Kamis, 31 Desember 2009

resolusi

Saat kuliah dulu, pada malam tanggal 22 Juli, saya akan duduk sendirian di kamar. Terkadang, pada keadaan yang absurd. Mematikan lampu dan hanya dengan lilin sepotong, saya membuka lembar jurnal yang saya tulis dari 23 juli sampai 22 juli tahun selanjutnya. Pada akhir halaman, saya menuliskan apa saja yang dapat saya banggakan tahun kemarin, apa saja kesalahan saya, apa yang tidak ingin saya ulangi, apa yang ingin saya ulangi lagi, dan apa yang musti diperbaiki. Yep, sebutlah saya freak karena menghabiskan malam ulang tahun dengan cara yang tidak biasa. Tidak ada kue, tidak ada ucapan selamat (karena HP saya matikan dan di depan pintu kamar tertulis 'jangan ganggu'). Diri saya sendiri, dengan waktu. Waktu yang terlewati, dan waktu yang akan datang.

Kebiasaan itu tidak lagi saya teruskan selepas kuliah. Alasannya, gak punya kesempatan. Pada tahun pertama mengajar, saya, Kirsan, Bu Lulu, dan Eni mengontrak rumah petak tiga bersama-sama. Patungan. Rumah seperti itu tanpa kamar, hanya dua pintu depan dan belakang. Ditambah jendela yang tidak dapat lagi dibuka karena karat telah memenuhi sela-selanya. Bahkan kamar mandi kami pun tidak memiliki pintu. Kami berempat tidur menggeletak di lantai di satu ruangan. Pada 22 juli malam tahun itu, saya bahkan lupa. Dan menghabiskan malam dengan menggunting-gunting dan menulis rancangan pembelajaran untuk esok hari. Maka tahun-tahun selanjutnya menghilang.

Resolusi pun bergeser, dari ulang tahun ke tahun baru. Tapi gak esklusif.

Sebenernya, saya membuat janji dan resolusi sering. Pada permulaan Ramadhan, pada idul fitri, pada 1 Muharram, dan pada tahun baru masehi. Tidak seperti dulu, dengan tulisan, tapi cukup dalam hati. Yang isinya selalu sama:

"Saya ingin jadi orang yang lebih baik"

Malam tahun baru ini saya habiskan di rumah bersama ibu, menemani dan mendengarkan curhat pajang beliau mengenai adik laki-laki yang sedang dalam masa puber. Masa ketika 'aku'nya lagi tinggi-tingginya. Lalu curhat mengenai adikku yang satu lagi yang bekerja keras tanpa dihargai. Ibu mana yang tidak sedih melihat anaknya bekerja mati-matian tapi tidak mendapat penghargaan yang pantas. Lalu nonton TV.

Sesekali jeguk laptop yang menyala tersambung internet sibuk download film.

Jalan di depan rumah yang biasanya sepi sekarang ramai motor lewat. Mencari jalan tembus melintas kampung demi menghindar macet yang gila-gilaan.

Ibu bilang, tadi, langit terang malam ini. Saya melangkahkan kaki ke depan rumah menengadah. Memperhatikan langit. Orang depan rumah, bibi saya, menawarkan ikan bakar. Saya nyengir, memperhatikan jalanan dan motor-motor yang semakin berisik. Lalu tercetus lagi kalimat yang biasa:

Saya ingin jadi orang yang lebih baik.

Tapi, saya memutuskan untuk bosan denga kalimat yang itu-itu saja. Maka, tahun ini agak berbeda, dari tahun-tahun yang lalu.

Saya ingin menjaga shalat saya, dan gak berat lagi untuk shaum sunnah, gak males-malesan tilawah. Saya ingin memulai kembali kebiasaan qiyamul lail yang selama bertahun-tahun ini kocar-kacir entah kenapa.

Saya mau lebih banyak waktu sama ibu saya, karena saya tahu ibu saya suka kesepian.

Saya mau lebih perhatian lagi sama anak-anak saya khususnya mereka yang membutuhkan lebih perhatian seperti Salman dan Sandra yang sudah gak punya ibu lagi. Saya harus berusaha lebih keras untuk membantu anak-anak sukarku keluar dari masalah mereka. Robby, Npuval, Cakra dan Sandra.

Saya mau membangun komunikasi yang lebih baik dengan OTW khususnya sama ortunya Thoriq dan Safira. Saya mau lebih tanggap terhadap keluhan-keluhan OTW mengenai saya ataupun sekolah.

Saya gamau ditegor-tegor lagi sama kepsek gara-gara terlambat ngumpulin rencana pembelajaran, atau laporan absen, atau koreksian ulangan dan tugas yang belum selesai melulu. Dan saya gak mau dimarahin lagi gara-gara itu.

Saya gamau dikeluhin lagi sama om om cleaning service gara-gara meja kerja saya selalu acak-acakan dan kadang kotor. Saya mau lebih rapih dan bersih.

Saya gamau jadi orang banyak ngeluh tentang kepentingan pribadi saya. Harus belajar untuk lebih bersyukur dan lebih ikhlas lagi.

Saya optimis, Allah akan memberi banyak kemudahan pada saya untuk mencapai itu semua.

Nunggu Kelas Empat


Foto di depan Museum Keprajuritan saat nunggu kelas 4 tiba.

Kelas 5 pas fieldtrip gak kebagian masuk bis. Penuh. Akhirnya pakai mobil sekolah.

Lucunya pas nunggu kelamaan dan mulai heran kenapa kelas 4 gak nyampe-nyempe, tau-tau kita dikagetin sama rombongan kelas 4 yang keluar dari dalam gedung. Ternyata, mereka salah masuk dari pintu belakang.

Depan Anjungan Jawa Timur

Di seberang museum keprajuritan tepatnya di gapura anjungan Jawa Timur.
Aduh mereka tu bener-bener ngeselin! Lari ke sana kemari main nyeberang! Apa itu main nyeberang? Yaitu mereka lari-larian nyebrang jalan dari anjungan Jawa Timur ke pintu Museum Keprajuritan. Balik lagi. Sampai sakit tenggorokan tereak-tereak memperingatkan. Emang sih, kendaraan yang melintas dikit. Tapi justru itu! Karena dikit, kalo tiba-tiba nongol, nanti gak tau.

Tapi, liat fotonya kemudian, teteup aja bikin senyum lebar. Gak peduli pas ambil foto sambil ngomel-ngomel ruwet sakit kepala.

Anak-anakku manis sekali.

Rabu, 30 Desember 2009

masih berpendapat jadi guru itu santai?

Kemarin, chatting dengan teman lama.

Dia: Lagi liburan?

Saya: Kok, tau?

Dia: Masa muridnya libur guru gak libur.

Saya: Kadang, guru gak libur juga loh.

Dia: Ngapain aja kalo gak libur? Ngoreksi lks? Trus, ngapain?

Saya: Yah, banyak. Nyusun kurikulum dan sylabus. Bikin kalender akademik. Bikin program tahunan, program semester, KKM. Beberes nyambut kelas baru, display kelas. Kadang pelatihan..

Dia: Wah, banyak yaaa.. Gue kira guru pasti libur kalau murid libur. Tapi paling enggak lo kan nyante, AL. Gak kayak gue kerja rodi seharian.

Saya: Hehehe, anak gue masuk jam 7 pagi, itu artinya gue musti udah di sekolah jam setengah tujuh. Kalo guru negeri di Jakarta masuknya malah jam setengah tujuh. Trus anak gue pulangnya jam 3 sore, belum yang musti dikasih tambahan belajar karena gak sanggup ngejar KKM. Tambah bikin perencanaan ngajar besok, berarti gue paling cepet pulangnya jam 4 sore. Itupun kalo koreksian dibawa pulang ngerjain di rumah. Kalo ada acara di sekolah, ya lemburnya sampe malem. Hari sabtu gue musti rapat atau pertemuan dari jam 9 sampai jam tiga sore.

Dia: Ooo..

Saya: Masih berpendapat jadi guru itu santai?

Senin, 28 Desember 2009

Fatwa Pujangga

T'lah kuterima suratmu nan lalu
Penuh sanjungan kata merayu
Syair dan pantun tersusun indah, sayang
Bagaikan madah fatwa pujangga

Kan kusimpan suratmu nan itu
Bak pusaka yang amat bermutu
Walau kita tak lagi bersua, sayang
Cukup sudah cintamu setia

Tapi sayang sayang sayang
Seribu kali sayang
Ke manakah risalahku
Nak kualamatkan

Terimalah jawapanku ini
Hanyalah doa restu Ilahi
Moga lah Dik kau tak putus asa, sayang
Pasti kelak kita kan bersua

Jumat, 25 Desember 2009

Buku Catatan Ngigo (Digigit Arifin Ilham)

Kata Eni, saya itu kalau tidur rame. Ngoceh terus alias ngigo. Gak jelas gitu. Waktu pertama-tama, dia sering duduk dan mengamati berusaha mengerti apa yang saya katakan. Kadang dapat dimengerti, kadang gak bisa. Kadang bikin kaget saat saya tau-tau berkata dengan cukup keras 'kaget!!'. Si Eni terlonjak kaget dong dan gak jarang bikin dia jatuh dari tempat tidur.

'Jangan ngomong 'kaget' keras-keras,' kata Eni kepada saya yang masih sukses tidur. 'bikin kaget aja.'

Sesungguhnya, saya sendiri baru tahu dengan kebiasaan yang itu. Kalo masalah tidur lasak, dari dulu udah banyak banget yang ngasih tau. Waktu masih di pesantren, rekan-rekan sekamar saya selalu heran. Dari atas tempat tidur, saya bukan hanya pindah ke lantai, tapi pindah tau-tau ada di kolong tempat tidur orang lain. Waktu belum ada mess sekolah, saya, Eni, beserta Kirsan ngontrak rumah petak tiga bareng juga pada kaget pada malam pertama. Kirsan dan Eni terngakak-ngakak menonton saya tidur pindah-pindah dari ruang tengah ke dapur lalu merembet ke ruang depan. Maju mundur terus.

Sebenernya, kebiasaan ngoceh alias ngigo ini pun baru. Semenjak pindah tinggal dari mess ke rumahnya Eni.

'AL, tau gak. Kadang gue jadi kepikiran lo gak hepi tinggal disini. Jadinya gelisah gitu..'

Ah, biasa-biasa aja tuh. Gue gak ngerasa macem-macem. Gelisah karena gue jadi lebih bokek dari biasanya kali, hehe...

Iya tuh, semenjak pindah ke rumah Eni tambah bokek aja. Dulu di mess kan segalanya gratis. Gak perlu mikir bayar listrik, air, iuran RT, iuran sampah, gas, dan seterusnya.

Saya mulai ngigo konon sejak malam pertama di rumah ini. Pertama, cukup mengganggu teman serumah saya. Lama-lama, dia menggunakan kesempatan terbangun-bangun pada malam iu untuk shalat tahajud dan ngaji. Cuma, kebiasaan baik yang mulai rutin itupun ternyata tidak dapat dinikmati dengan nyaman. Masalahnya, saya dengan kebiasaan lama saya teteup jalan. Tidur di lantai dan lasaknya amit-amit. Pernah suatu kali, kata Eni, kaki saya tau-tau mendarat di bahu Eni yang sedang duduk diantara dua sujud dalam shalat. Atau suatu malam dimana Eni musti menghentikan tilawah qur'annya ditengah-tengah dan rusuh sendiri memindahkan dispenser. Habisnya, kaki saya menendang-nendang itu dispenser.

Akhir-akhir ini, kalau tilawah setelah tahajud, Eni melakukannya dengan duduk di kasur. Males aja musti rebutan lahan sama saya di lantai kamar. Ternyata, saya pun punya kebiasaan baru. Setiap Eni tilawah diatas kasur, saya merambat ke atas tempat tidur.

Saya jadi ingat pada suatu hari, ada kejadian yang mengerikan membuat kami semua panik. Saya termasuk yang paling panik. Lalu, Kirsan membuka qur'an mulai tilawah, lalu saya berangsur tenang dan tertidur. Alasan yang sama nampaknya kenapa saya, tenpa sadar, bahkan dalam tidur, selalu ngedeketin Eni yang sedang tilawah.

Eninya garuk-garuk kepala, dong.. Nih orang. Gue udah ngejauh, dia malah ngedeket.

Tapi saya bisa tenang. Tau gak gimana tenangnya? Saya menyelusupkan kepala saya ke atas pangkuan Eni. Nyaman tidur begitu. Hueheheh...

Eniwei... Tadi malam, saya mimpi. Sebuah mimpi panjang yang emosional. Terbangun kaget. Saya melihat Eni sedang duduk diatas kasur dengan qur'an terbuka di tangannya. Tilawah. Dan tanpa kata, langsung menggeser tubuhnya memberi ruang untuk saya merambat dan tidur di sebelahnya.

'Mimpi, ya kamu..? Gelisah banget..'

Iya. Mimpi digigit Arifin Ilham.

'Hah?'

Dalam hati Eni: Ini anak masih ngigo, gak, yaa...

Iya, di dufan. Aku mau naik wahana, trus Arifin Ilham dateng. Ceramah gitu. Lamaaa banget. Aku jadi kesel abisnya kelamaan. Trus aku kelitikin aja. Dia marah kayaknya, gigit kaki aku. Sakit.

Saya terlelap lagi.

Eni bengong, lalu ketawa-tawa sendirian.

'Tau gak, AL. Kayaknya lucu juga kalau gue punya buku catatan ngigo buat nyatet apa aja yang kamu ocehin tiap malam.'

Kamis, 24 Desember 2009

Menikah

Salah satu sahabat saya akan menikah dalam waktu dekat ini. Dia memberi kabar, dan saya terkejut gak kepalang. Bukan karena dia akan menikah. Yaa, sebetulnya, kabar bahwa dia akan menikah dalam waktu dekat juga bikin saya kaget. Soalnya, saya gak tau sama sekali bahwa dia sedang dalam hubungan. Rasanya, dia jomblo aja gitu. Nah, siapa sang pasangan itupun membuat saya terkejut.


Laki-laki itu adalah rekan kerja saya.


Haaahhh!! Sahabat saya akan menikah dengan salah seorang rekan kerja saya?!


Figur sang laki-laki pun bikin saya terheran-heran. Namun, saya berusaha tidak menampakannya. Nyengir lebaaaaar, dan mengucapkan selamat. Dia bilang,’Loh, jangan selamat sekarang, dong. Kan menikahnya baru minggu depan.’


Kami duduk pada malam, di rumahnya. Ngobrol ke sana dan kemari. Lalu perbincangan mengenai pernikahannya pun bergulir.


AL, maaf ya kalo aku gak pernah ngabar-ngabarin mengenai rencana ini sampai akhir.’


Saya menghirup kopi. Sempat terdiam.


Yaa, sebenernya gue jadi agak bertanya-tanya aja. Sobat gue mau nikah sama rekan kerja gue, tapi kok gue jadi orang yang paling akhir tau?


Okeh-okeh. Temen saya ini, keponakannya sekolah di SD tempat saya mengajar. Jadi, bisa dibilang, sebenernya kami saling tau. Dia dan rekan-rekan saya.


’Masalahnya, semua orang pas dikasih kabar itu kaget. Gak percaya. Trus nyuruh aku berpikir ulang. Jangan sampai nanti nyesel. Tapi, aku udah memutuskan ini, dan sudah dengan berbagai pertimbangan yang dalam. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku tahu siapa dia. Dan aku merasa sedih orang-orang, termasuk keluarga, keliatan shok. Yaaa, aku takut aja kalo aku akan nerima sikap yang sama dari kamu. Bukan berarti aku nganggap kamu berarti. Sebaliknya malahan.’


Diam..


’Yang aku hargai, kamu gak bersikap seperti yang lain. Kamu itu satu-satunya yang langsung nyengir lebar dan ngucap selamat, loh. Gak mengernyit heran atau nyuruh aku mikir lagi.’


Diam...


’Padahal, kamu kaget juga kan?’


Emang.. Tapi gue tau lo pasti udah memikirkan baik-baik.


‘Kenapa sih orang-orang segitu shoknya?’


Okeh, sebelum Anda mulai berpikir yang enggak-enggak, mari saya jelaskan situasinya dulu. Sobat saya ini adalah seorang cewe yang berpenampilan elegan. High class kemana-mana pake mobil. Kerjaannya oke. Cantiiiik banget!. Jangankan cowo, cewe aja terpesona melihatnya. Dan rekan kerja saya si calon suami adalah seorang, yaa… gak ada yang lebih tepat selain hanya guru SD swasta yang pas-pasan. Masih kuliah pula. Bisa dikatakan, miskin dan lusuh. Dia adalah seorang laki-laki zuhud yang hampir selalu beribadah, dan berdzikir.

Si cewe, sudah banyak ditaksir sana-sini. Dikenalin sana-sini. Semuanya menyandingkan dia dengan laki-laki muda yang mapan. Tapi, nampaknya gak ada satupun yang bisa sreg dihatinya.


‘Kenapa sih orang-orang segitu shoknya?’


Kita semua selalu menyangka kalo lo nantinya akan berdampingan dengan seorang manager atau pengusaha muda.


Diam..


‘Aku udah dikenalin macem-macem orang yang setipe semua begitu, gak ada yang bisa menyentuh hati ku. Sampai aku ketemu dia, dan aku sendiri kaget bahwa aku akhirnya sadar, kalo yang aku inginkan untuk berbagi hidup adalah orang yang sederhana dan sholeh. Yah..’ dia menghela nafas. ‘Akhirnya, aku tau, bahwa yang aku inginkan adalah orang yang zuhud dan baik hati. Hanya itu aja.’


…….


‘Kok, diem aja, sih?’


Gak, Cuma... Yah, baru ngeh aja. Ternyata, seperti iniloh laki-laki yang kamu inginkan. Dari dulu, gue bingung aja. Lo tuh ye, tipe cewe yang bikin semua cowo menatap lama. Dan lo, menurut gue, orang yang bisa ngedapetin cowo seperti apapun. Yah, kecuali gay. Tapi selama ini, kok kayaknya ogah bener. Gak taunya, begini toh…’


Kali ini dia yang diem.


’Mungkin aku Cuma ingin berada disamping orang yang yang menganggap hadirnya gue itu rahmat, bukan pencapaian. Atau piala keberhasilan. Hal yang sederhana, kan, AL?’


Yep...


Saya ikut bahagia untukmu, sobat. Akhirnya kamu bertemu juga dengan pangeranmu, imam dunia dan akheratmu. Kayaknya, bakal banyak susah perjalanan untuk menjalinkan dua figure yang bersanding aneh ini. Tapi, bisalah.. Saya yakin.


Well, cowo.. Jangan jiper merasa gak layak kalo naksir sama cewe. Siapa tau, justru orang seperti lo itulah tipenya.. :)

CobalahMengerti

aku takkan pernah berhenti, akan terus memahami
masih terus berfikir, bila harus memaksa
atau berdarah untukmu, apapun yang kurasakan
mencoba menerimaku

dan kamu hanya perlu terima, dan tak harus memahami
dan tak harus berfikir, hanya perlu mengerti
aku bernafas untukmu, jadi tetaplah disini
dan mulai menerimaku

cobalah mengerti, semua ini mencari arti
selamanya takkan berhenti
inginkan rasakan, pintu ini menjadi satu
biar waktu yang memisahkan

Sabtu, 19 Desember 2009

BeratBadan

Akhirnya terjadi juga saat saya mulai merisaukan berat badan!


*dikasih selamat kanan kiri karena itu tandanya (katanya) kadar ketomboyan saya mulai berkurang*


Awalnya sih, pas lebaran. Pada komentar bahwa saya gemuk banget! Si nenek apalagi, duileeeh! Sebel pisan rasanya. Bersungut-sungut.


‘Kenapa jadi gendut. Nanti gak laku..’


Tapi emang semua orang di rumah komentar gitu, sih.. Saya ndut.


Well, mungkin iya juga sih, yaa... Pas bulan puasa kan pas banget tornado menghantam sekolah dan gatau kenapa, tau-tau saya didaulat semua orang jadi kapten kapal dadakan. Maka, saya yang sumpek kelelahan kerjaannya makaaan melulu. Ya enggak pas siang hari dong atuh. Mirip-mirip vampir lah, begitu adzan magrib berkumandang, maka mulut ini tak henti-hentinya mengunyah.


Ditambah ritual sebelum tidur yaitu satu mangkok mie ayam. Plus teh botol dingin, tentu…


Gak heran pas lebaran, berat badan saya nambah..


Sesudah itu sih, rasanya normal lagi. Kebawa-bawa juga apa kata orang pas lebaran dulu.


AL, lo bahagia bener jadi guru ya? Ampe mekar gitu..’


AL lo ndut..’


Duileeehhhh…


Masalahnya, semua rekan saya kompakan berkomentar saat saya mulai rese bolak balik naik timbangan di UKS.


‘Bu ALifia itu pas lagi, Bu… Gak gemuk, kok. Pas…’ Bu TU.


’Iya lo sekarang semok , AL.. Malah bagus, kok..’ Bu Lulu.’daripada dulu lo kurus banget.. Sekarang lo keliatan cewe


Teteup aja jadi gak PD, ya, gak.. Kalo semua kawan lama dan orang rumah bilang ndut…


Ini, yang mana yang bener, nih?


Saya: En, kayaknya gue mau pindah lagi aja ke mess, yaa?


Eni: Hah?


Saya: Soalnya semenjak gue tinggal bareng lo disini, gue jadi ndut. Gara-gara lo, nih.. Gak sanggup gue gak sanggup liat lo makan.


Mari saya gambarkan sedikit tentang sobat saya ini sang walikelas 1A yaitu Eni. Dia tinggi. Walaupun gak kayak model tapi termasuk diatas rata-rata perempuan Indonesia. Sebenernya tomboy banget, tapi akhir-akhir ini dandanannya jadi feminin. Teteup aja orang yang kenal dia lama ngeliat dia tomboy. Sebenernya slengean, tapi sekarang udah keliatan lebih rapihan. Putih walaupun kalah putih sama saya, heheh.. Cerdas, lucu, kutubuku, dan saaaaaangat suka main game.


Lah, jadi kayak Jodie Starling the English Teacher yang rangkap jabatan agen FBI, yaa…


Langsing..


Sekali lagi, langsing. Bahkan bisa dibilang, kurus. Padahal, beuh! Kalo makan dua piring! Pulang sekolah jam 5 sore makan semangkok bakso, nanti jam 8 malem masak nasi goreng lagi. Dan kalo liat dia makan, walaupun gak laper, tapi bawaannya jadi pengen makan juga. Saking enuaaaknya Eni itu makan.


Mengherankan!


Saya: En, lo kalo makan baca doa gak sih? Jangan-jangan, makanannya dimakan setan, tuh, En..


Eni: Orang jenius emang gini, AL. Makannya banyak, tapi gak gemuk. Soalnya mikir terus..


Saya: (Nyesel nanya..)


Eniwei, balik ke pembicaraan saat saya mau pindah.


Saya: En, gue ndut..


Sambil berdiri di depan kaca. Pokoknya adegannya mirip banget sama adegan di film Jomblo saat si cewenya Ringgo Agus Rahman mematut diri depan kaca sementara si Ringgonya asik nonton bola di TV. Tapi versi saya dan Eni, si Eninya lagi asik main PS.


Reaksinya sama dengan Ringgo.


Eni: Nggg.. (Gak mengalihkan mukanya dari game)



Saya: Eniiii... Kita fitnes, yuk..


Eni: Hah? Gue mau apa yang difitnesin? Lagian, lo juga ngapain fitnes segala. Kayak kelebihan berat badan aja.


Saya: Akhir-akhir ini berat badan gue naik.


Eni: Emang..


Saya: Yaa, makanya fitness. Biar turun lagi.


Eni: Maksudnya lo mau jadi galah hidup kayak gue gini lagi? Ada ada aja. Gue aja pengen badannya kayak elo. Gimana sih? AL, lo tuh orang yang paling dongkol denger cewe ngeluhin berat badan. Dan lo tau gimana gak enaknya. Jangan bikin gue senewen dengan ketidak nyamanan lo itu. GAK ADA APA-APA. LO GAK GENDUT. CUMA AGAK GEMUK DARI BIASANYA!


Saya: (ngambek masuk kamar, heheh..)


Gak ngebahas-bahas lagi tentang berat badan di rumah. Kagak mau kena semprot! Teteup aja jadi rajin bolak-balik UKS.


Beneran, gak nyaman euy...


Tadi dong, kondangan. Teman saya dan Eni, jadi berdua aja deh, heheh.. Tak disangka, ketemu kawan-kawan lama. Huehehe, dunia kok kayak selebar daun kelor, yaa..


Biasa, kalo kondangan yang ditanya partnernya mana..


Kawan: AL, mana pasangan lo..


Saya: Tuh.. (nunjuk Eni yang lagi sibuuuuk bener makan. Gak mau deket-deket. Malu kok temen saya gak brenti makan gitu..)


Kawan: Yah... Cowo dong AL, cowo..


Saya: Lagi gak laku, gue.. Udah dua tahun jomblo.


Kawan: Betah banget romannya jomblo. Ngomong-ngomong, makmur lo sekarang. Jadi gemuk..


Kawan: Iya, AL. Gemuk lo..


Tampang saya langsung keruh, deh.. Muka-muka polos gak bisa boong gini.


Pulang, nogkrong dulu. Ngopi di mall. Berasa orang kaya padahal Cuma dua guru SD miskin. Belagu bener lah pokoknya kita kali ini.


Eni langsung aja buka notebook memperlihatkan hitungan-hitungan. Menunjukkan pada saya bahwa dengan perbandingan tinggi badan, berat badan saya hari ini termasuk....jreng-jreng!!


normal..


Saya diam saja.


’Yang rese bilang lo gemuk kan temen-temen lama, lo. Keluarga lo. Tetangga lo. Orang-orang yang kenal lo dari dulu, AL. Mereka heran liat lo gemuk, karena tadinya lo kurus banget. Kuruuus banget. Gue masih ingat lo empat tahun yang lalu. Ampun, deh... Trus inget gak, kalo lagi pake celana pendek, kata Kirsan, kayak tulang jalan. Jadi mereka heran banget pas liat lo gemuk. Saking herannya sampe kegirangan. Yah, mungkin terlalu girang aja kali ya sampai bikin lo gak nyaman. Tapi kenyataannya, lo tuh.. menurut gue, perfect. Gak percaya? Liat aja ini..’


Saya diam.


‘Cuma muka lo aja yang modelnya jeber jadi kalo lagi pake jilbab, keliatan agak gemuk. Dikit, heheh..’


Heran juga liat ternyata berat badan saya masuk ideal, cing!!

Jumat, 18 Desember 2009

sakitkaliini

Biarpun selalu kecewa dengan film yang diangkat dari buku, teteup aja geregetan pengen nongton pas tau ada pelemnya. Gak sedalem bukunya, ya iyalaaah!!! Tapi paling enggak, dapet lah rasanya. Terlalu cepet aja detaknya.


Keren banget!! Sakitnya sampai mengiris gak sanggup nangis.
Harus menyembunyikan muka di balik bantal selama beberapa saat karena gak kuat.


Selalu suka Jodie Foster. Setelah lamaaaaaaa sekali, akhirnya liat lagi JF jadi orang gila! Lucu abis!

Kamis, 17 Desember 2009

Lagi Gak Bisa Sakit, Nih..

Akhirnya saya bisa pulang ke rumah, cihuuuyyy.... Pulang sekolah tadi, tenggo... Begitu 'teng', langsung 'go'... Go Home...

Tau-tau berasa aneh di angkot. Yah, awalnya sih supirnya rada keterlaluan, memasukkan penumpang lebih banyak dari seharusnya. Mana yang terakhir masuk ibu ibu lebaaar banget! Bukan berarti gak demen juga lo, yaa.. Tapi, yah cuma ngasih tau kalo di dalam itu bener-bener sumpek.

Si ibu duduk di sebelah saya. Dengan PDnya langsung duduk aja, gitu tanpa aba-aba atau nengok-nengok. Daaan, setengah, maaf, pantatnya mendarat dengan sadis di pinggang saya!

Auuu!!!

Maaf.. Maaf, dek..

Gak apa-apa.

Maka sepanjang jalan, sesak nafas. Dada saya terhimpit kiri dan kanan. Haduh.. Untung di belakang orang yang disamping saya, jendela. Masih ada udara yang berhembus menambal oksigen yang semakin lama semakin tipis di dalam.

Tapi...

Duh, saya paling sebel kalo yang berada di sebelah jendela di angkot itu cewe. Baik itu ibu-ibu maupun dan apalagi masih muda. Takut angin. Jendela akan ditutup dengan sadis. Alasannya, angin... Lah, iya ada angin atuh, Neng.. Makanya jangan duduk di deket jendela.
Sebelnya kalo alasannya 'takut angin' itu bukan karena khawatir akan kesehatan, tapi karena takut tata rabutnya acak-acakan.

Duileeeh..

Dan itu cewe di sebrang, yang sepanjang jalan centi-centil dengan HP-HPnya itu, sadis menutup tanpa ada ruang. Lalu, belum puas, dia minta cowo di sebelah saya untuk menutup jendela.

'Angin..' katanya sambil merapikan rambut.

Si cowo langsung nutup sadis. Saya menoleh.

Buka aja deh. Dikit. Saya gak tahan kalo di ruangan tertutup kurang oksigen. Nanti saya muntah, loh..

Si cowo terkejut, lalu cepet-cepet buka jendela setengah.

Sepanjang jalan, beuh! Sesak karena pengap. Lubang yang tersisa itu teteup aja kurang, kan? Mana terhimpit kiri dan kanan. Kepala jadi pusing. Dan setengah perjalanan saya membayangkan diri saya mati kehabisan oksigen di dalam angkot.

Untungnya di mobil umum yang kedua yang saya tumpangi, tidak terulang lagi.

Sampai di rumah, langsung tepar di tempat tidur. Terbangun beberapa kali menggigil. Haduh, saya demam gini. Badan sakit. GAK ENAK BADAN.

Minum air sebotol dan negak madu.

Tidur lagi.

Bangun, ibu saya terheran-heran melihat muka saya.

Kenapa tuh?

Gak enak badan.

Oh... Minum obat, dong...

Iya, ini juga mau cari obat sama bubur.

Ibu terperangah, dong..

Tumben banget begitu sakit langsung minum obat. Gak ntarsok (ntarsok: Ntar dan besok) ntarsok?

Iya, lagi gak ada waktu buat sakit soalnya....

Koreksian menumpuk.. Rapot membayang, euy!

Minggu, 13 Desember 2009

Tentang (Tetap) Percaya

Adiknya Eni menelpon. Minta uang.

Dia bukan tipe anak muda yang seneng gerecokin keluarganya dan minta-minta uang, maka pasti benar-benar kepepet. Memang benar. Kontrakannya jatuh tempo, dan dia benar-benar tidak punya uang. Kabarnya, yang sudah dipersiapkannya itu diberikan pinjam kepada kawannya yang membutuhkan untuk keadaan darurat.

Eni percaya.

Masalahnya, tu anak hari gini gak punya rekening bank. Yah, namanya anak kuliahan anak kost, deh! Jadi ribet juga karena gak mungkin juga nganterin ke sono.

Gak jauh-jauh amat, sih! Karena itu malah jadi nanggung, bukan?

Kebetulan kerabat Eni bekerja di daerah yang sama dengan sang adik, maka dengan ringan, titip lah...

Tau-tau, ba'da maghrib, kami lagi asik mengajar anak-anak tetangga, telpon berdering. Sang adik. Setengah menangis.

Eni: Kan udah dikasih. Emang belum dateng si ANU?

Adik: Belum. Aku telpon gak diangkat... (Panik) Udah ditanyain sama yang punya kontrakan. Udah telat soalnya. Orangnya marah. Kalau aku diusir, gimana?

Eni: Udah dikasih tadi pagi. Mungkin masih dijalan. Telpon lagi aja.

Sebenernya, Eni panik juga.

Adik: Dari tadi aku udah telpon.. Gak diangkat-angkat.. Kakak kan tau ANU itu gimana.. Kenapa kakak titip ke dia?

Eni diam.

Kemudian dia menelpon ANU. Karena tidak diangkat, akhirnya meninggalkan pesan. Baik itu suara maupun teks.
ANU, Demi Allah.. Tolong dong jujur aja. Apa uangnya dipakai sama kamu? Jawab telponnya. Adik saya bener-bener butuh sekarang..

Mondar-mandir.. Akhirnya, Eni bawa keluar motornya.

'AL, gue nginep di tempat adek gue kayaknya. Gak mungkin pulang ke sini lagi.'

Okey...

Besok paginya, saya bertanya:

Gimana si ANU dateng, gak?

'Gak ada kabar beritanya sampai sekarang.. Sebenernya, ini bukan yang pertama.'

Loh... Kalo gitu kenapa..

'Udah, gak usah komentar. Gue gak mau ngebahas ini sekarang. Kesalahan gue, untuk tetap percaya..'

Nananana

Ketuk Dulu Pintu Rumahku Lepaskan Dulu Sepatumu
Beri Salam Pada Ibuku Baru Kau Bisa Ketemu aku Oo
Sebutkan Dulu Namamu Ceritakan Tentang Storymu
Kerahkan Segala Usahamu Baru Kau Bisa Jalan Denganku

Hei Semua Ada Aturannya
Mesti Ada Aturannya
Na Na Na Na

Buat aku Percaya Padamu Lindungi aku Jadi Payungku
Jadilah Anak Yang Baik Baru Kau Bisa Jadi Pacarku
Sekarang Jaman Internet Tapi Etika Nggak Jadi Macet
Jangan Kayak Makhluk Planet Datang dan Pergi Tanpa Basa Basi

Hei Semua Ada Aturannya
Memang Ada Aturannya
Na Na Na Na

Na Na Na Na Na Na Na Na
Na Na Na Na Na Na Na Na

Berakit Rakit Kehulu Berenang Renang Ke Tepian
Bersakit Sakit Dahulu Baru Bersenang Senang Kemudian

Hei Semua Ada Aturannya
Memang Ada Aturannya
Na Na Na Na

Na Na Na Na Na Na Na Na
Na Na Na Na Na Na Na Na

Sekolah Ada Aturan Di Rumah Na Na Na Na
Di Kampus Na Na Na Na Di Jalan Na Na Na Na
Main Bola Na Na Na Na Kampanye Ada Aturan
Pacaran Na Na Na Na Bersenang Senang Na Na Na Na


Na Na Na Na = Ada Aturan

Sabtu, 12 Desember 2009

Selamatan Rumah

Jangan bilang nyokap gue ya, huehehe…


Ya gak mungkin dong itu idenya Eni dan apalagi saya. Ini semua adalah atas prakarsa dan paksaan dari, jreng.. jreng!!!


Emak bapaknya Eni!


Kalo pindah rumah itu harus selamatan dulu, kata mereka. Pastilah si Eni males setengah mati. Pertama, gak ada waktu. Kedua, gak nyambung sama pikirannya si Eni yang rasional. Ketiga, gak ada biaya.


Saya? Duileeh!! Gak mungkin kepikiran selamatan rumah. Pertama, gak mau ribet. Kedua, bokap gue kalau tau bisa sedih banget kali ye secara keluarga gue kan Muhammadiyah yang ngubur orang aja gak pake niga-nuju-hari-tahlilan atawa orang bilang kayak nguburin kucing itu. Gue gak yakin juga masalah selamatan rumah karena yang gue inget, keluarga gue gak pernah menyelenggarakan selamatan rumah. Ketiga, gak ada biaya.


Intinya, alasan kita berdua, sama!!


Ortunya Eni terus-terusan tanya kapan mau selamatan rumahnya?


Eni bilang, gak punya uang. Cicilan rumah aja masih panjang.


Nungguin cicilan rumah selesai mah berapa tahun lagi anakku. Kata sang mama.


Tapi Mama, aku kan sudah pindah dengan selamat.


Hush, jangan takabur!!


Nah, karena ortunya Eni gak mampu juga nyuruh si Eni bikin selamatan rumah, akhirnya mereka menghubungi... diriku. Sungguh tidak nyambung.


Telpon.


Ortunya Eni: AL...bilangin Eni, jangan terlalu keras kepala. Dengerin kata orangtua. Biar orang jaman dulu, tapi.. Yah, masa sih cuma selamatan rumah aja gak mau. Tolong ya, AL.


Saya: (Lahdahlah!!)


Maka, mulailah jurus bujukan maut saya kepada Eni.


Saya: Eni, kenapa sih gak turutin aja kata ortu lo. Kita bikin selamatan kecil-kecilan aja, deh. Kirim nasi kuning gitu.


Ngomongnya pelan-pelan, takut KH Ahmad Dahlan bangkit dari kubur dan nyekek saya. (Cuma becanda wahai Pak Dahlan. Gak apa-apa, yaa...)


Eni: Emak gue ngomong apa sih sama, lo? Gak nangis-nangis bombay, kan?


Saya: Kalo nangis bombay emang kenapa? Itu kan ibumu. Gak salah kan bikin beliau seneng, kan, En? Masa sih semua anaknya ibumu ngecewain beliau? Ada satulah yang bikin seneng beliau. Toh ini hal yang mudah. Gak perlu menguliti kulitmu sendiri. Ingat sabda Rasulullah SAW saat beliau..


Eni: AL, kita lagi ngomongin selamatan rumah, bukan durhaka pada orangtua.


Saya: Dosa besar loh En, durhaka sama orangtua itu.


Eni: Tapi kita lagi ngomongin selamatan rumah.


Bujukan terusss!!! Sampai..


Yaaa, kita selamatan.


Tadinya Cuma mau kirim-kirim nasi kuning aja, malah jadi semacam pengajian gitu. Gara-gara ortunya Eni malah ikut nimbrung jadi seksi repot. Untung juga sih, heheh... Tetangga juga mendukung dengan pull!! Syukurlah, soalnya udah Eni setengah hati, saya bingung apa yang musti dilakukan.


Heboh adalah saat rekan-rekan guru datang. Mereka tuh udah penasaran banget pengen main. Pengen tau seberapa berantakannya!


Bu Lulu: Si Eni sama AL tinggal serumah? Alaihi salam! Udah mana dua-duanya orang cuek slengean. Gak kebayang gue!


Ah, Bu Lulu emang berlebihan. Kenyataannya, saya sama Eni udah tinggal serumah selama hampir 4 tahun. Biasa-biasa aja tuh! Kenapa dia bilang gak kebayang? Heran..


Eni: Wah, lo gak tau Lu. Kita udah tobat. Jadi perempuan. Rumah kita bersih dan rapih. Tiap hari masak.


Bu Lulu: Trus, AL udah hamil belum?


Eni: Busyet, dah! Istighfar ente!


Maka, mereka datang. Dan kita nyengir memperlihatkan rumah yang bersih jali, menurut pendapat kita.

Heheheheh…


Pokoknya, acara selamatannya berlangsung dengan selamat.

Kamis, 10 Desember 2009

*Sigh*

Pengen banget liburan, waaa... waaa...
*kerja lagi*

Selasa, 08 Desember 2009

Perpustakaan Ajaib Bibbi Boekan


Namun, pada saat itu aku pun tahu bahwa setiap kali membuka sebuah buku, aku akan bisa memandang sepetak langit. Dan jika membaca sebuah kalimat baru, aku akan sedikit lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya. Dan segala yang kubaca akan membuat dunia dan diriku sendiri menjadi lebih besar dan luas.

Nils dan Beriet adalah dua anak berusia 13 tahun yang terpisah. Mereka memiliki sebuah ide brilian, yaitu membuat buku surat. Saling menulis surat, namun di dalam sebuah buku yang dikirim bolak-balik, sehingga jadi seperti memiliki buku harian bersama. Atau sebuah kisah yang ditulis bersama-sama.

Dimulai ketika Berit menceritakan suatu kisah yang sangat ganjil. Dia bertemu dengan seorang perempuan yang mencurigakan yang bernama Bibi Bokken, dan mencuri sepucuk surat dari si perempuan. Isi suratnya menyebutkan tentang adanya sebuah perpustakaan yang dalam koleksinya berisi buku-buku yang belum pernah diterbitkan. Nah loh! Bagaimana bisa? Surat tersebut merujuk satu buku berjudul Perpustakaan Ajaib dan akan terbit tahun depan.

Bagi orang dewasa, mungkin akan segera berpendapat bahwa perpustakaan itu bisa saja adalah bagian dari suatu perusahaan penerbitan. Buku-buku yang berada di sana, ya..isinya mungkin memang buku-buku yang belum beredar. Tapi bagi Nils dan Berit, ini super duper menarik. Hebuat sekali!! Ada suatu perpustakaan yang koleksinya berisi buku-buku yang belum pernah ada.

Mengherankan!!!

Sebenernya, Berit dan Nils punya alasan kenapa mereka beranggapan bahwa hal itu menarik. Dalam surat dinyatakan bahwa sang pustakawan marah ketika seseorang bernama Siri mengintip isi buku berjudul Perpustakaan Ajaib itu. Pustakawan bilang, bahwa buku itu lebih berharga dari incunabula. Incunabula adalah karya-karya yang diterbitkan tahun 1500.

Nah, bagaimana mungkin sebuah buku bisa lebih berharga dari incunabula?

Berit yang tinggal satu kota dengan Bibbi Bokken berusaha memata-matainya sementara Nils, justru mengalami petualangan yang lebih seru lagi saat muncul seorang laki-laki yang mengikuti dan berusaha untuk merampas buku surat mereka.

Siapa sebetulnya Bibbi Bokken? Kenapa Bibbi Bokken seakan-akan selalu tahu apa yang Nils dan Berit lakukan, dan lebih parahnya, pikirkan? Apakah perpustakaan misterius itu benar-benar ada? Lalu apa sebetulnya yang disebut Perpustakaan Ajaib yang lebih berharga dari incunabula itu? Siapa laki-laki yang berusaha merebut buku surat mereka? Kenapa dan untuk apa?

Dari Norwegia sampai ke Roma lalu kembali ke Norwegia, dua remaja berusia 13 tahun ini berusaha menguraikan setiap pertanyaan yang ada.

Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken terbagi dua bab. Bab pertama adalah isi dari buku surat Nils dan Berit, bab kedua adalah kejadian-kejadian yang terjadi setelah buku surat Nils dan Berit pada akhirnya jatuh ke pihak lain.

Pada bab pertama, kisah berjalan agak membingungkan. Baik Nils maupun Berit nampaknya memiliki gaya menulis yang mirip satu sama lain, dan memiliki karakter yang hampir identik. Namun jangan khawatir, cukup menyenangkan membaca kisah-kisah dua anak ini. Selayaknya remaja tanggung, isi surat mereka dinamis, spontan, konyol, mengkhayal, dan kadang, gak penting bangeet sih! Nils dan Berit mengajak kita untuk berkenalan dengan kisah-kisah sastra dunia, memahami puisi, belajar untuk menulis sebuah kisah yang baik, berkenalan dengan seluk beluk dunia kepustakawanan, dan tentu, teori-teori konspirasi yang menggelikan.

Bab kedua, yang berkisah masih Nils dan Berit, dengan cara yang lebih membingungkan lagi. Kalau dalam bab pertama, batas antar surat masih terpisah jelas, sekarang batas itu sudah menghilang. Agak susah kita membedakan siapa yang saat itu menjadi ‘aku’. Akhirnya yah, saya sih jadi sering bolak-balik lagi karena bingung. Pada bab kedua ini, hampir seluruh misteri terungkap pada saat yang bersamaan kecuali satu misteri, yang Bibbi Bokken tinggalkan bagi Nils dan Berit untuk mereka pecahkan sendiri.

Buku tentang buku

Kalau dalam Dunia Sophie kita menemukan ada buku dalam sebuah buku, maka Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken adalah sebuah buku tentang buku. Atau lebih tepatnya, tentang dunia perbukuan dan kepustakawanan. Kita akan dikenalkan dengan beberapa istilah, serta sistem perpustakaan. Sebagai contoh adalah DDC (Dewey Decimal Classification) yang merupakan sistem klasifikasi buku yang paling banyak digunakan di perpustakaan di seluruh dunia, dan juga katalogisasi. Selain itu, kita juga diajak untuk mengamati bagaimana sebuah buku dapat dilahirkan. Dari mulai proses kreatif penulisan, editing, percetakan dan seterusnya yang menurut saya, akan menarik sekali.

Surat Cinta?

Di sampul belakang, Ruhr Nachricht menyebutkan bahwa Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken adalah sebuah surat cinta untuk dunia penulisan. Saya kira, itu berlebihan. Bagaimanapun, pembahasan mengenai dunia perbukuan di buku ini terkesan sangat nanggung. Beberapa istilah yang berkenaan dengan perpustakaan pun tidak akurat, yang menurut saya, lebih pada penerjemahan. Tapi bagaimapun, ini buku yang sangat bagus dan cukup bergizi untuk dibaca.

Senin, 07 Desember 2009

The Unvisibles

Ini kisah petualangan, tentang dua anak yang tidak terlihat. Yang satu adalah anak yang yang secara literal tidak terlihat, yang satu adalah seorang anak yang tidak terlihat dalam tanda petik.

Nicky Chew dan Oliver Gasper adalah dua anak laki-laki usia sekolah dasar yang berada dalam kelas yang sama, namun memiliki karakter yang berkebalikan. Nicky adalah seorang anak yang lebih suka menarik diri. Dia tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Dan berusaha sangat keras untuk itu. Saking ingin tidak terlihatnya, dia bahkan sering membaca essai tugas sekolah maupun ulangannya berulang-ulang untuk memastikan bahwa jawaban-jawaban yang dia tuliskan selalu berada dalam kategori ‘biasa’. Tidak mau menarik perhatian guru, atau memberi jejak pada siapapun bahwa dia sebenarnya berada dalam kategori ‘cerdas’. Dan sesungguhnya, sangat cerdas.

Oliver sebaliknya, dia senang menjadi pusat perhatian. Banyak bicara dan senang berheboh-heboh mencari perhatian. Dia suka, bahwa orang, menurutnya tentu, selalu menganggap dia keren dan sangat kreatif.

Dua anak ini, nyaris tidak pernah bicara satu sama lain, namun satu kisah membuat mereka berdua saling bersinggungan, dan akhirnya menjalinkan persahabatan. Ini diawali dari ketidak sengajaan yang berbuntut serius.

Keluarga Oliver adalah pengusaha barang bekas. Sebenarnya ini sangat menarik bagi seorang anak laki-laki, namun Oliver tidak begitu suka karena belum apa-apa, dia sudah seakan resmi menjadi bagian dari bisnis keluarga. Pada suatu hari, Oliver tanpa sengaja menemukan sebuah majalah kuno yang bertuliskan sebuah artikel yang konyol tentang mantra untuk menghilangkan diri. Tertarik, dan selayaknya seorang anak laki-laki tanggung yang normal, tanpa berpikir apa-apa, dia mengucapkan matra itu. Percaya atau tidak, mantra itu ternyata berhasil! Oliver menghilang. Dia sama sekali tidak terlihat.

Sungguh keren!!!!

Dan petualangan ini secara resmi dimulai!

Oliver senang sekali. Dia datang ke sekolah, dan membuat banyak ulah jail yang menurutnya, spektakuler. Dia bukan anak yang jahat, atau bahkan nakal, tapi jahilnya gak ketulungan. Dia mengganggu guru-guru dan anak-anak yang tidak pernah disukainya. Namun, kegembiraan ini hanya sesaat saja ketika Oliver mulai menyadari bahwa, menjadi tidak terlihat, itu sungguh berbahaya. Dia bisa saja tertabrak kendaraan, atau tersenggol orang lain yang tidak sadar sampai terjatuh lalu terinjak-injak.

Semakin parah ketika Oliver sadar bahwa majalah kuno yang menuliskan artikel konyol itu ternyata sudah terjual kepada pihak lain. Dalam keadaan yang membingungkan itu, pertolongan justru datang dari anak tak terlihat lain. Kawan sekelasnya sendiri.

Nicky Chew yang senang dengan hidup tenang, tentu tidak suka dengan prospek petualangan menegangkan dalam usaha membantu Oliver menelusuri jejak majalah kuno yang super duper konyol itu. Tapi yah, orang kan tidak dapat hidup sendiri. Nicky sadar, bahwa bahkan dia pun, butuh orang sekaliber Oliver pada suatu saat ketika dia kesulitan. Pada akhirnya, dua anak yang tadinya tidak pernah saling tegur sapa ini, jadi satu tim yang kompak, dalam usaha memperbaiki keadaan yang semakin kacau balau. Tentu yang lebih menarik lagi, perjalanan mereka berdua bukan hanya menghasilkan suatu jalinan persahabatan, tapi juga mengungkapkan suatu kasus penyelundupan yang sudah memusingkan polisi dan mengakibatkan kerugian negara yang cukup besar.

Don’t judge this book by its cover. Terus terang saja, saya membeli buku ini lebih dari satu tahun yang lalu awalnya hanya sebagai reward, untuk anak yang mendapat stiker patuh terbanyak selama satu tahun di kelas saya. Saat saya membaca lembar-lembar awal, saya sadar, bahwa buku ini terlalu ‘membosankan’ untuk anak kelas 2 SD. Lalu buku ini tersimpan di rak buku saya, dan terlupakan sama sekali. Masih rapih seperti baru, saya membacanya kembali, dengan sedikit pesimis, bahwa mungkin ini cukup menarik untuk kami baca di kelas 5 sebagai ‘kisah pagi’. Dan semakin membuka lembarannya, semakin sadar bahwa di dalam buku yang relatif tipis ini, tersimpan banyak pelajaran yang berharga.

Ini adalah kisah yang menyenangkan tentang pertemanan, tentang belajar untuk memahami orang lain, tentang perduli terhadap kesulitan dan kebutuhan orang lain, tentang petualangan yang seru, tentang membela kebenaran, dan tentu, yang paling penting dari semuanya, tentang anak-anak. Menurut saya, buku ini juga bagus untuk dibaca guru untuk kembali berpikir bahwa bahkan seorang anak yang menjengkelkan seperti Oliver, terkadang diberi cap terlalu berlebihan atas tindakan-tindakannya. Dan tentu, anak-anak seperti Nicky Chew, yang saya yakin sungguh banyak dan tak terlihat, jangan sampai pula terabaikan.

Seven Samurai

Buat yang belum pernah nonton, ini film keren banget!


Film Jepang keluaran tahun 1954 yang bersetting pada abad 16 ini mengisahkan tentang kehidupan para petani yang mengalami penindasan. Selain harus membayar pajak yang mencekik leher, kerja rodi serta masa paceklik yang panjang, para petani juga harus berhadapan dengan gerombolan perampok yang merampas setiap butir beras yang tersisa.

Sebuah desa memutuskan untuk bertahan dari serangan 30 orang perampok berkuda alih-alih memberikan apa yang tersisa pada mereka. Untuk itu, mereka menyewa tujuh orang samurai dengan imbalan 3 kali makan sepanjang bekerja melindungi desa. Cuma itu yang sanggup mereka berikan. Walaupun dengan bayaran yang tidak layak, tujuh orang samurai ini mempertahankan desa sampai titik darah penghabisan (bayangin 7 orang samurai dengan peralatan alakadarnya berhadapan dengan 30 orang bandit terlatih berkuda dengan peralatan lengkap plus beberapa pucuk senapan). Itulah salah satu tugas mereka dan kehormatan bagi orang Jepang, mati menderita demi memenuhi suatu kewajiban sosial.

Menurut saya film ini keren. Ceritanya sederhana tapi kompleks menggambarkan bermacam-macam konflik dibaliknya. Setiap tokoh di film ini memiliki watak yang unik, membumi, dan pas sekali digabungkan bersama-sama. Cuma hati-hati aja matanya bakal sakit karen film ini cuma punya dua warna, hitam dan putih (tahun 54 bikinnya gitu loh..) udah gitu durasinya ituloh..tiga jam! Tapi menurut saya sih tidak membosankan. Film ini emosional dan penuh humor khas penduduk desa, serta sarat dengan nilai-nilai dan filosofi bermasyarakat.

Dosa Kaki

Siang, saya jatuh terjerembab menabrak meja belajar kami yang memang rendah lesehan gitu. Kaki kiri saya yang kena, tulang keringnya. Sakitnya, dahsyat juga. Sampe berdarah (cengeng banget!) Diomelin pula sama kawan yang sedang berkunjung.

‘Makanya jangan pecicilan!’

Beberapa jam kemudian, kejadian lagi. Kali ini tulang kering kaki kanan saya yang kena. Dan lebih parah. Gara-garanya pas saya melompati parit, kaki saya mendarat tepat diatas kakinya Eni yang tepat menarik kakinya juga. Maka saya terpelanting jatuh masuk ke parit. Tulang kering kanan saya menabrak batu gradakan dengan cukup keras.

‘Lo lagi ngapain?’ Eni.

Lagi jatoh. Tolongin, kek..

Sampai di rumah musti dipapah segala. Lah orang kaki saya bener-bener soakit. Lukanya besetnya diolesin obat merah (beneran obat merah, loh… Masih ada ternyata!), dikompres. Dioles Trombophop. Teteup bengkak dan biru.

Waduuuuhh…

Malamnya, lagi asik ngeliatin ayam-ayam yang lagi dihalau tetangga sebelah ke kandangnya, saya kok ngerasa sakit di telapak kaki kiri. Ternyata, saya menginjak serpihan katu yang masuk udah dalem. Yailah! Susah juga dicabutnya musti dikoyak dulu pake peniti yang tentu direndem dulu di alkohol.

Haduh.. Haduh…

Masih terpincang-pincang, bayangin telapak kaki kiri baru luka dan kaki kanan bengkak. Tau-tau, saya terlonjak. Lagi?

Bodoh sekali bagaimana ceritanya saya gak ngeliat kalau ada staples sampai terinjak kaki kanan saya. Masuk pula. Musti dicabut.

Dosa apa ya kaki gue?

Minggu, 06 Desember 2009

Sudut Pandang yang Menarik?

udah hampir 5 bulan saya tidak membaca novel lagi. Bahan bacaan saya tau-tau berubah ke karya-karya klasik ngutek-utek dari il Principe sampai Falsafah Hidup Hamka.



Buku-buku pemikiran agama. Buku-buku pendidikan anak. Buku-buku pelajaran sekola SD :P . Terakhir agar nyambung kalau ngobrol dengan kawan, mulai membuka majalah-majalah perempuan :P. Akhirnya saya kembali pulang ke novel.

Maya karya Jostein Garder. Dan saya membaca duluan melompati The Kite Runner yang sudah dibuka-buka dan dicicipi sedikit hanya karena adik saya Anne bilang:

KEREN CUUUY!!! SERUUUU! NGAGETIIIIN!!! PENCERAHAAAAN.....

Ah dia sih semua bukunya Jostein Gaarder juga dibilang begitu. Lupa saya kalau adik tergila-gila dengan Jostein Gaarder sejak ulang tahun ke-14 tiga tahun yang lalu. Tapi saya tersaruk-saruk baca buku ini.Mungkin sudah lupa suasana JG atau memang saya pada dasarnya tidak begitu tertarik dengan biologi evolusioner sehingga kurang dapat tercebur disini. Yang jelas, saya benar-benar musti menahan diri tidak melakukan kecurangan dengan melompati 32 halaman ketika Frank dan seekor tokek asik berdiskusi mengenai teori evolusi. Gawat!!! Mudah-mudahan sapanjang hidup saya gak akan mengalami pengalaman seperti itu: bertemu tokek yang cerewet dan keras kepala!!

Saya menemukan dialog yang cukup menarik.

Aku bertanya, apakah ia optimis atau pesimis mengenai nasa depan Bumi dan umat manusia jangka panjang.

'Saya seseorang yang pesimis mengenai masa depan manusia, tapi optimis mengenai bumi.'

Aku mulai memahami sudut pandangnya dan dengan segerapun ia menjelaskan segalanya. Minat Laura terhadap lingkungan ternyata memiliki akar ideologi yang lebih dalam daripada yang kubayangkan. Ia percaya bahwa bumi adalah sebuah organisme yang pada saat ini tengah menderita serangan demam yang akut, tetapi serangan ini adalah sebuah demam yang memurnikan dan akan memastikan bahwa sang ibu itu akan segela membaik.'

'Sang ibu?'

'Gaia. Kecuali jika sesuatu yang luarbiasa terjadi, akhirnya ia akan menghancurkan mikroba-mikroba yang membuatnya sakit.'

'Gaia,' ulangku menahan nafas.

'Itu hanyalah sebuah nama yang kami berikan kepada 'ibu pertiwi'; tentu kita dapat memanggilnya Eartha. Tetapi yang penting adalah menyadari bahwa dunia ini adalah sesuatu yang hidup.'

'Yang akan menghancurkan mikroba-mikroba.'

'Berjuta-juta tahun yang lalu, dinosauruslah yang disingkirkan,' ia memulai. 'Dan mungkin hal itu tejadi bukan karena jatuhnya meteor. Mungkin mereka menyebarkan penyakit di dunia dan menghancurkan diri mereka sendiri. Saya pernah mendengar suatu teori bahwa kepunahan itu ada hubungannya dengan gas buangan yang dihasilka para dinosaurus. Tetapi Bumi berhasil memulihkan dirinya sendiri, ia terlahir kembali. Kini manusia mengancam kehidupan di Bumi. Kita tengah menghancurkan habitat kita sendiri, dan Gaia ingin menyingkirkan kita..'

Wiiiihhhhh.....

On The Nite Like This

On the night like this
There’s so many things I want to tell you

On the night like this
There’s so many things I want to show you

Cause when you’re around
I feel safe and warm

When you are around
I can fall in love every day

In the case like this
There are a thousand good reasons

I want you to stay

Sabtu, 05 Desember 2009

Kepunahan

Jostein Gaarder dalam Maya :

Akhir-akhir ini, kita lebih mudah memercayai berbagai racun, virus, dan zat sterilisasi--dengan kata lain, perang kimia dan biologi. Namun, tak mudah menyusun sebuah rantai makanan baru, seandainya itu memang mungkin dilakukan. Sebaliknya sungguh mudah menghancurkan sebuah keseimbangan ekologi yang telah diciptakan oleh alam selama berjuta-juta tahun.



Saya ini bu guru yang demen nakut-nakutin anak-anaknya heheh.. Tahun kemarin saya sering bikin anak-anak ngeri gara-gara sering ngoceh mengenai global warming dan mendiskusikan itu.
Saya teringat lagi tentang sebuah film dokumenter yang saya beli 2 tahun yang lalu. Sempat saya putar di kelas dua, hasilnya anak-anak semuanya garuk-garuk kepala dan sebagian besar tidur nyenyak. Saya putar lagi tadi pagi untuk kelas 4. Mereka sudah mengerti dan bahkan sampai-sampai menatap sedih sekali. Kelas 4 memang jagoan empati :D

Yang saya putar adalah episode kedua dari film State of the Planet. Film pertamanya mengenai Global Warming yang bahkan saya sendiri pun sudah sangat bosan mendengarnya. Episode kedua ini mengenai kepunahan. Ini topik yang cukup baru bagi anak-anak, mengejutkan, dan tentu menyudutkan umat manusia atas semua yang terjadi. Hanya yang lebih menyedihkan di topik ini adalah, bila dalam isu Global Warming ada sesuatu yang dapat kita lakukan, dalam film ini diperlihatkan bahwa manusia bukan hanya sumber kepunahan, namun juga apapun yang dilakukan manusia untuk memperbaikinya, justru mengakibatkan bencana ekologi yang lebih besar lagi. Mengancam lebih banyak spesies. Dan kita sedang menghadapi kebuntuan alami. Serem!!

Biar..biarlah saya emang pengen nakut-nakutin anak-anak kecil ini. Saya emang pengen nakut-nakutin anak-anak SD ini. Biar mereka berpikir dua kali jika suatu saat tangannya iseng menyambar daun-daun hanya untuk dibuang-buang. Biar mereka berpikir dua kali, saat ingin memain-mainkan binatang kecil yang mereka temui. Biar mereka semakin sayang pada bumi ini.

Sebab ada hal-hal di dunia ini yang kita tidak akan mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaikinya.

Kamis, 03 Desember 2009

Tampang Elit

Pagi. Baru jam setengah enam kurang. Tiga cewe sudah mandi dan cantik.

Saya.. Menyetrika sambil ngedengerin berita di TV.

Eni.. Baca koran sambil masak air di dapur.

Indah….Nonton TV sambil dandan.

Lalu ada suara kelentengan di depan. Eni tereak, ‘Apaan, tuh!’

Tukang bubur! Mau?

Indah juga mau, maka dia ke luar dan memesan bubur. ‘Dua, ya, Bang… Yang satu jangan pakai kecap..’

‘Pakai sambel?’

‘Yang gak pake kecap sedikit aja. Yang satunya, pedes.. AL, lo beneran gak mau?’

Gak.

Beberapa saat kemudian, pintu diketok. Abang Tukang Bubur datang membawa dua mangkok. Indah lompat dan mengambil pesanannya.

‘Berapa Bang?’ tanya indah seraya membuka dompetnya.

‘Duapuluh empat ribu..’

‘Oh…’

Saya terkesima. Busyet, tuh bubur! Mahal bener! Kayak apa, ya?

Nampaknya, Indah baru sadar. Dia lalu, refleks, teriak.

‘Hah!! Berapa?’

Si Abang Bubur mengulang dengan lirih. ‘Duapuluh empat ribu.’

‘Kok mahal banget, sih! Emang harga satu porsinya berapa?’

‘Ini kan pakai sate. Satunya seribu.’

‘Oh, gitu. Siapa yang minta pakai sate? Makanya tanya dulu dong, Bang! Saya gak mau tau. Pokoknya ambil lagi ini satenya!’

Saya jadi kasian liat tampang si Abang Bubur yang melas dan mengambil kembali sate dari dua mangkuk bubur yang disodorkannya itu.

Eni datang. Melongo melihat adegan tersebut, lalu mengangkat alisnya ke saya. Bertanya. Saya mendekatinya dan berkata pelan.

Harga buburnya duapuluh empat ribu.

‘Hahh!!’ Kaget. ‘Itu si Indah berdebat gara-gara itu?’

Iya.

‘Ah, gue gak mau liat, ah! Suka kasian sama tukang jualnya. Si Indah sering digituin tuh kalo beli apa-apa..’

Eni balik lagi ke dapur. Saya kembali nyetrika sambil nonton Indah VS Tukang Bubur.

‘Jadi berapa?’

‘Duapuluh ribu.’

‘Emang satu porsinya berapa?’

‘Sepuluh ribu..’ kata Abang Bubur pelan.

‘Yang bener, Bang! Bubur ayam sepuluh ribuan itu bukan yang kayak begini! Serius, berapa?’

‘Ngngng… Duabelas ribu, Neng..’

Indah terdiam sebentar, menimang, lalu memberikan uang kepada Abang Bubur.

‘Bang,’ kata Indah lagi. Kali ini suaranya berubah dari tegas sekali jadi lembut sekali khas guru lagi nasihatin anaknya. ‘namanya jualan kan memang ambil untung, ya, gak? Tapi juga mustinya sepantasnya. Jangan begitu. Nanti pembelinya kapok gak mau beli lagi, gimana?’

Si Abang Bubur diam saja. Mengambil uang, lalu pergi.

‘Tau gak, ’seru Eni. ‘Gue jadi gak napsu lagi makan bubur.’

Untung bukan gue yang ngedepin. Kalo gue paling udah nurut aja trus bayar tanpa ada pertanyaan.

‘Sebenernya sih, ini juga udah kemahalann.’ kata Indah. ‘Bubur ayam keliling gini paling mahal berapa sih? Lima ribu aja bisa dapet sate dua. Dianya aja yang keterlaluan.’

Saya pun teringat beberapa hari sebelumnya. Keluar dari parkiran setelah rusuh belanja bulanan. Sebenarnya, belanja bulanannya di tempat lain. Kami pindah mall karena ada yang musti di beli dan di tempat sebelumnya tidak ada. Ternyata di tempat yang ini pun tidak ada.

Saat keluar. Sang tukang parkir dengan tenang berkata:

‘Empat ribu.’

Ooo…

Sayalah yang jadi tukang ngasih uang dan menyodorkan STNK dalam keadaan seperti itu dan tidak menyangka. Kami baru saja masuk dan langsung keluar lagi. Saya kira, tidak lebih dari dua ribu.

Sibuk sendiri merayap-rayap tangan ke kantung celana.

‘Berapa, Mas?’ tanya Eni.

‘Empat ribu.’

‘Maaf, ya.. Tapi mungkin Mas-nya salah liat, deh.. Bisa tolong cek lagi?’

Si bapak itu mengernyit ke monitor, lalu ketawa.

‘Iya, Mbak.. dua ribu..’

Saya memberikan dua lembar ribuan.

Keluar dari tempat itu.

Saya ketawa, dan berkata kalau si Tukang Parkir itu asal tembak aja.

‘Emang. Gue udah sering ngadepin yang kayak gitu.’

Iya. Tapi kenapa sih musti segitunya. Cuma 2 ribu doang. Kasian, tau. Penghasilan dia gak seberapa.

‘Nah, berapa banyak yang punya pikiran kayak elo. Sikap kayak gitu cuma membuat dia sadar bahwa apa yang dia lakukan itu wajar dan semakin wajar. Akhirnya nanti jadi ‘budaya’.’

Iya, sih..

Sampai di sekolah, saya menceritakan kejadian Tukang Bubur VS Indah kepada Kirsan. Dia nyengir aja.

‘Tukang buburnya main tembak, tuh..’

Iya..

‘Soalnya Indah sih yang keluar. Tampang-tampang elit. Dikita Tukang Bubur kali ini orang banyak duit dan males mempermasalahkan harga beda-beda tipis. Coba kalo kamu yang keluar, paling harga buburnya jadi sepuluh ribu dua mangkok..’

Iya, ya..

Diam.. Diam..

Maksud lo!!!!

Selasa, 01 Desember 2009

Kapan Menikah?

Pas umur kita lewat seperempat abad, orang-orang jadi sering nanya itu, yaaa? Ribet, gak, sih?

Eni, teman serumah saya, akhir-akhir ini jadi sering mengeluhkan hal itu. Ayahnya, laki-laki yang bijaksana itu, tak lupa selalu mengingatkan akan kewajiban seorang muslim untuk menikah. Setiap kali bercakap melalui telpon. Apalagi kalau dia pulang.

Diam-diam, saya bersyukur orang rumah saya gak rese masalah itu.

Ada suatu tulisan di blognya sepupu saya yang tomboy. Dia bercerita tentang seorang perempuan yang ditemuinya suatu kali. Tidak kenal. Hanya melihat dari jauh. Mengeluhkan bahwa menjadi perempuan itu susah. Harus tampil cantik, dan itu berat. Sepupu saya menyatakan bersyukur, bahwa orang-orang disekitarnya, menerima dirinya apa adanya. Termasuk pada lingkup pekerjaan yang dapat menerimanya, tanpa harus membuatnya tersiksa saat harus menjadi cantik.

Saya, sama dengan kebanyakan orang di dunia, selalu menganggap bahwa karena pendapat saya, atau yang saya rasakan seperti itu, maka semua orang juga merasakan hal yang sama dengan saya. Dan seperti sepupu saya itu, saya pun menganggap bahwa seorang perempuan yang cantik itu sebenarnya merasa tersiksa diam-diam. Tapi, pertemuan saya dengan Rita dan kawan-kawan merubah pendapat saya itu. Ternyata, seorang perempuan yang dandan, pake hak tinggi, tampil anggun tidak selalu tersiksa. Buktinya, Rita and the gank itu ternyata menikmatinya. Saya tahu, mereka menikmati dengan hati.

Sama seperti saya menikmati gaya saya. Tampil apa adanya sebagai diri saya sendiri. Mereka pun tampil apa adanya sebagai diri mereka sendiri.

Sebenarnya, ini bukan masalah dandan. Tapi blog ini memang dimaksudkan untuk saya lebih bebas menulis tanpa harus berarti, heheh…

Sama seperti sepupu saya, dan juga telah saya tuliskan, bahwa saya bersyukur karena keluarga saya gak pernah rese dengan penampilan ataupun kelajangan saya. Saya yakin, dan ibu saya sering mengatakan, bahwa saya adalah anaknya yang paling jauh. Bukan secara fisik, ataupun kasih sayang. Tapi bahwa beliau sebenarnya merasa tidak pernah mengerti saya. Dan beliau memutuskan, apa yang tidak dapat dia mengerti sepenuhnya, tidak akan lagi menjadi hal-hal yang membuatnya dapat kehilangan anaknya. Beliau ingin dapat memahami anaknya, atau anaknya mengertinya, tapi lebih ingin tidak kehilangan kasih sayang diantaranya.

Dalam hal ini, beliau lebih banyak jadi pelindung saya.

Ya, benar..

Nenek saya adalah orang yang paling rese… Walaupun tidak langsung kepada saya. Eniwei, nenek saya adalah orang yang paling menentang keputusan saya menjadi seorang guru. Karena menurut beliau, guru perempuan itu gak nikah-nikah. Banyak contohnya. Dan tau sendirilah di desa itu bagaimana. Anak umur 18 tahun belum nikah aja udah digosipin jadi perawan tua. Ibu saya hanya tertawa menanggapinya. AL itu anak kota. Anak jaman sekarang. Wajar kok belum kepikiran menikah. Dia punya pekerjaan, punya banyak teman. Masih kepikiran untuk sekolah lagi malahan. Pada saatnya nanti. Apapun kan ada saatnya.

Kamu ini gak resah anaknya udah tua (Tua? Please deh!) belum nikah-nikah. Kalo ayahnya AL masih ada, dia mungkin udah ngejodohin.

Gak mungkin, bales ibu saya. Kalo ayahnya AL masih ada, dia mungkin malah sibuk ngedorong-dorong AL biar ambil S2.

Pak R yang nampaknya jadi kerabat pertama yang tanya langsung mengenai itu ke saya. ‘Katanya mau nikah.’

Kata siapa?

‘Loh, kan udah ada calonnya?’

Gak ada.

‘Yang itu…’

Yang mana?

‚Jadi kapan nikah?‘

Lah, kan belum ada calonnya. Nikah sama siapa?

‘Makanya cari dong..’

Ya, ini juga lagi nyari

‘Perasaan suka liat ada cowo main ke rumah.’

Itu mah, temen..

‘Ada yang sering dateng..’

Iya, dia orangnya seneng main…

‘Makanya jangan keseringan main sama cowo. Temennya cowo melulu, sih. ‘

Ah, temen yang cewe juga banyak. Emang kenapa, lagian..

‘Nanti cowo yang mau ngedeketin jadi nyangkanya kamu udah ada calon..’

Ooo… Iya, deh…

Daripada tambah panjang, yaaa… Iya ajalah!

Pembicaraan itu cukup menyenangkan, bukan? Daripada kawan saya yang mengalami pembicaraan kayak gitu, lalu akhir-akhirnya..

Makanya kamu tuh jadi cewe jangan terlalu keliatan pinter. Pura-pura aja gak tau, gak bisa, gak berani, minta anterin. Kayak kakak kamu tuh. Cowo sukanya cewe model gitu…

Gak kebayang kalau kalimat-kalimat itu ditujukan ke saya. Bisa sewot gak kepalang, deh…

Orang terdekat saya belum rese masalah itu, justru nampaknya memang orang-orang yang lebih jauh. Misalnya, temen-temen organisasi masa kuliah.

Di ruang chatting

Saya: Assalamualaikum. Pa kabar, Bang? (walaupun saya kuliah di bandung yang sebutan buat kakak angkatan laki-laki biasanya ‘Kang’, tapi kalau di organisasi ya ‘Abang’ sebutannya)

Dia: Wa’alaikum salam. Disapa Bu Guru, nih?

Saya: Iya..

Dia: Kapan merit..?

Yailah!

Saya: Gak tau, nih. Udah keburu punya anak duluan, sih… Banyak, lagi… Tahun ini aja ada 24 orang.

Dia; Jangan gitu. Blablabla…(keluar hadist.. perkataan ulama..)

Lah, kenapa gue jadi diceramahin gini, yaa?

Dia: Emangnya gak mau, menyempurnakan agama. Menikah itu setengahnya agama, loh…

Saya: Yaaaa, mau… Tapi emang belum saatnya, kali, yaa… Masih menikmati dulu masa jomblo.

Huhhh!!! Suebel!

Tapi saya juga suka rese sama temen, sih..

Saya: Hai, We..

Dia: Hei, AL. Tumben OL? Pa kabar, lo?

Saya: Baik. Lo gimana, We?

Dia: Baik.

Saya: Alhamdulillah. Kapan merit?

Dia ngomel-ngomel, hihi.. Sori. Sekedar balas dendam.

Beberapa hari yang lalu, paman saya. Berkunjung. Ngobrol. Tanya-tanya pada ibu saya yang notabene kakaknya.

Paman: AL itu umurnya berapa, ya, sekarang?

Ibu: duatujuh.

Paman: Belum kepikiran mau bekeluarga?

Ibu: Kayaknya, belum deh.

Paman: Kenapa, sih?

Ibu: Ya, gak kenapa-napa. Emang harus kenapa-napa?

Paman: Ya, enggak. Kayaknya santai aja. Udah ada calonnya belum, sih?

Ibu: Gak tau. Mungkin belum. Mungkin udah. Mungkin ada yang lain di pikirannya dia.

Paman: Gak perhatian banget sama anak.

Ibu: Loh, kok gak perhatian. Dia udah gede. Udah dewasa. Punya pilihan sendiri menjalani hidupnya. Kita gak bisa juga kan menghakimi orang walaupun anak sendiri. Toh banyak yang pacaran bertahun-tahun gak jadi. Banyak yang nikah muda tapi gak bahagia. Kawin cerai. Lihat Mbak E. Itu nikah udah pertengahan 30-an. Tapi bahagia. AL itu udah gede, dia sadar apa-apa yang dilakukan dia. Tau resikonya. Kalo anak udah dewasa, kita mah tinggak hayu aja kapan dia mau nikah. Kalo dia udah siap, bukan kita yang udah siap, kan?

Yess!! I love you mommy….

..