Sabtu, 28 Agustus 2010

Selasa, 24 Agustus 2010

akhir akhir ini

Akhir akhir ini, saya sedang ingin hening, dan ketenangan di sekitar saya. Saya sudah kehilangan moment awal puasa, dan rasa rindu yang biasanya saya rasakan. Gak ada. Terganti dengan beban pemikiran lain yang menghabiskan semua perhatian hati.

Saya benar-benar sedang ingin segalanya tersetting untuk tenang.

Maka saya begitu terganggu dengan suara-suara gaduh.

Minggu, 22 Agustus 2010

Tukang Ngamen Sendal

Saya itu kangen banget masa-masa kita bisa buka pintu depan dengan tenang.


Saya tumbuh di lingkungan keluarga, daerah kampung di Jakarta. Pintu rumah hampir selalu ngablak terbuka. Kemudian, tetangga bisa duduk ngobrol becengkrama. Bikin kue pas mau lebaran juga sama-sama. Hari ini bikin kue di rumah ibu ini, besok di rumah ibu itu. Kekeluargaan.


Sekarang, udah gak bisa lagi pintu ngablak terbuka. Gak tenang.


Bukan masalah keamanan, tapi masalah kenyamanan. Pintu rumah terbuka itu mengundang banget para pengamen dan tukang minta-minta serta pemohon sumbangan memohon-mohon di depan rumah. Bukan maksudnya pelit juga, cuma jaman sekarang, itu semua datang tidak berhenti.


Cobalah sesekali buka pintu, dalam waktu lima menit tau-tau ada yang mengucap salam minta sumbangan. Belum lima menit kemudian, ada orang nyanyi depan rumah.


Bener-bener gak nyaman.


Disini, di rumah yang saya tempati bareng Eni juga begitu. Sesekali buka pintu depan, langsunglah peminta sumbangan datang. Belum dua menit, datang lagi peminta sumbangan yang lain. Sampe heran!


Ini bahkan lebih parah dari di Jakarta.


Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan bapak pemilik warteg langganan, ini dikarenakan angka pengangguran di daerah coret baik Jawa Barat maupun Jakarta ini sungguh tinggi. Karena juga orang-orang disini rada membel kalo disuruh kerja keras.


Bikin bingung juga. Bukankah di daerah sini, perekonomiannya lagi meningkat tajam. Lapangan kerja lagi buka-bukaan, tuh! Emang bukan pekerjaan yang memberi hasil besar, tapi kan cukup menyerap tenaga kerja juga. Bahkan, bisa dikatakan, peluang buka usaha kecil-kecilan cukup mantap.


Ya, tapi orang yang akhirnya ngisi pekerjaan itu pendatang, Neng. Kata bapak itu. Kayak si Eneng ini. Dan yang buka usaha juga pendatang. Orang Jakarta yang pada beli tanah disini, trus buka kost-kostan. Bikin kontrakan. Bikin warteg, fotokopi, dan sebagainya. Bukan orang-orang sini.


Loh, kenapa gitu?


Orang sini mana ada yang sekolah tinggi. Lulus SMP juga Alhamdulillah. Liat aja anak-anak muda disini, nongkrong doang kerjaannya. Paling jadi tukang ojek. Kebanyakan yang kerja disini perempuannya. Kalo beruntung kerja di pabrik jadi buruh. Kebanyakan jadi pengasuh anak atawa pembantu para pendatang. Pengennya yang gampangnya aja orang sini. Ngamen atau pura-pura nyari sumbangan.


Ooo.....


Sebenernya, ini mau ngomongin tukang ngamen. Ngaku deh, kalo ada tukang ngamen di depan rumah, kita kasih duit buat dia karena apa? Terhibur dengan lagu yang dinyanyikan?


Enggak, kan?


Kita kasih duit buru-buru biar dia cepet pergi.


Kadang tukang ngamen itu baru aja salam blum sempet jreng gitar, kita udah lari ngasih duit. Hehehe…


Herannya, tukang ngamen itu gak tersinggung, yah…


Dulu pernah ada seorang kakek yang merupakan kakeknya salah satu anak kost ibu saya rada salah paham sama tukang ngamen. Ceritanya si kakek di kampong belum pernah tau tukang ngamen. Blum pernah ditemuinya. Satu-satunya tukang ngamen yang ditemuinya adalah tukang ngamen di dalam bus perjalanan ke Jakarta.


Kan beda, ya?


Kalo tukang ngamen dalam bus rada niat dikit. Nyanyi sampe selesai. Kadang bagus pula. Apalagi pengamen di KRL, beuh!! Bagus-baguuuus!! Niat banget bawa drums sama biola kadang keyboard sama celo juga dibawa.


Kembali kepada si kakek, yang dia paham, tukang ngamen itu nyanyi 3 lagu baru minta duit.


Nah, ceritanya si kakek lagi nyante di depan rumah saya, datanglah tukang ngamen. Tidak seperti normalnya orang langsung lompat ngasih duit, si kakek mah nyante aja diem. Sampe tukang ngamen itu selesai nyanyi satu lagu penuh!


Kebayang gimana betenya tuh pengamen.


Lalu saat si pengamen itu minta, si kakek bilang:


Kan baru satu lagu. Kurang dua lagu.


Huahaha....


Tapi dikasih juga sih uangnya sama si kakek.


Nah, beberapa hari yang lalu, saya dan Eni menyaksikan peristiwa yang bikin kita nyengir juga mengenai tukang ngamen. Ceritanya, setelah menghadapi kita yang sedang duduk santai di depan rumah (dan buru2 kita kasih duit biar cepet pergi), tu tukang ngamen menghadapi tetangga yang dari hari ke hari duduk aja di depan rumahnya. Nyanyi. Tetangga kita gak bergerak. Diem aja gitu. Kayak gak kepengaruh.


Pas tukang ngamen itu minta uang, tetangga kita memberi pandangan kesal:


Saya gak minta situ nyanyi. Situ aja yang nyanyi-nyanyi sendiri. Trus minta uang. Yang ada juga saya yang merasa terganggu harusnya marah sama situ.


Saya dan Eni bengong, lalu cekikikan.


Besok sorenya, pas ada tukang ngamen lagi, kita mau coba. Bukan marah-marahnya, tapi kita biarin aja. Dan kebetulan kesempatan itu datang saat kita berdua sedang masak di dapur sementara pintu depan terbuka. Lupa nutup.


Yaudah, kita sama-sama diem aja. Nunggu. Sambil ngintip.


Tukang ngamen itu nyanyi makin lama makin keras.


Biarin!!!!


Sampe akhirnya satu lagu habis dibawakan. Bete kali ye....


Kita tetep diem. Tetep ngintip. Sambil kasak kusuk.


Lalu:


‘permisiii… permisiiii…’


Kita tetep diem.


‘Bu…. Ibuuuuu….’


Diem.


‘PERMISIIIIIII!!!!’


Masih diem.


Gedor-gedor!!! Ampun dah! Gak nyerah tu orang!


Diem.


Lama-lama gak enak juga.


Akhirnya, Eni keluar dengan menggenggam dua uang logam lima ratusan.


’Udah gak ada.’ Katanya saat kembali ke dapur.


’Tukang ngamennya udah gak ada, AL.’ Lapor Eni. ’Tapi, sendal gua juga udah gak ada.’


Gubrak!!!

mudik?


Kamis, 19 Agustus 2010

Semester Berapa

Lagi-lagi ini terjadi. Heran! Apakah waktu tidak berputar di sekitar rumah ibu saya...

Berbaring sendirian di atas dipan. Pintu diketuk. Bangun. Menghampiri.

Orang diluar: Assalamualaikuuum... Assalamualaikum, Bu Haji..

Saya: Iya, iyaaaa... Duileh.. Wa'alaikum salam..

Tante Susi: Eh, si teteh. Mamanya ada, Teh?

Saya: Oooh, gak ada tuh Tante. Lagi diluar kota.

Tante Susi: Oh, gitu.. Yaudah nitip ini aja buat adekmu, ya... (ngejelasin ini itu...)

Saya: (mengangguk-angguk) Okeh.. Okeh...

Tante Susi: Gitu, ya, AL. Duh, cakep kamu mirip banget mamanya....

Saya: Hehe.. (menyeringai)

Tante Susi: Udah semester berapa, sih, AL? Kapan wisuda?

Hekkk!!!! Emangnya saya ada tampang mahasiswa abadi apa? Saya udah lulus sejak 6 tahun yang laluuu....

Rabu, 18 Agustus 2010

Orang Bilang Ayah Teroris


Baru aja baca buku dengan judul diatas. Tipis. Menarik sekali. Berdasarkan catatannya Paridah Abas, istri terpidana mati Bom Bali I Ali Ghufron. Ini buku yang sudah lama banget ada di rak buku kami, tapi belum tertarik saya sentuh sampai hari ini.


Rasanya, tidak meyakinkan.


Ternyata, ini adalah buku yang tidak dapat diletakkan sampai selesai. Membawa saya di haru biru. Jenis buku yang setelah kita baca, akan membuat kita termangu-mangu dengan suasana.


Padahal, tulisannya sendiri sederhana sekali. Namun tiap patah kata, nampaknya ditulis dengan sepenuh hati. Sepenuh kasih sayang yang tercurah dari seorang perempuan kepada suaminya. Dari seorang ibu kepada anak-anaknya.


Kisah dimulai pada Ramadhan, ketika suami yang ditunggu janji untuk pulang, malah terdengar kabar ditangkap polisi. Paridah sedang di Indonesia saat itu, tertinggalkan di sebuah rumah kontrakan lusuh dengan selembar kasur dan tikar, serta peralatan rumah tangga yang jauh dari layak. Hamil dengan anak-anak yang masih kecil.


Suaminya meletakkannya beserta anak-anak di tempat itu lalu pergi. Dengan janji, akan pulang saat lebaran nanti. Tapi yang ditunggu tak kunjung datang.


Kisah bergulir silih berganti, antara masa kini dengan masa lalu yang saling lompat. Seakan kita sedang duduk dihadapannya yang bercerita, dengan tenang, dan baik hati, mengenai masa-masa yang mungkin adalah merupakan salah satu saat tergelap di hidupnya. Dari bingungnya menghadapi pertanyaan anak-anak tentang sang ayah yang tak kunjung datang, kemudian memori bagaimana dua orang yang pikirannya utara selatan ini bisa saling berdampingan.


Tulisannya mengisyaratkan bahwa dia adalah perempuan yang cerdas sekali, kritis, dan mandiri. Orang yang hanya bisa ditaklukan dengan ilmu. Kemudian suatu hari, dia mengutarakan keinginan kepada ayahnya bahwa dia ingin pergi ke Indonesia. Ingin menimba ilmu agama di pesantren. Ayahnya bilang, tidak usah ke Indonesia. Sang ayah akan mencarikan seorang ustadz untuknya. Paridah tentu senang. Dia menyangka bahwa ayahnya akan mendatangkan seorang ustadz sebagai gurunya. Tapi yang terjadi adalah, sang ayah mencarikan ustadz orang Indonesia untuk dinikahkan kepadanya.


Paridah menolak mati-matian.


Tapi kemudian, dia mengalah. Menurutnya, karena jelas tidak ada alasan syar’i yang dapat dipergunakannya untuk menolak pernikahan tersebut.


Saya baru sadar betapa menyesakkannya keadaan yang saat itu menjepitnya. Paridah adalah seorang warganegara Malaysia, tertinggalkan di negara asing baginya. Suaminya ditangkap dengan tuduhan yang begitu berat. Anak-anak serta keadaannya yang sedang hamil. Lalu tangan hokum pun sampai pula kepadanya saat dia harus dijerat UU imigrasi yang memojokannya. Semua passport dan surat-suratnya dibawa sang suami, dan entahlah dimana itu semua.


Namun, dalam keadaan paling menjepit pun, figure seorang ibu, seorang pendidik yang baik tetap mempertahankan bijaksananya. Kepada anak-anak, tidak ada suatu kebencian yang coba dia kobarkan kepada pihak yang lain. Dia tidak mengutuk, mengeluh, berurai ratap. Dia hidupkan pikiran dengan menahan diri, atau dialog yang terbuka.

Di Atas Pohon


The White Ribbon



Film Jerman pertama yang saya tonton. Bagoes!!


Selasa, 17 Agustus 2010

Udah Pantes Pake Baju Putih

Awalnya demam plus batuk yang tak kunjung berhenti. Batuk yang kemudian saya rasakan menyiksa. Membuat saya terjaga sepanjang malam didera kelelahan fisik karena tak tidur tak dapat berbaring. Tidak dapat. Sebab kalau berbaring, saya akan terbatuk hebat sampai muntah-muntah dan meneteskan air mata. Saya kira, saya kena pertusis atau apa. Batuk saya kemudian reda dan berangsur menghilang. Tapi saat tes ini dan itu sebelumnya, ada temuan tentang ketidak beresan dalam tubuh saya. Dokter mengirim saya ke dokter spesialis. Kemudian, dokter spesialis tersebut mengangguk menyatakan bahwa saya benar memang harus ditangani olehnya.


Heran, kaget, dan yang pasti takut.


Bagaimana tidak, ayah saya pun harus ditangani oleh spesialis yang sama tepat enam bulan sebelum beliau meninggal dunia. Keadaan inilah yang kemudian dinyatakan sebagai apa yang membawa beliau pergi, menurut laporan dokter yang memastikan kematiannya. Saat itu, usia ayah saya baru 45 tahun. Sekarang, apakah saya mendapat kehormatan untuk mengalami sakit yang sama dengan beliau?


Menyebalkannya adalah, ini membuat saya harus bolak balik ke RS. Dan setiap perjalanan menuju ke sana, rasanya memberat di dada saya. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga pikiran. Bagaimana caranya saya memberi tahu ibu saya mengenai ini? Bagaimana dengan biayanya? Sakit ini sakit yang mahal. Bagaimana caranya saya membiayai tindakan-tindakan yang mungkin kalau hanya untuk serangkain tes saja harus bingung. Oh, please deh! Harusnya, untuk orang seperti saya, level sakitnya itu masuk angin, radang tenggorokan, flu, atau TBC. Bukan ini.


Di sana pun saya tidak senang.


Lucunya, baik di puskesmas maupun di RS, hal yang menarik perhatian saya ketika menunggu adalah aktifitas sesama pasien. Ya anak-anak atau obrolan. Senang mendengar kisah-kisah hidup orang lain. Dan selama ini, walaupun di ruang tunggu RS, saya selalu bersama dengan orang-orang yang hidup dan menjalani hidupnya dengan sebaik yang mereka bisa. Tapi di bagian ini, yang saya temui adalah orang-orang yang diam.


Muka-muka penuh kerutan dengan mata yang menyiratkan asam garam dunia. Memakai tongkat dan tubuh yang lemah. Beberapa orang seusia saya ada, tapi mereka adalah si pengantar neneknya atau kakeknya tersebut.

Bisa saja saya heboh pecicilan sendiri. Cengar-cengir mendengarkan MP3 atau sibuk dengan HP, baca buku, kadang nekad bawa laptop. Tapi tetep aja itu semua mempengaruhi saya, merasakan redup yang mulai membayang.


Kakek yang duduk di samping saya bilang kalau dia sudah pantes pake baju putih. Sudah terlalu lama hidup. Kakek-kakek dan nenek-nenek sekitar kami tersenyum, lalu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Jumat, 13 Agustus 2010

selesai dengan sendirinya

Terkadang, kita tidak perlu melakukan apapun. Masalah akan selesai dengan sendirinya.

Terkadang, loh, ya!

Well, dua minggu yang lalu, ada masalah di lingkungan pekerjaan. Saya harusnya ikut sibuk dengan ini. Tapi kali ini, saya benar-benar melepaskan perhatian. Bukan sengaja, tapi memang karena perhatian saya sedang penuh kepada diri saya sendiri. Bukan sedang ada masalah. Dan itulah masalahnya. Saya merasa tidak ada masalah. Baik-baik saja! Lincah-lincah aja, tuh!

Tapi dokter tidak sependapat dengan saya. Hasil test saya pun lebih memihak kepada dokter.

Maka, saya hanya dengar-dengar. Teman serumah saya gak banyak cerita juga. Mungkin dia gak mau bikin saya tambah kepikiran yang enggak-enggak. Tapi, rekan saya banyak bicara. Saya pun merasa sedang autis dengan gosip seluruh dunia, maka rasanya hanya pembicaraan yang jauh.

Maka saya hanya mengatakan, tunggu aja, deh! Gimana perkembangannya. Gak mau juga bikin keputusan saat ini.

Dan kemarin, mendadak itu semua mereda. Secara alamiah, mulai terbuka jalan keluar.

Satu lagi krisis terlewati.


Senin, 09 Agustus 2010

harga guru bantu

Percakapan saya dan ibu tadi pagi.

Ibu: Itu si Nugie sewot. Diboongin sama orang diknas yang ngurusin tunjangan fungsional. Katanya, udah bayar mahal, gak taunya dibohongin. Banyak yang kena itu guru-guru di sekolahnya Nugie

Saya: Emang bayarnya berapa?

Ibu: Lima puluh ribu.

Saya: Wah, dikali berapa orang, tuh?

Ibu: Banyak pokoknya. Kalo mau diangkat jadi guru bantu, 15 juta.

Saya: Hah? Guru bantu 15 juta? Lah, kalo PNS harganya berapa?

Ibu: Gak tau, tuh...

kandang ayam

Akhir-akhir ini, saya dan Eni jadi sering berantem gara-gara kandang ayam.


Kandang ayam siapa?


Yang jelas bukan kerjaan saya ataupun Eni. Gila apa! Walopun adalah keinginan terpendam untuk melihara binatang, tapi jelas beternak itu bukan pilihan hidup kami berdua, huehehe...


Gini, ada tanah kosong di sebelah rumah. Itu tanah gak jelas buat apa. Pernah jadi tempat sampah, untung cuma sebentar. Lalu jadi tempat anak-anak main. Sekarang, jadi kandang ayam.


Cukup banyak ayamnya. Entah punya siapa. Tapi Pak RT juga gak komentar apa-apa, jadi mungkin saja yang punya kandang, dan ayamnya tentu saja, adalah si pemilik lahan.


Trus kenapa jadi bahan berantem.


Saya dan Eni itu kan dua individu tinggal serumah. Biarpun orang bilang mirip gayanya, tapi kalo tinggal bareng gini mah jadi ketauan gak miripnya. Keliatan deh utara selatannya!!! Dan kayaknya, yang membuat saya betah bareng dia, adalah kita masing-masing gak pernah berusaha untuk merubah yang lain. Gak juga protes dengan perbedaan kebiasaan-kebiasaan kecil yang harusnya mengganggu tapi gak coba merasa terganggu ajalah.


Bagimu cara hidupmu, bagiku cara hidupku.


Salah satunya, kebiasaan buka pintu. Saya tipe orang yang suka rumah yang terbuka lebuaaaaaaaar!!! Seneng udara yang banyak. Gak suka kalo rasanya udara muter di situ terus. Sementara Eni sukanya tertutup. Pintu jendela nutup dan pasang AC.


Saya gak suka AC.


Maka, kalo lagi dua-duanya di rumah, kita dua orang terpisah kamar jauh. Kecuali pas tidur baru di ruang yang sama.


Saya di belakang diruang kerja, dengan pintu belakang dan jendela yang terbuka lebuar sementara Eni di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga (keluarga??). Kerja atau main PS. Dengan AC yang nyala.


Kalo bangun tidur, kebiasaan saya juga tuh buka pintu belakang lebar-lebar mengundang udara pagi yang masuk.

Biasanya, haaaaaaah segaaaarrrr!!


Tapi sekarang..


Huft, bau ayaaaammmmm....


Tapi saya tetep ngotot buka pintu lebuar walopun bau ayam itu masuk leluasa di rumah. Gimana gak bikin dongkol kelakuan saya itu. Sampe akhirnya..


’Al, gua gak mau tau, TUTUP ITU PINTU!!!’


Gak…

.

‘TUTUP!!!’


GAK MAU!!


Hari ini, mau gak mau itu pintu belakang tertutup. Kenapa? Soalnya kunci pintunya diambil dan sampe sekarang, saya gak tau diumpetin dimana.


Dimana, ya? Hmm...

Sabtu, 07 Agustus 2010

Dokter di Puskesmas

Karena batuk saya gak kunjung sembuh, maka pada hari Senin, saya berobat ke puskesmas.

Loh, kok, puskesmas? Gak elit banget!

Pertama, saya gak pernah ngerasa diri gak elit karena berobatnya ke puskesmas. Hari ini, pelayanan di puskesmas jauh lebih baik dari masa kecil saya dulu. Emang rada ribet, banyak orang, antre panjang, tapi saya malah merasa itulah seninya hehehe.. Lagian, saya sejak kecil dulu ya kalo sakit perginya ke puskesmas. Alasan ekonomi tentu saja. (Murah banget kan? Orang jaman sekarang aja cuma bayar 3 ribu rupiah doang. Kalo peserta askes gratis.) Kemudian jadi kebiasaan dan percayalah, puskesmas menjadi tempat yang jauh jauh lebih membuat saya nyaman dibanding rumah sakit. Kenapa?

Alasan pribadi.

Pertama, di RS itu sepi, dingin, dan bau obatnya menusuk banget. Udah gitu, bersihnya gak kira-kira bikin saya jengah. Huehehe, walopun saya juga gak nyaman di tempat yang jorok, tapi di tempat yang terlalu bersih dan kesannya elit pun saya merasa salah tempat. Makanya kalo makan diluar, paling males banget di kafe atau tempat-tempat yang musti beretika. Enakan juga nongkrong di kaki lima. Lebih bebas.

Emang aja bakatnya jadi orang susah!

Kedua, karena sejak kecil berobatnya di puskesmas, maka catatan saya udah panjang bener tuh disana. Dan itu termasuk catatan-catatan rujukan ke RS saat saya sakit cukup berat dan tak mampu lagi di tangani di puskesmas. Maka, kalo saya sakit, setiap dokter di puskesmas yang meriksa saya jadi sudah dapat meraba. Kalo ke RS atau ke dokter, kan musti dari awal lagi.

Masalahnya, hari-hari ini pas udah kerja, kalo sakit jadi gak bisa juga melenggang ke puskesmas. Jauh dari tempat tinggal saya yang deket ke tempat kerja. Jadilah ke dokter deket sekolahan aja. Kalo gak juga membaik, baru deh ke puskesmas. Biasanya sih, begitu nelen obat dari dokter si puskesmas, langsung sembuh, tuh!

Dulu waktu saya kecil, ada seorang dokter yang selalu dibejubeli pasien. Saya udah lupa mukanya bagaimana, hanya nama pada catatan medis saya dan jeep putih yang beliau kendarai yang saya ingat. Pokoknya kalau saya sakit, dan kebetulan beliaulah yang lagi jaga di bagian umum, ibu saya selalu tersenyum lega. Gak peduli walaupun para pasien kebanyakan milih ngantri di depan mejanya, ibu saya selalu milih beliau.

Oh, ya, sekedar info buat yang belum pernah ke puskesmas. Di sana biasanya (dulu) tersedia dua atau tiga dokter di satu ruangan yang hanya dijeda oleh meja-meja saja.

Sekarang, dokter jeep putih itu sudah tidak ada lagi. Sudah lama tidak ada. Sejak saya seumuran SMP. Mungkin di tugaskan di puskesmas lain atau apalah. Pokoknya, beliau tidak ada. Namun, hari Senin ini, saya seakan bertemu lagi dengan sosok beliau.

Dulu yang namanya berobat di puskesmas cuma ada bagian umum dan gigi aja. Kalau pasien harus mendapat penanganan dari spesialis, maka dirujuk ke RS pemerintah terdekat. Sekarang, sudah mulai ada spesialis-spesialis di sana. Tapi terbatas, dan nampaknya, juga masih pelayanan yang ringan. Mungkin.. Saya juga gak begitu tahu. Tapi yang jelas, kalau sakit, ya tetep musti ke bagian umum dulu. Nanti dokter umum yang alihkan kita ke bagian lain kalau memang butuh. Nah, jelas kan, di bagian umum ini, selalu pasien banyak sekali berdesakan.

Hari Senin itu, ada dua dokter di bagian umum. Di ruang yang kanan (sekarang dipisahkan ruang, euy!), pasiennya banyaaaaak banget yang ngantri. Kebetulan dari admin di depan, saya disuruh ke dokter xxx yang di bagian kanan itu. Melongo juga, tuh ngeliat segitu banyak orang.

Emang lagi musim sakit!

Baru duduk, tau-tau sang dokter nongol. Beliau ngasih pengumuman:

’Bapak-bapak, ibu-ibu, silahkan setengahnya ke ruangan sebelah saya ini.’

Orang-orang pada bergumam:

’Gak, ah! Disini aja..’

’Saya mau sama Bu Dokter xxx aja…’

’Disini aja..’

’Saya biasanya kan sama dokter, dok…’

Bu Dokternya bengong…

’Bapak-bapak, ibu-ibu, kalo semuanya disini, saya yang teler ini… Banyak banget!’

Orang-orang bergumam. Akhirnya, banyak juga sih yang pindah. Tapi saya tetep di tempat saya. Gak yakin juga untuk pindah. Sebenernya, bukan juga masalah dokternya toh saya juga belum pernah ditangani oleh beliau, tapi memang menurut catatan saya akan ditangani oleh dokter yang ini.

Beberapa lama kemudian (lamaaaa) saya beserta lima orang yang lain dipanggil masuk ke ruangan. Dan barulah saya ngeh kenapa dokter ini dikenal oleh pasien. Sebab beliau juga kenal dengan pasien.

Baru masuk, tau-tau Bu Dokter langsung menegur seorang anak laki-laki yang masuk bareng saya:

’Kenapa lagi..’katanya keras. Kontan semua orang nengok ke anak laki-laki usia SD kelas 3-4 itu. ’Asmanya kambuh? Batuk sampai gak bisa tidur? Masih suka jajan es di pinggir jalan, ya?’

Ibu sang anak langsung menyeret anaknya ke depan dokter yang sibuk meriksa.

Ibu itu: Iya, nih, dok… Masih suka jajan es di pinggir jalan.

Bu Dokter: Kok gak dilarang sih, bu? Ibu ini gimana sih!

Nah loh, si ibu diomelin dokter.

Bu Dokter: Anaknya dijagain dong, Bu! Kalo ibu sayang sama anak itu dijaga. Dilarang jajan sembarangan. Jangan dibiarin aja. Kasian anaknya, Bu! Kecil-kecil udah sakit-sakitan. Emang ibu mau anaknya dirawat di RS?

Ibu itu: Yah, dok.. Dilarang mah dilarang. Tapi kan sering gak ketauan saya.

Bu Dokter: (ngeliat ke anak) Oooh, ngumpet-ngumpet? Lebih seneng sakit, ya? Kalo gitu, kamu lebih milih di opname? Mau ibu kasih rujukan untuk opname?

Anak itu: (menggeleng-geleng)

Bu dokter: Makanya nurut sama ibumu, dong, dek… Hmmm, kamu itu..jangan bikin susah orangtuamu, dong, yaa. (ngucek-ngucek kepala si anak)

Anak itu: (mengangguk)

Nonton itu semua, kami hanya cengar-cengir aja. Lega juga, untung saya dipanggil terakhir dari 5 orang ini. Jadi pas saya diperiksa nanti, gak ada orang lagi di ruangan. Paling enggak, kalo nanti diomelin, udah gak ada orang, hehehe…

Saat giliran saya tiba, saya mengamati wajahnya dan mengigat namanya. Dok, saya harap, anda akan betah di sini. Kami, para pasien puskesmas, orang-orang kecil di negeri ini, membutuhkan orang seperti anda.

NB: Tulisan ini untuk para dokter puskesmas. Saya yakin, mereka adalah orang-orang yang istimewa. Yang bekerja dengan penuh dedikasi dan memberikan yang terbaik walaupun dengan fasilitas terbatas dan harus menghadapi pasien begitu banyak tiap hari. Menghadapi orang-orang yang mungkin kurang menghargai dedikasi. Anda datang, dan bagaimanapun, memberikan kesabaran yang luarbiasa.

usaha dong

Beberapa hari yang lalu, seorang tweeps yang twitternya saya ikuti rada sewot dengan iklan IDI yang bertema 'ayo berobat'. Katanya kalo gak salah begini:

Selanjutnya apa? Pemerintah bisa gak cari solusi untuk orang kecil berobat gratis?

Beberapa saat kemudian, nampaknya banyak yang juga sewot dengan iklan tersebut. Katanya, bikin shok. Bikin orang ketakutan. Nanti jadi kepikiran. Bahkan ada yang mau laporin ke KPI segala. Katanya, KPI jangan urusin ciuman melulu dong!

Dalam pikiran saya pas baca tulisan itu: yeee, cemen banget sih lo! Cuma adegan kangker mata, batuk berdarah sama anak hidrocepalus aja ketakutan! Pengennya liat yang enak-enak melulu, sih! Kaga kuat liat yang rada ngeri dikit aja.

Saya jadi mikir, orang-orang itu mungkin begitu perlentenya kali ya sampai gak pernah liat yang begituan! Cobalah sekali-kali jalan gak naik mobil pribadi atau taksi. Liat sekelilingmu!

Kalau pagi, sehabis subuh, saatnya saya berangkat ke sekolah, diatas jembatan penyebrangan, anak-anak jalanan tidur nyenyak disana adalah pemandangan yang biasa. Mereka hanya berselimut koran, atau tanpa selimut apapun.

Dan diatas jembatan penyebrangan itu, suatu saat saya bertemu dengan perempuan tua nyaris tanpa wajah! Mukanya bolong! Hanya satu mata yang saya lihat. Tertutupi perban yang sudah begtu kumal. Mungkin karena kangker atau apa! Dua kali saya melihatnya, dan itu pemandangan paling pilu yang pernah saya saksikan selama ini. Kali pertama, saya melihatnya mengemis. Kali kedua, saya melihatnya sedang dimaki-maki oleh pengemis lain. Yang nampaknya marah karena hadirnya nenek tanpa wajah, telah mengurangi pendapatannya. Saya melerai pengemis galak itu, lalu menuntun sang nenek turun. Sampai di bawah, saya antar ke puskesmas terdekat, lalu saya berikan seluruh uang yang saya bawa. Sampai hari ini, saya tidak pernah melihatnya lagi. Mudah-mudahan, pegawai puskesmas mengurus nenek itu ke dinas sosial atau apa.

Suatu hari dalam hidup saya, pernah menyaksikan seorang perempuan muda yang lumpuh menyeret tubuhnya di lantai rumah yang terbuka sementara di belakangnya, seorang perempuan lain, yang mungkin saja adalah ibunya sendiri, sedang membentak-bentak melemparkan gayung kepadanya. Adegan itu menyayat hati saya.

Suatu kali dalam perjalanan ke sekolah, saya bertemu dengan seorang bapak yang menyeret anaknya yang tidak memiliki lengan dan kaki. Anaknya itu duduk di atas papan beroda, dan memakai baju seragam SD. Seseorang menyapa sang bapak yang membalas sambil tertawa, bahwa dia sedang nganterin anaknya sekolah.

Pernah saya bertemu dengan seorang perempuan muda yang bicaranya aneh dan tertatih-tatih di pinggir jalan. Dia bilang, dia mau pulang kampung saja. Sebab dia tidak betah disini, tiap hari dipukul majikan. Suka gak dikasih makan. Tubuhnya gemetar dan dia tanya kalau mau ke garut, naik mobil apa? Tangannya meremas uang sebesar tiga ribu rupiah.

Itu semua hal-hal nyata, dan terjadi di sekitar kita jika saja anda mau membuka mata. Maka, menurut saya, iklan itu tiada masalah. Mungkin memang maksudnya untuk nakut-nakutin orang.

Intinya apa sih? Nyuruh orang berobat secepatnya! Karena hal-hal kecil, bisa jadi besar kalau kita tidak menanggapinya. Kutil bisa jadi tumor mata, batuk bisa saja ternyata TBC, dan kalau kita gak periksa kehamilan, mungkin saja ada hal-hal menyangkut kesehatan yang kita gak tau sampai terlambat. Mungkin nanti akan lahir anak kita hidrocepalus.

Menurut saya, beberapa orang memang perlu untuk ditakut-takutin! Sebab kalo gak gitu, suka gak peduli sih!

Perasaannya takut aja duluan. Takut kalo berobat mahal, lah! Akhirnya sakit dibiarkan saja. Beli obat warung. Padahal kalo dihitung-hitung, harga Neozep itu 4 butir 2 ribu rupiah. Cuma buat satu hari. Harga obat batuk OBH sepuluh ribu rupiah. Ya kalo memang sakit ringan sih gak masalah.

Kemarin saya ke puskesmas, dan sempet terkejut dengan kenyataan bahwa biayanya hanya 3 ribu rupiah! Itupun saya pasien umum tanpa askes. Dan hanya butuh bawa KTP saja, kok! Maka geregetan banget kan kalo ketemu bapak-bapak yang bilang gak mau berobat karena mahal sambil menghembuskan rokok dalam-dalam. Lah, itu sanggup beli rokok?

Orang cuma males ribet! Itu saja!

Berapa kali saya mengurus surat keterangan tidak mampu di kelurahan untuk beasiswa baik saya sendiri maupun adik-adik saya. Ribet dikit kan lumayan hasilnya! Tapi masalahnya, yaitu, orang kebanyakan malas!

Atau malu!

Saya merasa gak perlu malu untuk mengurus surat keterangan gak mampu demi mendapatkan beasiswa. Toh kita berusaha untuk kelangsungan pendidikan kita, kok! Sesuatu yang produktif bagi negeri ini. Biar kita bisa tumbuh mandiri, mungkin gak sanggup memberi tapi paling enggak, tidak nyusahin. Sama dengan kita gak usah kesal kalo ribet ngurus surat itu demi pelayanan kesehatan kita sendiri. Itu toh demi diri kita sendiri!

Ini kan enggak! Yang saya tahu, orang lebih tebal muka untuk menyatakan diri gak mampu biar dapet tiga ratus ribu atau sedekah!

Lihatlah penghuni bantaran kali sampai sekarang masih juga buang sampah sembarangan di kali. Kalau ditanya, katanya gak tau mau buang sampah di mana. Astaga! Segitu bodohnya kah mereka sampai gak mampu mikir untuk ngumpulin sampah dan buang di tempatnya. Pernah juga saya menyaksikan saat diwawancara, orang-orang ini mengeluh tempat sampahnya jauh. Orang gila! Emangnya disangka saya buang sampah tiap hari itu deket! Jauh, jek! Musti naik sepeda ke depan perumahan.

Giliran banjir aja, sewot karena pemerintah lambat ngasih bantuan! Disuruh pindah dikasih modal buat transmigrasi ogah! Bangga banget sih hidup dikasihanin orang lain!

Malas dan maunya mengeluh, mungkin itu penyakit di negeri ini.

Seperti akhir-akhir ni saya rada kesal dengan rekan-rekan saya yang selalu mengeluh tentang sedikitnya penghasilan sebagai guru. Mereka bingung kenapa saya santai saja. Apa saya santai? Gak juga. Ke sana kemari nyari info buat ngurus ini itu supaya tunjangan fungsional dari pemerintah turun. Sedikit, tapi lumayan nambah penghasilan saya. Dan itu memang hak saya sebagai guru di negeri ini. Gak ada yang mau ikut ribet kayak saya biar saya ajak-ajak juga. Kalo temen serumah saya sih, dia memang gak pernah niat dapet tambahan dari itu. Tapi kesel juga saat ternyata saya dapet itu tunjangan, yang lain pada iri.

Lah, kalian gak mau ribet ngurus! Gimana sih?

Usahalah dikit! Ada jalan terbuka untuk yang mencarinya!