Jumat, 24 April 2009

Saya Gak Layak Jadi Guru

Pendidikannya. Jelas. Paling tidak, menurut pemerintah seperti itu.

Adalah seorang perempuan, datang ke sekolah kami melamar kerja menjadi guru. Kami semua sepakat, dia adalah seorang guru yang baik. Hasil tes tertulis, tes komputer, dan performanya saat microteaching memperlihatkan hal itu. Dia tidak hanya berhasil membuat pelajaran paling dibenci anak-anak, yaitu matematika, menjadi terasa menyenangkan dan mudah, tapi juga berusaha mengenal anak-anak. Paling tidak, dia berusaha untuk itu. Baginya, anak-anak yang didepannya ini bukan segerombol anak kecil yang musti nurut apapun yang dia katakan, tapi individu-individu unik yang dia coba pahami. Berbeda dengan calon-calon guru yang lain yang kebanyakan jaim saat microteaching, dia tidak segan menegur dan bersikap tegas, tapi juga mau tertawa dan mengajak bicara dengan ramah.

Dan segala kekacauan yang terjadi, yang adalah ‘rencana busuk’ kami yang kami minta anak-anak untuk bekerja sama, sang calon guru ini tidak terlihat kehabisan akal. Kebingungan sebentar memang, tapi tidak menyerah dan terus berusaha.

Sayangnya, dia tidak dapat kami terima sebagai guru SD. Alasannya. Sedehana saja. Dia dianggap tidak dapat memenuhi syarat sebagai guru SD karena dia berijazah D3, pun tanpa akta.

Menyesakkan bukan?

Rekan-rekan saya membicarakan itu berhari-hari. Dan saya hanya duduk di pojokan, mendengarkan. Kalau masalah-masalah yang seperti ini, saya suka jadi merasa agak sensitip heheh..

Itu beberapa saat sebelum anak-anak libur. Kemarin, saya kembali diingatkan bahwa saya belum layak menyandang status guru.

Adalah seorang guru TK. Dia agak bermasalah. Yah, sebenarnya, dia banyak bermasalah. Tahun ajaran ini, keputusan yayasan adalah bahwa yang bersangkutan dipindah. Dari tadinya guru, menjadi staff admin yayasan. Mari kita tidak perpanjang apa masalah dan bagaimana, toh saya tidak akan membicarakannya. Yang pasti, dia merasa kecewa dan marah sekali.

Entah muka saya ini mengisyaratkan apa tapi saya selalu ketiban curhat. Padahal saya sendiri gak akrab dengannya.

Sepanjang hari, saya berusaha menenangkannya. Sebenernya, saya tahu lebih banyak daripadanya tentangnya. Atau apa-apa yang disembunyikannya. Tapi saya pun tidak membahasnya. Saya hanya berusaha untuk membesarkan hatinya.

Kami bicara-bicara.

Saya menyatakan sayang dia harus berada di balik meja, sebab dia adalah guru yang cerdas. Dia berkata, iya, kenapa bukan kamu (saya, red) aja yang ditarik jadi staff. Kamu kan gak punya akta 4.

Saya terdiam. Dia mungkin tidak sadar bahwa dia, menembus dada saya tepat di wilayah paling sensitif.

Kenapa bukan kamu aja yang ditarik jadi staff. Kamu kan gak punya akta 4.

Yang terngiang-ngiang di telinga saya adalah:

Kamu gak pantes jadi guru.

Kamu gak layak jadi guru.

Saya gak layak jadi guru

Selasa, 07 April 2009

Ibu Ibu Kontrakan

Di depan mess kami, adalah rumah-rumah kontrakan Petak-petak gitu. Dihuni oleh pasangan suami istri muda.Sang suami kebanyakan para satpam di beberapa perumahan mewah sekitar sini sementara para istri adalah ibu-ibu rumah tangga dengan anak-anak balita.

Hidup di kontrakan, terkadang begitu ribet. Paling tidak, dari kisah-kisah yang suka dikeluhkan oleh Bu Lulu dan Bu Lyn, kesannya seperti itu. Selalu ada pertengkaran kecil, dari apa-apa yang sebenernya hanya masalah sepele. Saya kira, kebanyakan selalu adalah rasa iri hati. Atau keinginan selalu ingin merasa lebih, dari masing-masing.

Saya dan Eni, teman serumah saya, selalu kurang waktu untuk bergaul dengan tetangga depan rumah itu. Maklum, berangkat pagi pulang hampir maghrib. Kalau libur pun, kami pulang ke rumah orangtua masing-masing. Tapi salah satu penghuni kontrakan berkawan baik dengan rekan satu rumah saya. Dia adalah satu-satunya penghuni yang masih single, dan sama-sama bekerja dengan Eni di tempat les yang sama. Guru SD juga seperti kami, di sekolah yang berbeda. Jauh lebih sibuk dari kami karena selain mengajar di sekolah national plus, dan juga mengajar les, dia juga sedang sibuk mengambil kuliah S2.

Akhir-akhir ini, dia sering datang. Duduk bersama kami di halaman belakang.

Curhat.

Awalnya mulanya, saya kira, karena dia terlalu permisif. Kepada ibu-ibu itu. Maksud saya, apakah dia begitu baik sampai memperbolehkan barang-barangnya dipakai oleh ibu-ibu sekitar rumahnya seenak mereka? Pertama, saat-saat dia ada di rumah. Hanya menitip-nitip di kulkasnya. Itu biasa. Tapi akhirnya, semua ibu-ibu ikutan menitip-nitip. Bingung saya. Lah, itu jadinya kulkas bersama ya?

Lalu, ikut pakai mesin cuci. Dan terkadang saat dia pergi berhari-hari, tetangganya boleh pinjam motor. Karena dia jarang di rumah, jadilah para tetangga itu punya kunci cadangan masuk ke kontrakannya.

Saya dan Eni menganggap itu sudah keterlaluan.

Baginya, itu gak masalah. Sebab ibu-ibu itu sering membantunya mengangkatkan cuciannya jika hujan turun tiba-tiba. Atau rela mengepelkan teras depan rumahnya.

Lama-lama, jadi tambah. Beberapa kali dia menemukan di rumahnya yang kecil itu, terlalu banyak orang. Anak-anak tetangga menonton indovision. Atau dengan asik main game di komputer. Dia jadi tidak enak meminta mereka pergi. Tapi toh, dia yang selalu pulang dalam keadaan capek setelah bekerja dan kuliah, inginnya tentu tiba di rumah dengan tenang. Bukan di rusuh anak-anak tetangga.

Mulailah dia membatasi akses tetangga-tetangganya itu ke rumahnya.

Para tetangga, yang selama ini begitu dienakan dengan segala fasilitas yang ada, nampaknya sudah lupa bahwa itu adalah kebaikan seseorang. Dan bukan hak mereka.

Dengan diam-diam tapi terasa, para tetangga ini mulai dingin kepadanya. Mengatainnya pelit.

Sampai suatu ketika, yang entah dari mana, muncul desas-desus tidak enak. Tentang dia. Entahlah apakah begitu aneh seorang perempuan berusia pertengahan 30-an melajang? Dan (terlalu) mandiri? Atau karena dia tidak pernah disambangi laki-laki? Tapi memang dia tidak pernah ditamui siapa-siapa selain kadang memang ada salah satu rekan kerjanya perempuan menginap. Tapi toh itu tidak membuktikan apapun.

Tapi pemilik kontrakan jadi resah. Sang pemilik sebetulnya tidak masalah dengannya. Toh dia penyewa rumah yang tidak merepotkan, bayar tepat waktu, bahkan sebenarnya, bayar lebih dari yang lain. Karena alasan di rumahnya banyak barang-barang yang menyedot energi. Walaupun barang-barang itu jarang dipakainya sendiri. Tapi dia tidak mempermasalahkan itu.

Namun, desakan ibu-ibu kontrakan tambah besar. Sang pemilik kontrakan memintanya mencari tempat lain bulan depan. Kejadian itu hampir satu bulan yang lalu.

Dia bingung, mau pindah kemana? Pindah rumah adalah hal yang paling tak terpikirkan olehnya yang terlalu sibuk ini. Siapa sih yang punya waktu untuk nyari-nyari kontrakan segala. Kontrakan mungkin banyak, tapi kan susah untuk mencari tempat yang tepat.

Saya dan Eni menawarkan untuk bersedia jadi tempat mengungsi sementara. Selama dia belum menemukan tempat yang baru. Sedih kami. Biar tidak mengajar di tempat yang sama, tapi sebagai sesama guru, bagi kami, dia adalah rekan. Lagian, masih ada beberapa kamar kosong disini. Pun saya dan Eni, terkadang merasa terlalu sepi untuk tinggal berdua saja.

Tidak, katanya. Dia tidak mau kita berdua ikut keseret-seret gosip gak enak.

Bener juga sih.

Saya berusaha meyakinkannya bahwa itu tidak akan terjadi.

‘Tapi ini kan bukan rumah kalian. Ini fasilitas sekolah. Bagaimana cara kalian menjelaskan pada sekolah bahwa ada orang lain tinggal disini dan itu bukan keluarga. Guru di sekolah lain, pula. Walaupun mungkin Cuma sebentar.’

Iya, juga, ya…

Dan Minggu sore, saya menatap rumah kontrakannya dengan termangu. Gelap dan kosong.

‘Kemarin dia pindah.’ Kata Eni. ‘Yang punya kontrakan bilang, rumahnya mau dipakai keponakannya. Jadi dia disuruh pindah kemaren juga.Dia telpon gue, AL. Nangis. Gak tau mau kemana.’

Lah, terus? Gimana?

‘Yaa, makanya gue langsung ke sini. Kita keliling cari kontrakan. Alhamdulillah di tempatnya Lulu ada kontrakan yang kosong dan dia bisa langsung pindah.’

Dia disuruh pindah saat itu juga?

Hati saya mencelos.

Dan kita tinggal di Indonesia. Masyarakat yang paling murah senyum, ramah, dan baik hati.

Anteknya KPU

Membaca, mendengar, dan menoton berbagai kericuhan kecil pada pemilu kali ini, saya tersenyum-senyum sendiri. Apalagi saat saya menonton berita tentang kerusuhan perhitungan suara PPK. Kenapa? Karena saya mengingat masa lalu, pada tahun 2004, ketika saya sedikit banyak terlibat dalam kegiatan pemilu.

Pemilu 2004, saya adalah salah seorang relawan Data Entry pemilu di kecamatan.

Seperti banyak kegiatan yang saya ikuti saat kuliah dulu, itu kebanyakan adalah faktor ikut-ikutan. Saya masuk organisasi mahasiswa luar kampus karena ikut-ikutan, dan tidak disangka sekarang saya adalah salah satu alumni yang diangap aktif. Lah iya, orang saya sampai pernah jadi pengurus cabang dan sempat dikirim ikut kongres, hehehe…Begitu juga keterlibatan saya sebagai relawan, ikut-ikutan saja. Karena kawan-kawan baik saya mendaftar, saya ikut daftar. Daripada sendirian di kostan.

Rapat-rapat, dibagi-bagi kelompok. Satu kelompok terdiri dari 4 orang mahasiswa dan bertugas di satu kecamatan. Sepertinya ringan. Kami hanya musti mengirim data hasil perhtungan setiap TPS di satu kecamatan kepada KPU pusat lewat internet. Weleh! Gampang bener! Saking merasa gampangnya, saat pengarahan di KPUD, saya dan beberapa kawan malah seliweran kesana dan kemari. Senanglah saat pengarahan itu. Datang dijemput pakai angkot sewaan, dapet sekotak kue, seliweran gak jelas, dipanggil foto, dibagi makan siang, seliweran lagi, pulang dapet uang jalan plus kartu tanda relawan pemilu dengan cap mentereng KPU.

Edun!!!

Jadilah pada tahun 2004 saya punya 3 kartu pemilih yang semuanya resmi. Satu dari RT saya di Jakarta, satu dari RT saya di Jatinangor, yang satu lagi adalah dari salah satu kecamatan di kabupaten Sumedang tempat saya akan bertugas. Tapi saya warga negara yang jujur, nyoblosnya hanya satu kali di Jatinangor. Lagian, itu juga pusing mau milih apa.

Kejadian yang aneh, menyebalkan, tapi lucu adalah saya dan kawan-kawan yang sudah siap berangkat ke kecamatan tujuan datang begitu pagi di TPS setempat. Karena kami punya alasan, bahwa harus langsung berangkat, plus girang menunjukkan kartu KPU itu, jadilah kami diperbolehkan menyelak barisan dan menyoblos paling dulu. Tapi ketika sampai pada tahap akhir, yaitu bagian mecelup jari, KPPSnya dengan melas bilang:

‘Gak usah ya.. Takut tintanya gak cukup.’

Lah… Gak asik sekali sih! Saya kan udah nyoblos, masa gak dikasih tanda tinta. Gak berasa ah!!!

Berangkat ke kecamatan yang dituju, saya nekat bawa-bawa dua Hamster peliharaan. Habis, gak ada orang di kostan. Saat saya balik jangan-jangan mereka mati. Manalah saya tahu bahwa ternyata kecamatan yang dituju itu jauh sekali, melewati gunung. Akhirnya, Hamster saya mati juga di jalanan.

Pelajaran pertama jadi relawan pemilu: Jangan bawa-bawa binatang peliharaan.

Tim saya terdiri dari 4 orang, dua laki-laki dan dua perempuan. Tiba di kecamatan sudah menjelang sore. Beramah tamah sebentar dengan pak camat, kami disediakan sebuah rumah untuk beristirahat. Senang sekali! Tidak disangka ternyata rumah yang nyaman itu pada akhirnya tidak sempat kami nikmati sama sekali.

Membereskan kantor kecil tempat kami akan bertugas, mengecek jaringan, dan segala-gala masalah teknis, sampai menjelang maghrib masih santai. Belum ada laporan dari TPS manapun. Karena bengong, tidak ada TV dan radio kecuali radio ORARI yang hanya diperuntukkan kami para relawan saling berkomunikasi satu sama lain dan dengan KPUD, akhirnya kami jalan-jalan bersama PPK yang akan berkeliling mengawasi jalannya perhitungan suara di TPS-TPS setempat.

Berada di suatu kecamatan di Sumedang di balik gunung tanpa sinyal HP dan TV, rasanya jadi gelap gulita. Mampir di TPS-TPS, melongok sebentar. Karena saya orangnya suka bercanda, maka saat perhitungan itu dengan pecicilan terlonjak-lonjak: Hore GOLKAR menang!

Sebenarnya, saya bukan simpatisan GOLKAR, tapi itu cuma bercanda saja. Cukup untuk membuat salah satu PPK melotot dan memperingatkan saya: Kamu bawa nama KPU, jangan terlihat tidak independen!

Saya terdiam. Kawan-kawan tim yang sudah mengenal saya cekikikan.

Pelajaran kedua jadi relawan pemilu: jangan pecicilan.

Kembali ke kantor, rapat koordinasi sebentar dengan PPK. Kami sekali lagi diperingatkan bahwa apapun yang terjadi, tidak boleh ada kesalahan. Sebab data yang sudah terkirim, tidak dapat dianulir lagi atau dikirim ulang. Sekali kirim, sudah! Langsung tercatat di KPU pusat dan tidak ada satupun yang dapat mengubahnya. Yah, kecuali kalau di hacker. Dan yang bertanggung jawab, adalah kami. Nama kami tercatat di setiap data yang terkirim. Jadi kalau ada kesalahan, maka kami bisa terancam hukuman kurung penjara dengan tuduhan yang sangat keren: BERUSAHA MENGGAGALKAN PEMILU.

Busyet!

Dan mimpi buruk dimulai.

Well, saat itu rasanya mimpi buruk, sekarang jadi kenangan yang indah juga heheh..

Okeh, pengiriman data melalui internet, tapi bukan berarti internet terbuka setiap saat. Dikhawatirkan akan jebol di pusat, maka di seluruh wilayah nusantara ini berlaku sistem buka-tutup. Pulau jawa baru terbuka jaringannya tepat pada pukul 9 malam dan ditutup pukul 2 pagi, baru nanti akan terbuka lagi pada pukul 11 pagi sampai pukul 2 siang. Begitu seterusnya. Jadi, walaupun sudah mendapat laporan dari beberapa TPS, kami masih santai ngopi-ngopi. Tidak tahu bahwa kesulitan pertama sudah terjadi.

Jam 9, semua komputer kami nyalakan. TERNYATA! Kami langsung kena blokir. Tercatat bahwa kami telah mencoba mengakses tanpa izin. GILA! Selidik punya selidik, ternyata salah satu pegawai kecamatan yang sok pinter IT berusaha untuk mengakses komputer kami. PADAHAL komputer itu dilindungi pasword yang hanya kami berempat yang boleh memegangnya. Tapi karena orang itu PINTER IT, dia berusaha masuk. Jadilah terblokir secara otomatis. SIAL! Ngeri sekali bakal masuk penjara, kami kelabakan menghubungi KPUD lewat ORARI meminta saran harus bagaimana. Dimarahilah kami karena meninggalkan kantor kosong sama sekali. Satu jam kemudian, KPUD memberi perintah: hapus dan instal ulang semuanya.

Dan kami pun harus mengulangi pekerjaan dari awal lagi.

Seandainya kami tahu, kami tidak akan mengizinkan KPPS yang memberi laporan langsung pulang begitu saja, karena dari 5 TPS yang masuk pertama kali malam itu, seratus persen tidak dapat dikirim ke KPU pusat karena terjadi kesalahan. Semuanya kertas tidak sinkron antara jumlah suara sah, tidak sah, dan jumlah pemilih. Bahkan, dalam perhitungan per partai pun banyak terdapat kesalahan-kesalahan jumlah. Sedangkan program KPU secara otomatis menolak jika data yang tercatat tidak singkron satu sama lain. Weits! Jangan langsung curiga bahwa itu adalah ‘permainan’ sebab kesalahan ini benar-benar merata tersebar di setiap partai. Semua yang mempelajarinya akan tahu bahwa ini soal ketelitian, atau kesalahan presepsi saat perhitungan suara saja. Tapi tugas kami adalah mencatat dan mengirim data sesuai dengan formulir, tidak boleh berbeda. Jadilah kami sibuk menghubungi balik TPS untuk mengembalikannya lagi sampai datanya benar. Sudah lewat tengah malam dan kami tahu KPPS pun sudah begitu terlihat letih setelah bekerja sejak beberapa hari sebelumnya, tapi toh memang seharusnya begitu.

Dan berulang-ulang. Sekitar 70 persen laporan yang kami terima, itu harus dikembalikan ulang karena terjadi kesalahan. Ini kerja berat. KPPS sudah begitu letih sampai pagi membuat laporan kemudian dikembalikan lagi karena datanya tidak sinkron. Anda tahu setiap lembar kertas suara tahun 2004 begitu ngejelimet dan apalagi itu baru pertama kali. Tidak heran jika terjadi kesalahan tentu saja. Janganlah pikirkan yang di kota saja, kami bertugas di desa. Pusinglah KPPS desa tersebut yang mana selain ribet dengan model pemilu yang baru, juga harus jauh-jauh naik motor mengantarkan laporan ke kecamatan. Ada yang sampai seperti Ninja Hatori: mendaki gunung lewati lembah…Tapi, yang saya hargai, dan ini memudahkan kami, KPPS di desa adalah orang-orang yang ramah. Lah, iya, orang desa di Jawa Barat sih. Mereka, dengan mata yang kuyu dan keletihan, tetap tersenyum dan bahkan berterimakasih karena telah diberi tahu kesalahannya (misalnya: harusnya 152 ditulis 15). Kisah-kisah yang kami terima dari rekan-rekan yang bertugas di kecamatan di kota lain, mereka dimarahi, bahkan dibentak-bentak oleh KPPS. Ada yang kemudian menolak untuk mengirim lagi. Dan bahkan, salah satu tim musti bekerja berlarut-larut lewat satu minggu, siang dan malam, karena selain KPPSnya pada ngeyel, ketua PPKnya tidak mau menandatangani laporan yang masuk. Maklum, ketua PPKnya ternyata adalah simpatisan salah satu partai tertentu yang banyak merasa dicurangi. Sepertinya, dia melampiaskan kekesalannya kepada rekan-rekan kami.

Selama 4 hari penuh, hampir tidak tidur, mencatat, mengoreksi, mengirim. Nyaris tidak keluar kantor kecuali makan yang serabutan. Tidur pun diatas kardus-kardus komputer berkubang kertas. Bukan hanya saya, satu rekan saya yang juga perempuan pun akhirnya dengan santai tidur mangap diantara kardus atau di lantai selama beberapa jam tidak perduli KPPS dan pengawas dari KPUD datang dan pergi menonton kami yang bekerja segala gaya. Ngng..kami mandi gak yah? Mandi sih, kalau inget. Hehehe.. Yah, beginilah ilustrasinya: sedangkan perhitungan suara di TPS saja bisa berlangsung sampai jauh malam, bagaimanalah kami yang harus menangani sebanyak satu kecamatan.

Begitu ngejelimet, begitu banyak pekerjaan, dan KPUD terus mengrim pesan bahwa kami HARUS mengerjakannya secepat mungkin. Lah, bagaimana itu? Tapi, memang perintah KPU itu bisa dimengerti karena semakin lama laporan nangkring, semakin besar kemungkinan dicurangi..

Empat hari yang rasanya begtu gelap karena kami benar-benar hampir putus informasi dari dunia luar. Tanpa sinya HP dan tanpa TV. Tanpa hiburan apapun. Sekali saya coba bandel, menggunakan ORARI untuk memanggil rekan yang bertugas di kecamatan lain. Eh! Ternyata dijawab. Jadilah kami ngobrol ngalor-ngidul. Hanya 5 menit saat ada suara bapak-bapak tau-tau ikut nimbrung:

‘Adek-adek, saya ingatkan! ORARI hanya dipergunakan untuk berkomunikasi yang perlu saja dan tidak untuk pembicaraan pribadi. INI PERINGATAN TERAKHIR!’

Ampuuuuunnn!!!

Pelajaran ketiga jadi relawan pemilu: jangan ngegosip di ORARI

Setelah rampung semuanya dan pulang ke Jatinangor, saya tidur sampai berbelas-belas jam. Bangun dan merasa kangen serta ingin tahu apa yang terjadi selama saya pergi di dunia, saya langsung menyetel TV dan kaget dengan berita-beritanya:

TERJADI KECURANGAN! Disinyalir bahwa sengaja KPU menampilkan data di wilayah tertentu dahulu untuk memberi kesan pada masyarakat bahwa partai tertentu yang menang.

Yeeee, kumaha sih! Itu kan karena jaringannya buka-tutup. Kebetulan kali yang nyampe duluan dari pulau itu.

DATA ENTRY KERJANYA GAK BERES!

Saya matikan TV. Sial, saya udah kerja hampir tidak berhenti selama 96 jam dan yang pertama kali saya lihat adalah orang-orang yang mengata-ngatai apa yang saya kerjakan.

Akhirnya saya pergi ke kampus, langsung bertemu kawan simpatisan salah satu prtai tertentu.

‘Heh, Al. Lo kan relawan data entry ya?’

Iya, ini gue baru pulang.

‘Lo kerja tuh yang becus dong! Gak beres lo.’

Apaan sih! Lo gak tau gimana kerjaan kita disana. Kelihatannya emang gampang, tapi ribet tau!

‘Ya, LO ITU YANG GAK BECUS. PARTAI GUE NIH BANYAK DICURANGI SAMA ORANG-ORANG MACAM LO’

Oh, iya ya.. Yang gue tahu, selama 4 hari gue kerja, itu beberapa partai datang. Mereka melongok, liat bagaimana sih kerjaan kita. Tapi gak ada dari partai lo. Partai lo itu, mau tau aja enggak, datang gak, tapi ngoceh panjang lebar merasa dicurangi. Kalau emang merasa, kumpulin buktinya tuntut KPUnya, jangan berkoar-koar aja di media. Seakan-akan dizholimi orang.

Yang diatas itu adalah kata-kata yang berkecamuk di dalam dada saya, dan saya harap, saya sanggup mengatakannya. Sedangkan yang keluar dari mulut saya hanyalah kalimat yang lemah:

Lo kan gak tau gimana kita kerjanya..

‘ALAAAAH, LO KAN ANTEKNYA KPU!’

Pelarajaran keempat jadi relawan pemilu: kalau jadi relawan pemilu, jangan bilang-bilang ke orang. Cukup kita aja yang tau. Daripada nanti kena bentak tiba-tiba.

Huaaaa… Saya kan cuma RELAWAN yang kerja dapet upah uang makan doang.

Makanya, mendengar orang-orang berkoar-koar di sana-sini sekarang, saya senyum-senyum aja. Hati saya kepada mereka-mereka yang telah betugas dan mungkin masih bertugas, saya yakin mereka berusaha sebisa mungkin untuk mengerjakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Selamat bertugas dan selamat istirahat.

Gak usah dengerin media, hihi…