Jumat, 11 September 2009

Maaf

Kemarin, kita maaf-maafan.

Salam-salaman sama semua orang. Anak-anak dan guru. Kali ini, anak-anak duluan. Mereka langsung masuk mobil jemputan.

Guru saling salam-salaman. Saya kira rada kering juga. Kayaknya, rasa jengkel dan marah saya masih juga penuh pada Bu Yuyun. Duh, gustiiii…Tolonglah saya mengendalikan hati ini.

Lalu, Eni memeluk saya. Tanpa diduga nangis tersedu-sedu di pelukan saya. Gak ngomong apa-apa sih, Cuma nangis aja. Tapi saya tau apa yang dikatakannya kepada saya dalam hati.

Sebenernya, sudah lama saya memaafkannya. Saya lebih sakit dengan kenyataan dia tidak bicara dengan saya. Padahal, kan, yang salah bukan saya. Dia yang mengkhianati saya.

Beberapa saat yang lalu, saya untuk pertama kalinya merasakan rasa sakitnya ditusuk dari belakang dengan salah satu sahabat saya sendiri. Teman serumah. Dan bahkan orang yang berbagi kamar dan tempat tidur dengan saya.

Saya tidak tahu kenapa dia jadi begitu keras, dan beku.

Mudah-mudahan ini tanda bahwa keadaan semakin baik. Amin…

Selasa, 01 September 2009

Abang Teroris?

Sudah beberapa bulan emang tukang rujak depan gang gak ada. Saya gak gitu merhatiin. Tapi Kirsan merhatiin. Langganannya sih! Pas udah gak inget lagi, tau-tau Kirsan cerita hal yang bikin saya melongo.

Kirsan: AL, aku punya gosip.. Tentang abang tukang rujak.

Saya: Apa? Dia teroris?

Kirsan: Iya.

Saya: Hah! Apaaaa!

Saya kan Cuma nyeletuk aja mengenai teroris itu, loh kok bener?

Begini menurut ceritanya Kirsan yang berdasarkan ceritanya Abang Tukang Gorengan:

Beberapa bulan yang lalu, datang beberapa orang ke mushalla tempat abang-abang PKL depan gang itu suka leyeh-leyeh ba’da zduhur. Mereka mengajak abang-abang PKL itu ngobrol dan tau-tau bikin pengajian. Yang sering ikutan sih abang tukang gorengan, tukang rujak, tukang parkir, tukang bubur, dan tukang es kelapa. Selain ngaji alqur’an, orang-orang itu juga banyak ngasih CD tentang pembantaian muslim di poso dan sejenis itu. Lalu sering ngasih buku tentang jihad.

Abang tukang gorengan lama-lama males, dan gak ikut pengajian lagi.

Ini adalah percakapan abang-abang PKL tersebut menurut kisah abang tukang gorengan:

Abang tukang rujak: Ayo kita jihad. Demi Islam. Islam sedang dianiaya.

Abang tukanggorengan: Saya terus terang aja, gak boleh sama orangtua saya. Adik-adik saya masih banyak masih sekolah. Abang ajalah.

Abang tukang bubur: Kalo saya mah, sudah tua. Bukan saatnya lagi. Yang muda-muda sajalah.

Nah, menghilanglah abang tukang rujak dan abang tukang parkir. Beberapa minggu kemudian, kabarnya, kontrakan abang tukang rujak itu digrebek polisi. Di dalam kontrakannya penuh buku-buku dan film tentang jihad.

Mendengar cerita ini, saya sedih. Saya tahu abang-abang PKL depan sekolahan itu. Mereka orang-orang baik. Orang-orang muda yang saya yakin, masih punya kepedulian yang besar terhadap sekitar. Dan keterbatasan mereka itu, dimanfaatkan pihak lain. Bayangin ajalah, usia muda, punya kepedulian dan keinginan berbuat sesuatu, ilmu yang kurang. Perfect. Dan siapa yang tidak berkobar dengan kemarahan jika dirasuki terus menerus kisah-kisah sepihak tentang bagaimana umat Islam sedang disakiti, dijejeli film-film yang berisis adegan umat islam sedang dibantai tanpa ada pemahaman mengenai konflik tersebut.