Senin, 17 November 2008

Saran

Saat kuliah semester satu, saya bertemu bapak ini.

Beliau adalah dosen MK Agama Islam.

Ketika pertama saya melihat MK ini di tercantum di KRS, saya mengeluh. Udah kuliah masih ada pelajaran agama Islam? Bukannya saya gak suka namun apakah tidak buang-buang waktu saja. Pada akhir masa SMA saya membayangkan bahwa jalannya kuliah seperti kisah-kisah di buku yang saya baca atau di film. Walaupun saya juga membaca di Battle for God sang penulis mengeluhkan jalannya perkuliahan di Negara-negara berkembang yang memprihatinkan, kelas dipenuhi orang yang berjubel hingga berjumlah ratusan, dosen ngoceh panjang lebar serta mahasiswa sibuk mencatat sampai berjam-jam. Saya memutuskan tidak mengambil MK Agama Islam yang ternyata gagal karena MK itu adalah wajib. Untung MK itu wajib.

Hari pertama sang dosen datang, berjalan tertatih-tatih. Bapak ini sudah tua. Beliau langsung mengumumkan bahwa MK Agama Islam isisnya bukan pelajaran shalat atau yang seperti itu. Tapi sebuah diskusi mengenai agama islam. Beliau bertanya, apakah kami membawa al Qur’an. Beliau menginginkan kami membawa al qur’an terjemahan setiap masuk perkuliahannya.

Beberapa orang berkata, bawa.

Beliau bertanya pada kami semua apakah kami orang Islam?

Ya…

Apakah kami percaya semua doktrin dalam Islam?

Ya..

Apakah kami percaya bahwa di dalam al qur’an terdapat semua tuntunan hidup sehingga kita tidak perlu mencari dari sumber yang lain?

Ya..

Kalau begitu, carikan saya ayat tentang menyembuhkan Kangker Darah!

Tentu tidak ada.

Tidak ada?

Tidak ada.

Berarti al qur’an tidak lengkap. Tidak bisa jadi tuntunan hidup. Lalu kenapa kalian beragama Islam?

Nah begitu. Tidak seperti dosen kebanyakan yang ceramah, memberi fotokopi banyak dan menyuruh mencatat panjang sekali, bapak tua ini memaksa kami berpikir setiap perkuliahan. Beliau selalu membawakan kami pertanyaan pertanyaan pelik, membawa sesuatu untuk didiskusikan, dan sering memancing perdebatan yang panas dan panjang. Tentu tidak semua siswa setuju walaupun semua sepakat bahwa beliau adalah dosen yang hebat. Kebanyakan yang tidak setuju lebih dikarenakan materi yang diperdebatkan itu. Ya..selalu pelik jika bicara mengenai agama. Namun bagi saya pribadi, saya meninggalkan MK ini dengan rasa sedih dan kehilangan.

Saya tidak pernah bertemu dengan beliau lagi sampai pada suatu hari, beberapa hari sebelum beliau meninggal dunia.

Hari itu saya datang lebih cepat. Saya muncul di kampus pukul 8 pagi sementara kuliah saya baru dimulai pukul 10.30. Salah jadwal? Tidak, itu memang sengaja. Saya malas datang siang sebab hari sudah panas. Seperti hari-hari biasanya saya menuju perpustakaan. Namun hari itu perpustakaan penuh orang, terpaksa pergi mencari tempat lain yang sepi untuk bisa baca buku dengan tenang. Berjalan-jalan mencari kelas yang kosong. Saya menemukan satu kelas yang dari luar tidak ada suara, saya masuk, langsung berhenti. Bapak dosen ada didalam, duduk di kursi siswa membaca buku sendirian.

Beliau berdiri dan membereskan barang-barang.

‘Mau masuk kelas?’ tanyanya..

Ada kelas disini pak?

Kami bicara berbarengan. Beliau mengernyit.

‘Tidak.. saya Cuma mencari tempat yang sepi untuk membaca buku.’

Oooo.. sama aja ternyata. Saya agak ragu, tapi kemudian memutuskan untuk berkata

saya juga mencari tempat untuk membaca.

‘Oh, ya sudah. Silahkan…’ beliau membuka kembali buku dan membaca. Saya duduk beberapa kursi disebelah beliau dan membaca buku dengan tenang. Kami berdua membaca, tidak mengganggu satu sama lain.

Hampir satu jam kemudian, saya mengintip jam tangan. Si bapak menoleh.

‘Sudah mau mulai kuliahnya?’

Gak, masih satu jam lagi.

Dia tertawa.

‘Mbak jurusan apa sih?’

Perpustakaan.

Kami berkenalan. Lucu ya, berkenalan. Ya tentu, lah dulu waktu saya masuk kuliahnya beliau kan di kelas ada lebih dari 400 orang. Satu fakultas satu angkatan. Weleh-weleh. Walaupun saya cukup aktif di kelas, yang lain juga aktif. Rame lah kelas selalu.

‘Begini, saya mau minta pendapat. Menurut Mbak, bagaimana perkuliahan saya?’

Saya mengangkat alis.

Beliau mengungkapkan apa harapan beliau akan perkuliahan, apa sebetulnya yang ingin dia sampaikan sepanjang waktu kuliah yang singkat. Namun beliau juga mengungkapkan beberapa hal yang mengganggu pikirannya. Apa-apa yang membuat beliau gelisah. Dan akhirya, pertanyaan apakah dia adalah seorang guru yang baik? Beliau mengungkapkan beberapa kelemahan perkuliahannya (metode maupun isi) dan beliau meminta saran saya bagaimana agar bisa lebih baik.

Saya agak melongo. Tidak pernah dalam hidup saya seorang guru mengungkapkan hal-hal tersebut secara gamblang. Beberapa guru saya tentu saja selalu terbuka terhadap kritik dan saran, namun tidak secara sukarela memintanya kepada siswanya. Kebanyakan dosen mah maju terus pantang mundur dengan cara dia mengajar yang terkadang membuat saya seperti kembali ke SMA saat hampir sepanjang hari dihabiskan dengan mencatat (yups, masa SMA adalah masa terburuk sekolah. Masa siswa paling gak aktif). Beberapa dosen yang memberi inovasi saat mengajar selalu berbicara bahwa ‘cara kita belajar seperti ini adalah cara yang lebih baik’ seakan-akan dia sendri yang menerapkan dan seakan-akan sudah sempurna. Bapak dosen ini sudah tua, tapi siapa yang menjamin bahwa guru muda selalu lebih baik dari guru yang sudah senior.

Selama satu jam saya dan bapak dosen yang sangat dihormati ini terlibat diskusi yang seru. Saya memberi beberapa saran. Lalu kami diskusi mengenai buku dan pemikiran-pemikiran Karen Armstrong. Sungguh saya rela tanpa mikir untuk mengorbankan kuliah saya hari itu demi tetap berada di sebelahnya, bahkan mungkin saya rela jika saya menggagalkan mata kuliah ini demi saya berdiskusi dengan bapak dosen satu hari dalam seminggu. Perasaan apa yang saya dapatkan dari diskusi setengah jam itu jauh lebih banyak daripada 3 jam duduk mendengarkan ceramah ibu dosen yang gak ada matinya. Tapi sial, kami duduk dikelas yang akan saya masuki. Setengah jam kemudian, kawan-kawan saya mulai berdatangan. Si bapak dosen berdiri membereskan barang-barangnya. Saya membantunya.

Cari kelas kosong lagi pak?

‘Ya kalau kita bisa meneruskan diskusi, tapi Mbak mau masuk kelas. Saya mau pulang kalau begitu. Supir saya sepertinya sudah selesai. Saya sebenarnya menunggu supir saya ada urusan.’

Dalam hati: Oh no! Gak papa, mari cari kelas lain. Saya sebal mata kuliah ini.

‘Diskusi yang menyenangkan Alifia, mungkin lain kali kita lanjutkan lagi. Wassalam.’

Wa’alaikum salam.

Hari itu berlalu begitu saja. Saya dengan kesibukan saya. Saya lupa. Saya baru ingat kembali saat beberapa minggu kemudian saya tanpa sengaja melihat kertas pengumuman besar di madding kampus.

INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN

TELAH MENINGAL DUNIA

…………………………………………………….

Saya terpana mendekatkan muka saya dekat sekali dengan kertas, menyentuhkan telapak tangan saya pada permukaannya.

Dia telah pergi..