapasitas-kapasitas baru hati dan kalbu. Tulis Armstrong: you will discover their truth if you translate these doctrines into ritual or ethical action religion requires perseverance, hard work and discipline (Anda akan menemukan kebenaran mereka jika Anda menerjemahkan doktrin-doktrin ini ke dalam ritual atau tindakan etis agama yang memerlukan ketekunan, kerja keras dan disiplin).

Armstrong juga mengingatkan, sikap banyak orang Barat yang menganggap Islam secara inheren fundamentalis tidak cocok dengan demokrasi dan kebebasan dan secara kronis kecanduan kekerasan itu adalah keliru. Islam merupakan agama terakhir dari tiga monoteis yang terjangkit fundamentalisme, persisnya setelah kekalahan negara-negara Arab dalam perang enam hari melawan Israel pada 1967. Kebijakan negara-negara Barat yang tidak adil dengan segera mempercepat pertumbuhan fundamentalisme Islam di Timur Tengah. Konflik dan kekerasan yang berlanjut di Timur Tengah hanya membuat fundamentalisme tetap bertahan, bahkan bisa menemukan momentumnya dari waktu ke waktu.

Apa saran Armstrong menghadapi gejala fundamentalisme di kalangan kaum Muslim? Menurut dia, melakukan generalisasi dan kutukan sewenang-wenang terhadap Islam tidak akan memperbaiki keadaan. Menyalahkan Islam memang mudah dan sederhana, tetapi jelas hanya bakal kontraproduktif. Karena itu, yang perlu adalah meneliti sumber-sumber penyebab kemunculan fundamentalisme dan radikalisme. Kemudian, melakukan perubahan, misalnya dalam kebijakan luar negeri negara-negara Barat.

Dengan demikian, membela Tuhan antara lain bermakna ‘membebaskan’ Tuhan dari klaim-klaim kelompok keagamaan untuk kepentingan-kepentingan tertentu pula. Tuhan terlalu kompleks dan rumit untuk dikerangkakan dalam konsep, persepsi, dan pemahaman tertentu. Kita manusia, tulis Arsmtrong, hanya memiliki ide yang sangat terbatas mengenai Tuhan.

Karen Armstrong memberikan perspektif kepada kita agar melihat masalah-masalah tentang Tuhan dan agama secara lebih bijak. Bagi umat Muslim, pemahaman tentang Tuhan seyogianya berpijak pada kerangka yang telah diletakkan jumhur ulama dalam ilmu tauhid. Penafsiran spekulatif tentang Tuhan bukan hanya dapat menimbulkan perdebatan yang tidak ada ujung, seperti pernah terjadi di antara para mutakallimun, tapi itu juga membingungkan.

Oleh Azyumardi Azra, dari yang ini dan ini.

Minggu, 21 Februari 2010

Bijaksana Euy!!

Bersama guru-guru tetangga saat break makan siang. Ngobrol-ngobrol mengenai permasalahan anak. Gak tau gimana awalnya tau-tau saya yang jadi ngoceh panjang lebar. Lalu guru-guru pada tanya-tanya minta pendapat.

Beberapa saat kemudian.

Seorang guru: Neng, Alhamdulillah loh sertifikasi saya udah keluar.

Saya: Alhamdulillah!!!

Dia: Neng gak sertifikasi?

Saya: Ngng, belum bisa. Syarat lama mengajar belum tercapai, nih...

Dia: Iya, sabar aja. Saya hampir 20 tahun ngajar baru diangkat jadi PNS.

Saya: (dalam hati: 20 tahun, oh may....)

Saya: Emang ibu udah berapa tahun ngaja, Bu?

Dia: Ngng... Dari tahun 1983.

Saya: Oh tahun 83 saya baru lahir itu, Bu....

Dia: Ya ampuuuuun... Neng kecil-kecil udah bijaksana, yaaa....

Saya: (Gedubraaakkkk!!!) (koprol depan belakang depan belakang lagi sampai disadarkan Eni)

Jumat, 19 Februari 2010

Posting Kala Lelah (Perawan Tidur di Sarang Penyamun)

Malam Sabtu saya biasanya kalo gak keliaran, ya tidur dengan sukses Dari Isya sampai Subuh Dilanjutin lagi pagi Sabtu dengan tidur sampai jam 11. Keseringannya ya tidur aja.


Entahlah, saya kebiasaan gini tidur saat tengah malam lalu bangun jam 4 pagi Itu dalam keadaan normal. Kalo lagi kumat ntu kebiasaan gak bisa tidur, kadang Cuma satu atau dua jam aja mata bisa merem pun terbangun-bangun Sementara hari-harinya, tau sendirilah jadi guru SD itu gimana Nyaris gak duduk seharian. Kagak ada tuh yang namanya ruang guru SD dihuni guru-guru pas istirahat. Gak bisa. Baru duduk sebentar, udah ada yang ngejerit, tereak, dipanggil sana-sini Beuh! Mendingan sekalian aja bekeliaran di luar, dah!


Malem Sabtu, biasanya saya balas dendam, hueheheh….


Tahun ajaran ini saya rada sial tapinya, musti kehilangan Sabtu Maka malam Sabtu bukan lagi malam tidur, tapi malam kerja ngutak-utik laptop menyiapkan untuk apa yang akan dibahas besok harinya.


Duileeehhhh!!!


Minggu ini, penyakit gak bisa tidur saya kumat. Entah kenapa. Yang jelas, begitu Jum’at sore datang, saya merasakan kelelahan yang amat sangat. Pengennya, langsung pingsan ajah.


Tapi gak bisa.


Besok harinya, anak-anak ada acara Lalu Senin kami akan fieldtrip ke Sukabumi Maka jadilah sore tadi bicara-bicara serius. Keliyengan, saya jadi males naik angkot. Nungguin Eni selesai ngajar les ajalah jadi bisa bareng dia naik motor. Maka saya singgah, di mess guru cowok. Cuma buat tidur.


Gile ada perawan tidur di sarang penyamun!!!


Habisnya bete juga ngedengerin pembicaraan mengenai piala champion yang gak ada selesainya Heran daku, cowok kalo udah ngomongin bola, bisa sepanjang Sabang sampai Maroke berjajar pulau-pulau. Saya juga suka bola, tapi gak segitunya kale..Sempet ngamuk gara-gara mereka pada berkeliaran pake baju tanpa lengan.


Woi, ada cewe nih! Yang sopanan dikit, napa!


Emang sejak kapan lo jadi cewe?


Saat itu baru saya sadar, ini cowo-cowo kan dulu kerjaannya nangkring di mess cewe bebersihan, yaa.. TERNYATA itu karena mess mereka berantakan abis!! Segala aja ada dimana-mana. Pusing banget liatnya!


Bukannya kalian rapih-rapih tadinya


Yaa, kalo rapih..rapih. Sering juga berantakan, heheh...


Maka saya duduk, minum kopi panas satu gelas, lalu terbangun dengan mukanya Eni ada diatas saya dan dingin telapak tangannya mengusap pipi saya.


AL, ayo pulang...’


Saya ketiduran di ruang tamu!!! Dalam keadaan duduk dengan tas masih diatas pangkuan. Kok, bisa ya.. Padahal biasanya saya paling enggak bisa tuh, tidur masih pake baju tangan panjang dan celana panjang pun lengkap sama jilbab-jilbabnya sekalian. Tidur bagi saya adalah kaos tangan pendek dan celana pendek. Makanya, sepanjang apapun perjalanan, paling gak bisa deh tidur di dalam kendaraan.


Well, ini udah jam 11 malam dan saya masih di depan laptop untuk beberapa hal yang musti selesai Tulisan ini Cuma selingan aja diantara kerja, heheh….


Okeh, balik lagi deh ngerjain PR.

Rabu, 17 Februari 2010

Summer Shunshine

Just sweet beginnings and bitter endings
In coffee city, we borrowed heaven
Don't give it back, I've never felt so wanted
Are you taking me home?

Senin, 15 Februari 2010

Jangan Main Main Dengan Hati: Masih Tentang Bunuh Diri Buat Kawin

Dia: Trus, gimana si Sholeh?

Saya: Sholeh? Yang kerja di McD itu?

Dia: Iya. Ibunya ngancam bunuh diri juga?

Saya: Enggak. Cowo ganteng. Dia. Sholeh. Lulus SMA kerja di McD di deket rumah, gue..tau kan? Nah, kaptennya si Sholeh itu kan cewe galak, gemuk, serem. Sangar kayak laki, dah! Suatu hari, Sholeh sama temen-temennya punya ide biar tuh cewe gak gitu galak lagi. Si Sholeh, yang emang playboy cap sendal jepit itu pura-pura naksir sama tu kapten.

Dia: Trus, gagal?

Saya: Berhasil, justru itu. Si Sholehnya gak nyadar. Tau-tau, pas si Sholeh bawa cewe cakep yang dia taksir, Mbak Kapten itu ngamuk. Nah, kebayang gak lo kalo cewe sangar ngamuk.

Dia: Nonjokin semua orang.

Saya: Beuh! Naik ke atas meja, trus bikin tali gantungan.

Dia: Serius, lo?

Saya: Iya lah orang heboh banget. Kampung gue ikutan geger. Tapi gue masih kecil waktu itu sih, gak gitu inget. Yang jelas, emak gue rusuh ngegosip.

Dia: Trus?

Saya: Yaaa, si Sholeh musti nikahin Mbak Kapten, kalo enggak, dia mau mati. Sholeh akhirnya nikahin Mbak Kapten juga.

Dia: Tapi, akur gak?

Saya: Sekarang, anaknya udah 3. Kayaknya sih, akur-akur aja tuh......

Dia: Yah, paling enggak, happy ending. Mudah-mudahan, ceitanya N anaknya Bu L juga happy ending.

Saya: Iya, mudah-mudahan.

Minggu, 14 Februari 2010

Tugas yang Paling Berat adalah Melepaskan II: Ancaman Bunuh Diri VS Ancaman Bunuh Diri

Dia: Tapi si N waktu itu bukan karena gak betah di rumah (hirup teh hangat)

Saya: Trus, apa? (Hirup kopi dingin)

Dia: Dipaksa kawin.

Saya: Oh, ya?

Dia: Alasannya, Bu L ngerasa malu karena adiknya N udah nikah, tapi kakaknya belum.

Saya: Trus, N ngancam bunuh diri karena gamau?

Dia: Iya.

Saya: Tapi, N nikah juga akhirnya.

Dia: Iya soalnya Bu L ngancam kalo N bunuh diri, Bu L bakal bunuh diri.

..........

Saya: gue jadi inget Sholeh.

Dia: Siapa tuh Sholeh?

Saya: Pelayan McD.

Tugas yang Paling Berat adalah Melepaskan

Pagi ke warung dan ngobrol dikit-dikit sama ibu-ibu yang ngegerombol. Widiiih, gue jadi tambah mirip ibu-ibu, pake ngegosip segalaaa..

Trus, ke dapurlah. Ngegedumbrangan masak. Sambil ngobrol sama rekan serumah yang lagi bikin goreng pisang sambil ngerendem cucian (nah, gimana caranya itu yaa?)

Saya, ngiris-ngiris bawang dan cabai. Dia, meniriskan pisang goreng.

Saya: Eh, anak-anaknya Bu L itu emang tinggal sama Bu L semua, ya?

Dia: Iya.. Di lantai dua. Ngapain tau-tau tanya itu?

Saya: Loh, kok elo tau? Gak, gue tadi liat cucu-cucunya Bu L pada berantem rebutan sepeda Lucu, deh. Gue rada heran aja kok tiap hari rame. Emangnya, mantunya Bu L pada betah, ya? Kan Bu L gitu. Trus, gak ada yang mau misah? Kasian kan Bu L-nya gak ruwet tuh berapa keluarga tinggal bareng gitu? Trus gimana cara ngaturnya, ya?

Dia: (ketawa ngakak) Emangnya lo mau jadi mantunya Bu L juga, ya? Huahaha.... Sebenernya, mantu-mantunya Bu L, anak-anaknya juga, maunya pisah aja. Udah pada punya rumah, tau. Tapi gak boleh sama Bu L.

Saya: Kok, gitu?

Dia: Yaaa, gitu.

Saya: Kan masih ada Fikri masih SMA. Jadi Bu L gak akan kesepian, dong. Lagian, pekerjanya Bu L juga tinggal di situ.

Dia: Gak ada alasan. Pokoknya, Bu L gak mau anaknya pergi dari dia.

Saya: Pantes si N mau bunuh diri waktu itu.

Dia: He-eh..

.............

Jumat, 12 Februari 2010

DOUBT

I.....

Because I miss you
And this is all I wanna say
I guess I miss you, beautiful
These three words have said it all

Kamis, 11 Februari 2010

bukumuka

fesbuk itu sarana curcol, ya... Kadang baca status orang-orang bikin mengkerut dan lelah. Duileeeh....
apasihtufacebookapasih, hah! Hah!







ah, mau ngecek dua facebook-ku itu dulu...

Tak Disangka Liburan, Euy!

Gara-garanya, ada sesuatu. Udah konsultasi sana Novie di telpon (sejak Eni sakit serem gak disangka, gue jadi care sama kesehatan). Kata Novie begini.. begini... Okeh, Bu Doc. Trus kalo beginibegitu? Begitu begini?
Novie: Ke RS aja sono, ah!!!!
Yawdah, pagi Kamis izin. Siap-siapin tugas buat anak-anak dulu, dong.... Tau-tau..
'Bu AL belum pernah izin gak masuk ya dua bulan ini...'
Iya kali... Busyet, gue guru paling rajin masup!!!
Tau-tau....
'Butuh berapa hari?'
Eh? Beneran? Ngng... Kamis-Jum'at-Sabtu, ya? Ya?
'Sabtu?'
Ada rapat gugus gak ya hari Sabtu? Adakah?
'Yaudah, nanti tinggal hubungin gugus aja kalo ibu sedang...sakit'
Sip, pissss!!!
Di RS gak sampe satu jam. Lah, cepet banget...
Pulang cengengesan sendiri Bok, gue punya 4 hari libur!!! Gue gak masup sekolah dan gua gak sakit, cihuuuyy!!!
Ibenk: Sombong bangetlo.. Biasa aja lagi kalo itu di kantoran namanya CUTI
JRENG!!! IBENGK, gue lagi hepi, jangan gitu napa!

Sabtu, 06 Februari 2010

sampai kapan sih mbak mau tomboy terus?

Tadi, baru pulang dari jalan seharian, saya ngacir lagi. Ibu langsung nyerocos..

'Gak betah amat sih dirumah. Baru pulang langsung pergi lagi.'

Mau potong rambut.

Ibu geleng-geleng kepala aja. Percuma mau ngomong apa juga teteup saja bakalan masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Gak akan menghalangi niatku potong rambut.

Saya tiba di salon langganan, langsung dibukakan pintu oleh putri kecil. Usianya sekitar tiga tahun, dan dia manis sekali. Ada tiga. Ada tiga anak perempuan putri sang pemotong rambut. Yang paling besar, kelas 1 SD. Sedang semangat belajar membaca. Sangat kekakakkan... Sangat melindungi adik-adiknya. Karena anaknya tomboy, pembawaannya kayak abang ke adik-adik perempuannya saja.

Anak kedua, sekitar 4 tahun. Pecicilan abis!!! Jahil, usil, dan cerdas sekali. Senangnya nyelusup-nyelusup tempat sempit. Rambutnya keriwil bikin gemes aja. Dan yang terakhir, gak pernah saya dengan ngomong, tapi senyumnya manis sekali.

Ketiga anak itu sedang siap ngaji di mushalla, jadi gak saya lihat lagi. Tapi saat saya duduk di kursi panas, ibu-ibu datang. Langsung komentar-komentarin saya.

'Anak jaman sekarang, dipotongnya pendek-pendek. Kayak laki!!'

Saya senyum manis aja.

'Iya,' kata ibu satunya menimpali. 'merasa rugi sering pergi ke salon, kali..'

Senyum saya ilang.

Untung mereka gak lama, cuma mau bikin janji nyanggul besok hari. Si mbak pemotong rambutnya, yang nampaknya gak enak, jadi tanya-tanya (biasanya dia gak gitu)

'Gak usah dipikirin mbak, namanya juga ibu-ibu.'

Iya, gak kepikiran kok.

'Emang mbak potongan rambut kayak gini dari kapan?'

Dari dulu emang potongan rambut saya selalu pendek tanpa model macem-macem. Karena saya putih, rambutnya lurus dan kenyataan bahwa saya pake kacamata, maka jadilah sering dibilang mirip harry potter. Cuma warna rambut aja suka ganti-ganti yang gak jauh dari merah atau cokelat.

Tapi, sekarang sih karena pake jilbab dan ganti jadi lensa kontak, jadi gak dibilang harry potter lagi.

Wah, dari kapan yah? Dari dulu sih... Dari SD kayaknya.

'Waduh mbak, sampai kapan sih mau tomboy terus?'

Wateziggg!!

Lo sebenernya mau menghibur gue atau mau jorokin gue sih?

Jumat, 05 Februari 2010

KKG

saya bener bener lagi gak mau KKG maksud saya bener bener jenuh lagi bener bener capek gak mau

tapi gak ada alasan yang wajar untuk gak dateng

Kamis, 04 Februari 2010

sekolah dalam gua (china)

takpernahkitapikirkanujungperjalananini

tak pernah kita pikirkan ujung perjalanan ini
tak pernah kita pikirkan ujung perjalanan ini
dan tak usah kita pikirkan akhir perjalanan ini...

Senin, 01 Februari 2010