Jumat, 30 April 2010

wonderwall

Today was gonna be the day?
But they'll never throw it back to you
By now you should've somehow
Realized what you're not to do
I don't believe that anybody
Feels the way I do
About you now

Yogyakarta

Pulang ke kotamu Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu Tiap sudut menyapaku
bersahabat, penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama
Suasana Jogja

Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu ...

Walau kini kau t'lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Lagu diatas itu belum pernah menjadi lagu yang menyentuh hati saya. Ngng.. Mungkin karena saya sendiri gak punya suatu perasaan tertentu tentang Yogyakarta. Saya gak pernah menginjakan kaki di kota itu (kasian banget sih, lo!) dan gak punya temen atau kenalan orang sana juga.

Tapi pagi ini, lagu itu jadi rasanya punya arti. Mengherankan!

Dari mimpi yang emosional tadi malam.

Saya, dengan seorang di maya yang blognya sering saya sambangi tapi belum pernah saya temui itu dalam mimpi adalah berteman. Maksudnya, secara nyata dan fisik (dalam mimpi). Dan kami tidak berada di negara ini.

Kita hanya menyusuri jalan sambil bicara tentang masa lalu (?), lalu entah dari mana lagu ini terdengar. Kawan saya itu termelongo, terdiam.

Dia bilang, dia kangen rumah. Saya bilang, saya juga. Dan memang saya merasakan rindu untuk pulang.

Bangun tidur, saya tahu kalau saya harus pulang hari ini.

Kangen keluarga, hiks...

Rabu, 28 April 2010

tears

Dan dia seorang kawan. One of my bestfriend.

Dia menelpon. Dari ruang yang terletak berjeda dari kantor kecil ini. Bicara. Bahwa hari ini, karena semalam, memang sudah sampai pada keputusan final.

Hari ini. Beberapa jam lagi. Surat pengunduran diri itu akan diberikan.

Saya tertawa. Kamu akan baik. Saya tahu.. Kamu akan tiba di tempat yang kamu merasa lebih bahagia disana.

Telpon ditutup. Sayup terdengar bel berdering tanda ganti pelajaran. Saya kembali ke pekerjaan saya.

Menatap layar.

Tangan kembali ke atas keyboard.

Tapi saya hanya bisa terpaku dengan layar yang tidak lagi jelas.

Air mata saya jatuh.

Sabtu, 24 April 2010

private emotion

And a silence falls between us
As the shadows steal the light
And wherever you may find it
Wherever it may lead
Let your private emotion come to me

We’re Fine, Neighbors

Diawali oleh sebuah jeritan..


Aaaaaaa……

Itu kawan serumah saya, Eni, tiba-tiba menjerit panik dari kamar mandi. Saat itu, dia sedang seru sekali mencuci baju sementara saya ada di beranda ngobrol bola dengan beberapa orang laki-laki ditemani kopi dan rokok.


First of all, saya bukan penggemar berat bola. Saya suka main bola dengan anak-anak kecil, tapi gak gitu suka menontonnya. Apalagi di TV. Kecuali nonton pertandingan pada piala dunia. Kalau nonton live masih rada suka dikit walaupun biasanya bikin semua orang kesel karena saya gak pernah jelas berada di pihak mana. Bagi saya, nonton bola hanya dua hal yang penting. Pertama, nongkrongin cowok-cowok keren lari-lari berkeringat. Uuuuh, keren sekali!! Hepi bener melihat laki-laki berkeringat tanpa kita pusing menghirup aromanya, ya , kan?


Kedua, ini hanya dapat dilakukan dengan puas jika nonton live, adalah jejingkrakan dan teriak-teriaknya. Mau tim manapun yang gol atau nyaris gol, saya akan jejingkrakan dan tereak-tereak dengan histeris.


Lalu kenapa saya terlibat obrolan bola begini?


Kalau diurut dari awal adalah ketika tetangga sebelah rumah pindah dan mengontrakan rumahnya kepada segerombol cowok bujang yang rada kuper. Ada empat orang resminya walaupun tidak selalu sebanyak itu sepertinya sih. Entahlah… Mereka semua bekerja di sebuah minimarket yang sedang berkembang besar-besaran nyusruk ke kampung dan desa. Saya tidak begitu paham apakah salah satu dari mereka adalah IT support atau semuanya. Yang jelas, mereka…yah, bisa dibilang nerd. Dan karena seakan tidak memiliki kehidupan social selain mereka-mereka aja, jadilah sering nongol ke rumah kita.


Jika Anda mengikuti Serial The Big Bang Theory, mungkin akan mendapat gambaran.


Hari sebelumnya, mereka nongol untuk pinjam sesuatu. Antena TV. Karena pas saya tanya emang kenapa antenna punya mereka yang ada mereka jadi merasa kayak gak enak berpikir bahwa saya keberatan sekali, maka saya kasih saja tanpa pertanyaan. Lagian, kita punya TV juga kayak dibuang sayang dinyalain nyaris gak pernah, kok, ya, kecuali buat nonton DVD… Jadi, siapa butuh antenna?


Mereka bilang, mereka pengen nonton bola nanti malam.


Oh, okey…. Jam berapa? (Ini pertanyaan sopan aja)


Sekitar jam 2. Kalian mau gabung nonton?


Ngng... Gak kayaknya. Lewat waktu tidur.


Kita bangunin. Jam berapa mau dibanguninnya?


Gak... Gak usah...


Serius, nih.. Kalau mau, nanti kita beli cemilannya lebih banyak.


KEMUDIAN, pada hari berikutnya.. Saya baru selesai mengajar anak tetangga saat rombongan cowok minimarket itu pulang. Cuma sekedar Tanya aja.


Hai, gimana bolanya semalam?


Tau-taulah mereka belok dan duduk di beranda rumah lalu mulai heboh nyerocos bola. Yailaaah, masa saya masuk rumah dan tutup pintu? Gak mungkin, kan? Saya juga akhirnya duduk ikutan ngobrol. Tau-tau saya bikinin kopi, lalu salah satu cowok mengeluarkan rokok, dan…


Terdengar teriakan dari kamar mandi.


Bukan hal yang mengkhawatirkan, hanya keran yang copot menyembur air membuat Eni basah kuyup dalam kaget tak terperi. Dan masalah terpecahkan saat itu juga karena kita punya keran cadangan. Sekejap, walah!! Jeng.. jreng...!!!


Its done!


Nah,nah.. Apakah saya bilang masalah sudah terpecahkan?


Tidaklah...


Karena beberapa jam kemudian, saat suasana diluar sudah sunyi dan senyap, tau-tau Eni ngejerit lagi. Keran copot lagi. Bukan, bukan copot, tapi patah. Air menyembur.


Gak tau bagaimana tadi saya masang itu keran coba ngutak-utik kenapa jadi keras. Maka kami biarkan aja deh. Besok kita pikirin lagi. Yang peting, bak sedang penuh dan nampaknya cukup untuk kebutuhan sampai pagi. Yah, kalau gak cukup buat mandi, besok kami akan berangkat sangat pagi saja dan mandi di sekolah.


Pintu diketok. Tetangga. Ngedenger teriakan Eni barusan. Ada apa?


Keran patah.


Oh, terus?


Yaudah, besok kita pikirin. Soalnya patah, sih.. Lagian, kita gak punya keran cadagan lagi.


Okey..


Pergi.


Beberapa saat kemudian, saya baru saja merebahkan badan, pintu diketuk lagi. Kali ini Eni yang keluar. Ngobrol sebentar, lalu masuk. EMPAT-EMPATNYA!


Ngapain?


Ngeliat keran yang patah itu.


Idiih, ini mah musti dibetulin sama tukang. Kok bisa begini?


Gak tau..


Bicara-bicara


Toko udah tutup jam segini, mah.


Lah, iyaaa… Makanya kita bilang, besok…


Okey...


Pergi..


Beberapa saat kemudian. PINTU DIKETUK LAGI. Tebak siapa?


Ini, kita sumpel aja dulu, deh...


Kali ini bawa perlatan pertukangan. Ngutak-utik sebentar. Saya rada khawatir juga, mereka kan orang IT, bukan cowok tukangan. Beneran bisa?


Eh, awas lo ya kalo paralonnya pecah....


Pergi..


Berakhir? Belum…


Satu jam atau satu jam lebih setelahnya. Kali ini kita berdua sudah benar-benar tidur. Pintu diketok...


Yah, siapa lagi.


Bawa keran baru.


Dan pipa paralon serta sambungannya.


Darimana itu?


Kita tadi pergi cari toko yang masih buka.


Hah?


Hebohlah mereka ngutak-utik di kamar mandi.


Kalian mau minum kopi, lagi?


Gak papa, kita bawa kopi sendiri, kok.


Ya ampun, niat bener!


Akhirnya beres. Pamit..


Kalo ada apa-apa...


Ya, yaa.. Nanti minta bantuan kalian, hehe...


Assalamualaikum..


Waalaikum salam…


Balik lagi…


Apa aja, gak apa-apa, kok...


Iyaaaaa... Duuuh.... We’re fine..!!

Selasa, 20 April 2010

Menghadapi Pahit

Tadi malam adalah untuk pertama kalinya kami membicarakan kembali tentang apa yang telah terjadi. Liburan singkat setelah peristiwa naas itu memberikan kesempatan bagi setiap dari kami untuk berkotemplasi dengan diri sendiri. Dan mengambil sikap.


Ada hal-hal yang sudah sepenuhnya berubah, takkan pernah bisa sama lagi.


Membicarakannya kembali dengan lebih tenang, saya merasakan udara yang lebih segar. Namun juga rasa pahit yang menyegrak tiba-tiba.


Kami semua, tidak bicara secara langsung. Tapi banyak yang terungkap tanpa kata. Mengenai hari-hari yang akan datang.


Pahit itu, adalah bahwa tahun depan, mungkin akan banyak perubahan. Pada struktur. Dan nama yang akan terganti. Bukan disisih, namun tidak ada lagi.


Dan saya mungkin akan kehilangan seorang sahabat. Bukan kami akan terputus hubungan, tapi karena sosoknya tidak akan berada di sekitar saya lagi.



Senin, 19 April 2010

CINTA

Saya kira, kisah nyata ini akan saya mulai dengan pada suatu hari, saat saya sedang asik menonton TV. Seorang perempuan datang dan langsung masuk ke dalam rumah. Duduk di ruang keluarga. Dia kurus tapi tulangnya kuat, tubuhnya hitam rambutnya pendek agak acak-acakkan. Usia perempuan ini hampir sama dengan usia ibu, atau sedikit lebih tua. Matanya celong ke dalam. Sesuatu di matanya menceritakan kepada saya bahwa dia lapar.

Dia menanyakan ibu saya. Tidak ada, kata saya. Ibu saya sedang berada di Bandung, mengurus perjanjian sewa tanah.

‘Kapan pulang?’

Mungkin besok. Dia menunduk lesu. Saya meminta dia makan. Dia ingin makan, tapi ragu.

‘Punya uang tidak? Saya boleh pinjam? 10 ribu. Buat beli makan.’

Sebenarnya saya dilarang oleh ibu untuk memberinya uang, tapi siapa yang tidak kasihan? Ibu saya pun yang menyuruh saya untuk tidak memberi dia uang, tetap memberi uang akhirnya. Dia pergi dengan senyum riang. Dia lapar, tapi tidak mau makan sebab kalau dia makan, nanti tidak ada alasan untuk pinjam uang. Dia akan pergi ke warteg setempat, membeli nasi dan lauk, tapi bukan untuknya. Mungkin malam ini dia akan tidur dengan tetap menahan lapar.

Nasi bungkus itu untuk makan suaminya.

Saya ingat sejak kecil dulu, perempuan itu sudah ada di sekitar kami. Dia adalah sahabat ibu saya.

Lalu perempuan itu jatuh cinta kepada seorang supir taksi, tetangganya sendiri. Supir taksi itu sudah memiliki dua istri dan 3 orang anak. Demi sang supir taksi, perempuan itu rela meninggalkan seluruh harta bendanya dan bahkan anaknya. Ditinggalkan begitu saja. Suaminya sendiri saat itu telah meninggal dunia.

Kemudian, saya sering melihatnya datang ke rumah kami. Dia selalu kehabisan nafas terengah-engah meminta minum yang sangat banyak, lalu makan seperti orang yang sangat kelaparan dan sudah lama sekali tidak makan. Dia tinggal cukup jauh dari rumah kami, dua kali naik angkot seharusnya. Satu kali jika naik kopaja. Dan dia menempuhnya dengan jalan kaki.

Gak capek?

‘Ya.. Capek. Habis, gak punya ongkos.’

Saya sering memperhatikan, badannya dan mukanya yang hitam berwarna aneh. Biru-biru di beberapa tempat.

Kenapa, itu?

‘Oh, ini, jatoh tadi. Di deket kali itu. Licin itu di situ, hati-hati.’

Saya nyengir. Kami akan membiarkannya beristirahat sampai hari mulai gelap, dia pamit pulang. Kami akan memberinya ongkos, tapi berani bertaruh, dia tidak akan naik angkot kembali ke tempat tinggalnya yang sekarang.

Dia dipukulin sama suaminya?

‘Sama suaminya juga, sama istri keempat suaminya juga.’ Kata ibu.

Istri keempat?

‘Iya, suaminya udah kawin lagi.’

Yang pertama itu kan yang punya anak itu, yang kedua..yang kedua yang mana sih, bu?

‘Gak tau. Lah, mana ibu tau?’

Yang ketiga, dia.

‘Yang keempat kalau gak salah, kerja di swalayan gitu deh. Ituloh, kayak yang suka di Ramayana itu..’

Istrinya empat?

‘Nah, dia, suaminya, sama istri yang keempat itu tinggal satu kontrakan. Kontrakannya juga Cuma satu kamar.’

Masa sih?

‘Kalau suaminya pulang kesel, dia pukulin istri-istrinya, nanti istri keempat itu mukulin dia. Sebab istri keempat itu kerja, kan dia gak. Dianggap numpang hidup. Yah, kalau menurut ibu sih, dia itu sebenernya diperlakukan lebih parah dari pembantu.’

Tercenung. Tentu, bagaimana ceritanya kawan baiknya ini bisa jatuh sampai sebegitu dalam?

Berbulan-bulan setelah itu, dia datang dengan membawa gembolan besar. Kali ini, tubuhnya tidak dihiasi biru-biru, tapi luka-luka berdarah. Dia bilang kepada ibu, bahwa dia ingin cari kontrakan di sekitar sini saja. Dia mau kerja apa saja. Tapi tidak kembali ke tempat itu.

‘Sakit hati saya..’

Dia menangis tersedu-sedu. Ibu bilang, memang seharusnya kamu sakit. Kemana saja kamu.

‘Iya, sakit. Saya mau tinggal di sini saja. Nanti si Mas yang datang ke sini beberapa hari sekali.’

Ibu saya melongo. Menatapnya…

Perempuan itu tinggal tak jauh dari kami sekarang, mulai bekerja sebagai buruh cuci dan gosok, atau apa sajalah. Masih sama seperti yang lalu, sering datang dengan gontai dan lapar. Khususnya jika suaminya baru saja datang. Uang makannya untuk hari yang selanjutnya, selalu diberikan kepada suaminya si sopir taksi. Untuk ongkos beli bensin. Kadang, seperti biasa, wajah dan tubuhnya lebam-lebam.

‘Kenapa lagi sih, Ti..?’ Ibu sudah begitu lelahnya.

‘Kan, mana saya tahu ya? Si Mas pengen makan udang. Sambel goreng udang pakai pete. Yah, mana saya tau. Rasanya keasinan. Dia gak suka asin.’

Ibu memalingkan mukanya, dia bahkan tidak tahu lagi mau menangis atau marah.

Kejadian seperti itu sering, dan berulang-ulang. Beberapa kali, saat dia sedang ada di rumah kami, si supir taksi datang dan membentak-bentak. Menyuruh istrinya pulang.

‘PEREMPUAN MACAM MANA KAMU! LAKINYA PULANG MALAH ASIK NGRUMPI!’

LAKI MACAM MANA YANG MINTA DI KASIH MAKAN SAMA PEREMPUAN?

Dia berbalik, mengepalkan tangannya.

Supir taksi melihat ibu saya, lalu mengacungkan jari.

‘HEH, BU HAJI!!’ Katanya. ‘AJARIN TUH ANAKNYA NGOMONG YANG SOPAN SAMA TAMU!’

‘Kalau tamu itu, ucap salam ketuk pintu bicara yang santun. Bukan berdiri di depan pagar tereak-tereak seperti itu, kan?’

Dia pergi menyeret istrinya. Ibu melotot kepada saya.

‘Nanti, kalau dia dipukulin, gimana?’

Beberapa minggu kemudian, kejadian yang sama terulang lagi. Perempuan itu sedang membantu kami yang mengadakan hajatan. Memasak di dapur. Suaminya datang, berteriak-teriak. Ibu saya keluar rumah.

‘Dia lagi bantu saya. Dibayar. Pake uang.’

Dia pergi bersungut-sungut. Katanya sudah lapar. Perempuan itu pergi dengan dibekali nasi dan lauk-pauk serta upah kerjanya. Saat itu, sekitar pukul 10 pagi. Saat maghrib berakhir, kampung kami yang tenang tau-tau ramai. Polisi dimana-mana. Anak-anak kegirangan mengerubungi garis kuning polisi yang melintang, seperti di film. Hanya ini kejadian nyata.

Orang-orang bicara.

Pemilik kontrakan mulai curiga saat mendengar suara orang merintih-rintih dari dalam salah satu kontrakannya, tapi dia tunggu sampai ba’da maghrib. Masih tidak ada tanda pintu mau dibuka, si pemilik kontrakan mendobrak pintu. Perempuan itu di lantai, terkapar, telanjang, bersimbah darah, merintih-rintih.

Suaminya sudah pergi dari ba’da ashar tadi, mengunci istrinya di kamar dengan bibir yang sobek besar. Bibir di mukanya, juga bibir vaginanya. Beberapa tulang rusuk retak. Entah apa lagi yang jelas kata orang-orang, dia hampir mati.

Polisi dan ambulan, juga beberapa kru TV. Katanya sih, kejadian ini sempat masuk buser SCTV.

Keluarga perempuan itu menarik tuntutan. Mereka hanya ingin membawanya pulang. Mengembalikannya ke pelukan ibunya di desa.

Saya kira, kisah ini berakhir sampai disini.

Hidup, jalan terus. Saya lulus kuliah dan bekerja. Beberapa saat kemudian, pindah ke pinggir Jakarta berbatasan dengan kabupaten Bogor. Suatu saat, ibu menelpon. Menyuruh saya untuk tidak memberikan alamat saya kepada perempuan itu atau memberi apapun khususnya uang.

Rumah keluarganya berada di Bogor.

‘Gini, ya Al,’ ibu saya. ‘keluarganya itu sengaja, gak ngasih dia uang sepeserpun. Nanti dia balik lagi ke Jakarta. Maunya balik lagi terus. Ngumpet-ngumpet telpon suaminya. Dia minta-minta uang ke sana ke mari pengen balik ke Jakarta. Dia itu, dari tengah kota aja bisa jalan kaki sampai ke rumah, ingat gak? Jangan-jangan, dia jalan kaki sampai ke mess kamu buat pinjem duit.’

Ya, tentu. Tapi bagaimana nanti kalau tiba-tiba dia ada di depan pintu saya? Apakah saya akan menyuruhnya pulang tanpa sepeser uang? Bagaimana? Saya berani bertaruh, tidak akan tega. Ibu saya pun begitu.

Siapa yang tega? Anak satu-satunya perempuan itu juga tidak tega melihat ibunya duduk melongo di rumah nenek tidak melakukan apa-apa. Sang anak, yang saat itu masih SMU, memberikan sebagian uang sakunya. Dua ribu tiga ribu buat ibunya. Buat sekedar beli bakso, pikir anaknya. Atau es cendol. Siapa sangka, uang dua ribu tiga ribu ini dikumpulkan perempuan itu dengan hati-hati dan cermat. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.

Dia kembali ke Jakarta, tiba di rumah kami. Menyapa ibu yang sedang duduk serius mempelajari perjanjian-perjanjian dan surat-surat tanah.

Dia tersenyum, ibu melongo.

Itu hampir tiga tahun yang lalu.

Saat ini, dia kembali ke kontrakan yang dulu. Tetap sama. Suaminya datang dan pergi, dia semakin kurus. Ada hari-hari dia berjalan gontai dengan lebam-lebam yang sudah mulai menghitam. Kadang-kadang, pinjam uang untuk makan. Biasanya, itu kalau suaminya datang. Dia selalu tidak punya sepeserpun uang. Suaminya mengambil, bahkan sampai seratus-ratus rupiah.

‘Ti, kenapa…?’

Ibu duduk di depannya, menatap dalam ke matanya. Dia melelehkan air mata. Ada lebam baru di pelipisnya.

‘Ti.. Kenapa..?’ suara ibu semakin lirih.

‘Habis, gimana lagi ya Ta. Aku, udah cinta..’

Saya menatap wajah ibu yang menatap wajah kawan baiknya. Ada pandangan sayang, marah, terkejut dan tidak percaya. Tapi yang terbesar adalah bingung. Saya menatap wajah ibu beberapa saat. Saya berani bertaruh, wajah saya sama dengan wajah ibu.

Kenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapa??????????????????

Minggu, 18 April 2010

Detektif Detektif

Ini adalah daftar 7 detektif paling keren dalam buku. Menurut versi saya, loh, ya.. Gak berdasarkan penelitian apapun. Cuma iseng aja

Kalo diurut-urut, detektif pertama dalam cerita ternyata ada di kesusastraan arab, yaitu Ja’far ibn Yahya dalam kisah Seribu Satu Malam. Dikisahkan disana bahwa seorang nelayan menemukan locker berat terkunci yang ia jual ke the one and only Khalifah Harun al Rasyid. Begitu dibuka, jreng-jreng!!!! Isinya mayat seorang perempuan dalam keadaan yang mengenaskan. Tubuhnya terpotong-potong. Sang khalifah kemudian menyuruh penasihatnya, Ja’far ibn Yahya, untuk memecahkan kasus tersebut.

Kisah Seribu Satu Malam sendiri adalah kisah berbingkai-bingkai-bingkai yang ribet sekali dan kudu kosentrasi membacanya. Belum pernah saya menemukan sebuah kisah yang terdapat banyak sekali tokoh dan banyak sekali bingkai seperti itu. Sebenernya, sudah banyak lupa sih sebab baca kisah ini waktu SMP dulu dan ogah baca lagi walaupun pengen, heheheh.. Pokoknya intinya dikisahkan bahwa seorang Raja Persia, Syahyar, patah hati setelah istrinya berselingkuh dengan salah satu pelayan istana. Saking terpukulnya membuat dia percaya bahwa semua perempuan itu adalah penghianat. Syahyar tetap menikah lagi, hanya untuk satu malam. Karena besok paginya, dia akan membunuh istrinya tersebut. Itu terjadi berulang-ulang sampai begitu banyak korban yang berjatuhan.

Hal ini membuat khawatir sang penasihat raja, Dunyazad. Dia bertekad untuk menyadarkan sang raja. Caranya?

Dengan menikahkan adik perempuannya, Syahrazad kepada raja yang ngaco itu. Jelas rencana gila-gilaan yang penuh resiko. Nah kisah pun berjalan saat Syahrazad, pada malam pertamanya, bercerita kepada sang raja. Cerita ini bersambung. Tentu sang raja gak bisa bunuh istrinya soalnya dia kan penasaran kelanjutan ceritanya. Maka ditundalah eksekusi itu. Besok malamnya, seperti kemarin, di tempat tidur, Syahrazad melanjutkan cerita yang bersambung juga. Dan besok malamnya dan seterusnya dan seterusnya sampai total seribu satu malam. Cerita berbingkai-bingkainya Syahrazad ini cukup banyak selain kasus pembunuhan perepuan tersebut, beberapa yang terkenal lain adalah Abu Nawas, Simbad, dan Aladin.

1. Sherlock Holmes (Sir Athur Conan Doyle)

The worst tenant in London...[he] keeps his cigars in the coal-scuttle, his tobacco in the toe end of a Persian slipper, and his unanswered correspondence transfixed by a jack-knife into the very centre of his wooden mantelpiece... He had a horror of destroying documents...Thus month after month his papers accumulated, until every corner of the room was stacked with bundles of manuscript which were on no account to be burned, and which could not be put away save by their owner.

Dr. John Watson

Sherlock Holmes adalah tokoh fiksi yang berada pada akhir abad 18 karangan Sir Athur Conan Doyle, seorang penulis yang juga adalah ahli fisika berkebangsaan Inggris. Holmes sangat terkenal karena kepintarannya dan metode penyelidikan berdasarkan observasi dan logika deduktif yang pada masa itu, belum banyak dikenal.

Arthur Conan Doyle sepanjang hidupnya menulis empat buah novel dan limapuluh enam cerita pendek yang menokohkan Sherlock Holmes di dalamnya. Hampir semua dinarasikan oleh Dr. John H. Watson, sahabat karib yang tinggal bersama Holmes. Hubungan lain adalah tokoh Mycroft Holmes, saudara kandung yang bekerja di pemerintahan. Mycroft ini memiliki posisi yang sangat unik di pemerintahan Inggris yaitu seakan dia dan departemen yang dipimpinnya adalah sebuah database yang menyimpan seluruh informasi mengenai apa saja yang telah dan sedang dilakukan oleh Kerajaan.

Holmes adalah seorang laki-laki kaya yang eksentrik dan anti sosial. Selain kegemarannya yang paling terkenal adalah mengisap pipa, dia juga seorang pengguna narkoba. Heroine, opium, dan morphin yang ketiga-tiganya saat itu masih legal di London. Tidak pernah menikah, namun berkali-kali terlibat hubungan—seakan—spesial dengan perempuan. Diakuinya pada Watson bahwa dirinya sendiri tidak mencintai, namun kalaupun dia mendekati perempuan, itu berarti ada maksud apakah mengejar atau mencari informasi mengenai sesuatu. Namun, di sisi lain, ada seorang Irene Adler yang muncul berkali-kali dalam kisah Holmes yang nampaknya menjad satu-satunya perempuan yang, paling tidak, berhasil membuat Holmes terkesan.

2. Hercule Poirot (Agatha Christie)


He was hardly more than five feet four inches but carried himself with great dignity. His head was exactly the shape of an egg, and he always perched it a little on one side. His moustache was very stiff and military. Even if everything on his face was covered, the tips of moustache and the pink-tipped nose would be visible.

The neatness of his attire was almost incredible; I believe a speck of dust would have caused him more pain than a bullet wound. Yet this quaint dandified little man who, I was sorry to see, now limped badly, had been in his time one of the most celebrated members of the Belgian police.

Arthur Hastings.

Hercule Poirot adalah mantan polisi berkebangsaan Belgia yang menjadi pengungsi di Inggris pada masa perang dunia I, bekerja sebagai deteektif swasta, dan kemudian bermukim di sana selamanya. Sama seperti Holmes, dia pun digambarkan sebagai seorang yang eksentrik yang hidup sendiri tanpa pernah menikah. Dan tidak pernah juga dikisahkan tertarik dengan perempuan, apalagi menjalin hubungan cinta. Satu-satunya perempuan yang nampaknya cukup dekat dengan Poirot adalah Adrianne Oliver, seorang penulis novel detektif yang nyaris sama eksentriknya dengan Poirot.

Berkebalikan dengan Holmes yang hidup secara bohemian, Poirot justru adalah seorang laki-laki yang senang kemewahan dan keteraturan. Beuh!! Ada debu atau melihat dasi orang lain miring dikit aja dia akan gelisah geregetan yang kepengennya segera membetulkan. Segala-galanya adalah keteraturan yang kalau bisa simetris. Seorang pesolek sejati yang bahkan di tengah padang pasir pun nekat bertahan dengan stelan resmi jas putih. Sering disangka sebagai seorang penata rambut dibandingkan detektif yang kenyataan ini sering membuat Poirot tersinggung berat. Oh, ya.. secara fisik, seperti yang digambarkan oleh Kapten Arthur Hastings, sahabatnya, Poirot bertumbuh pendek, kecil, memiliki bentuk kepala bulat telur dan kumis yang, menurutnya, indah. Jangan main-main dengan kumis ini sebab Poirot sangat bangga sekali dengan—menurutnyaaaa…..!!!—keindahan dan kerapihannya yang tak tertandingi oleh siapapun.

Tidak seperti Holmes yang sibuk nyari sidik jari dan ngukur jejak kaki, Poirot menggunakan sisi-sisi psikologis untuk menemukan apa yang sebetulnya terjadi. Intinya, bagaimana membuat orang bicara. Maka dia akan berkeliaran ke sana ke mari, seringnya tidak memperdulikan jejak-jejak yang tertinggal, lalu ngobrol panjang lebar dengan setiap orang yang berada di sekitar perstiwa. Dari obrolan-obrolan inilah Poirot dapat melihat watak yang pada akhirnya akan membuat semacam profil dari kasus tersebut.

Kasus pertama yang ditangani oleh Poirot adalah The Misterious Affair at Styles dimana Hercule Poirot sebagai pengungsi perang dan bertemu dengan Kapten Hastings, sahabatnya sampai akhir hayat. Kasus terakhir Poirot yang membawanya pada kematian adalah Curtain, yang uniknya, kembali bertempat di lokasi yang sama saat pertama kali mengawali karirnya yaitu puri Styles. Dalam Curtain, sejak awalnya Poirot sudah tahu bahwa ini akan menjadi kasus terakhir sebab dia sudah menyatakan bahwa di tempat ini dia dan Hastings memulainya, di tempat ini juga akan menjadi akhir dari petualangan mereka, hiks…

3. Mr. dan Mrs. Beresford (Agatha Christie)


Tommy Beresford dan Tuppence Cowley adalah sahabat seumur hidup. Dari kecil, sampai tua. Saat pertama kali muncul dalam The Secret Advesary, Tommy digambarkan sebagai anak muda yang biasa-biasa aja, namun menyenangkan. Tenang tidak macam-macam. Sementara Tuppence adalah anak perempuan rada preman susah diatur yang punya cita-cita kawin sama orang kaya. Sama-sama cerdas dan pengangguran (yang pastinya iseng heheh), mereka punya ide untuk mendirikan perusahaan bersama yang intinya adalah, mereka bersedia melakukan apapun, ke manapun, tanpa banyak pertanyaan. Paling tidak, seperti itulah bunyi iklannya di koran. Nah, iklan ini kemudian menyeret mereka terlibat ke dalam kasus internal intelejen inggris.

Setelah segala kehebohan selesai, Tommy dan Tuppence kemudian menikah, membesarkan 3 anak, hidup tenang sampai tua bersama. Hepi-efer-apter. Yah, itu yang terlihat dari luar. Tommy sesungguhnya adalah seorang agen pemerintah Inggris yang sepanjang masa hidupnya, diselingi dengan petualangan saat harus mengungkap jati diri mata-mata yang mempenetrasi kerajaan inggris diam-diam. Walaupun diatas kertas Tommy bekerja sendiri, namun pada kenyataannya, dia sering bekerjasama dengan Tuppence.

Tidak seperti kisah detektif klasik yang lain, Tommy dan Tuppence adalah benar-benar partner. Bukan satu orang sementara yang satu hanya sidekick pelengkap gak ngapa-ngapain kecuali bikin kesimpulan yang salah. Hal yang unik, dan membuat saya jatuh cinta pada mereka berdua, adalah mereka sesungguhnya dua detektif yang mandiri. Tidak selalu sejalan, yang seringnya malah berbeda pendapat. Dalam banyak kasus, mereka melihat hal-hal yang berbeda dan berjalan ke arah yang berbeda, namun selalu dapat memecahkannya. Terkadang dua arah ini sampai pada satu muara kesimpulan yang sama, terkadang tidak. Tommy tidak selalu benar, begitu juga Tuppence.

Tuppence setia pada penggambaran awalnya yang selalu lebih aktif. Bahkan sampai tuanya dia masih jejingkrakan. Yah, gak gitu juga sih maafkan daya khayal saya ini. Tapi di suatu kisah Tuppence tua dengan berani melompati lubang di loteng. Bukan melangkahi, tapi melompati. Kalu udah nenek-nenek gitu gimana mudanya kan! Pokoknya dia mah aksi duluan yang kadang-kadang udah bergerak tanpa ngasih tau Tommy, lalu ketangkep mata-mata musuh dan disandera. Hallah! Jadilah Tommy, yang selalu penuh perhitungan dan memikirkan panjang-panjang segala sesuatu, musti menyelamatkannya. Di sisi lain, Tuppence yang grasak-grusuk sehingga sering terlihat lebih pinter (hanya karena Tommy selalu menyimpan semuanya di kepala sampai benar-benar yakin), selalu bisa diandalkan saat harus membuat keputusan kilat yang mendesak. Nungguin Tommy mah kelamaan.

Nampaknya mereka berdua tidak memiliki metode khusus dalam penyelidikannya. Pernah juga dalam kisah Partner in Crimes, mereka melakukan semacam ujicoba meniru-niru gaya berbagai detective fiksi yang terkenal. Beberapa niat banget sampai Tommy yang sedang meniru Sherlock Holmes, segala mengeluarkan biola dan memainkannya di depan klien yang segera sesudah sang klient pergi, Tuppence merampas si biola lalu menguncinya di lemari sambil mengancam Tommy kalau dia berani menyentuh biola itu lagi. Saking ancurnya permainan Tommy. Dia juga mencoba melakukan deduksi, tapi semuanya salah.

Saya meletakkan mereka dalam satu nomor bukan berarti nilainya setengah, tapi memang mereka berdua kayaknya emang musti partner dan gak bisa terpisah.

4. Master Keaton (Naoki Urusawa)

Taichi Hiraga Keaton adalah seorang detektif swasta, seorang dosen, arkeolog, dan seorang pensiunan pasukan elit kerajaan Inggris. Ayahnya Taihei Hiraga adalah seorang zooligis asal jepang yang menikah dengan seorang perempuan Inggris bernama Patricia Keaton.

Saya kira, yang membuat saya senang kisah Master Keaton adalah alasan sejarah dan arkeologi yang selalu terseret-seret masuk ke dalam kasus. Selain latar belakang pendidikan, dan juga profesi lainnya sebagai dosen sejarah, memang Keaton bekerja sebagai penyelidik di perusahaan asuransi yang tentu, kadang berkutat mengenai keaslian barang-barang seni dan purbakala. Tapi sayang sekali, komik Master Keaton ini berhenti di tengah jalan tanpa dilanjutkan lagi penerbitannya di Indonesia, hiks… Mari kita salahkan Gramedia untuk ini!

5. Jane Marple (Agatha Christie)


Sebenernya ni orang bukan detektif, tapi seorang perawan tua yang hobi ikut campur urusan orang. Cerdas itu jelas, dan hobi merajut. Muncul di 11 buku Agatha Christie ketika kasus-kasus terjadi di sekitarnya. Berbeda dengan tokoh Agataha Christie yang lain, dan khususnya pasangan Beresford yang terus berkembang sejalan waktu, Miss Marple nampaknya tetap di tempatnya. Dalam The Murder at the Vicarage tahun 1930, ni orang udah jadi perawan tua, pun dalam Nemesis dan Sleeping Murder yang terbit pada tahun 70-an. Teteup tua. Ya, iyaaa.. Masa jadi muda? Yah, maksudnya sih, kok kayaknya tuanya sama aja.

Cirinya buku yang bertokoh Miss Marple itu biasanya tebel, sebab perempuan ini senang bicara. Senang sekali berbicara. Kadang berlembar-lembar ocehannya. Tapi saya senang. Biasanya bahan ocehan nyinyirnya itu benar-benar menyiratkannya sebagai orang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan—menakjubkan saat tahun 30an yang nulis kan masih muda yaa? Dan pengalaman hidupnya inilah yang akan menjadi dasar memecahkan kasus.

Jangan macem-macem lo sama nenek-nenek!!!

6. Dr. Kenzo Tenma (Naoki Urusawa)

And I saw a beast rise up out of the sea, having seven heads and ten horns, and upon his horns ten crowns, and upon his heads, the names of blasphemy. And they worshipped the dragon which gave power unto the beast: and they worshipped the beast, saying, "Who is like unto the beast? Who is able to make war with him?"

Sebenernya seorang dokter bedah yang terpaksa jadi detektif yang berbeda dari detektif lain, keinginannya hanya satu, yaitu membunuh Johan Liebert, seorang monster yang dia selamatkan.

Cerita dimulai pada suatu malam ketika Kenzo Tenma, seorang dokter muda asal Jepang yang bekerja di Jerman, melawan perintah atasannya untuk manangani seorang politisi dan lebih memilih menyelamatkan hidup Johan Liebert, seorang bocah berusia 10 tahun yang tertembak kepalanya demi alasan kemanusiaan. Johan selamat, sang politisi tewas. Hal ini membuat sang boss besar marah dan menyalah-nyalahkan Tenma. Kenzo Tenma yang sebelumnya sudah terusik hatinya atas orang-orang tidak mampu yang sering ditepikan oleh RS tanpa perasaan, merasa kelelahan. Tanpa sadar dia curhat panjang lebar kepada Johan yang sedang terbaring koma. Beberapa hari kemudian, sang bos ditemukan tewas dan Johan menghilang. Sembilan tahun kemudian, terjadi pembunuhan berantai. Sang pembunuh menampakan dirinya di depan Tenma yang tiada lain adalah Johan. Johan mengakui bahwa dialah yang membunuh direktur rumah sakit 9 tahun yang lalu untuk membantu Tenma, dan ia masih terus membunuh sampai hari itu. Tenma yang merasa bersalah, mencari-cari Johan hanya untuk menemukan bahwa Johan adalah monster. Pengelanaan Tenma selanjutnya melacak keberadaan dan mengurai latar belakang kejiwaan Johan yang lebih dalam kepada eksperimen gila pemerintah Jerman Timur pada masa perang dunia II.

7. Mr. Parker Pyne (Agatha Christie)


Ini juga detektif yang unik. Hanya muncul dalam sepuluh kisah yang terangkum dalam tiga buku dari hampir 100 buku yang ditulis oleh Agatha Christie, tapi kemunculannya memberi kesan. Dia menjalankan suatu bisnis yang bernama Perusahaan Kebahagiaan. Anda tidak bahagia? Datanglah kepada kami. Begitu bunyi iklannya. Tapi jangan salah, Parker Pyne bukanlah seorang cenayang. Dia hanya detektif yang unik yang tidak seperti seumumnya detektif swasta yang menyelidiki lalu memberikan laporan apa adanya kepada klien, Parker Pyne lebih memikirkan kebahagiaan klien. Sebenernya lebih mirip konsultan tapi lebih ekstim karena dia tidak segan bertindak, untuk…… kebahagiaan kliennya.

rindu setengah mati

aku rindu setengah mati kepadamu
sungguh ku ingin kau tahu

Sabtu, 17 April 2010

Masjid Kecil

Little Mosque on the Prairie berkisah mengenai kehidupan komunitas muslim di sebuah kota kecil di Kanada. Berpusat pada sebuah masjid yang bernama Mercy, dipimpin oleh Imam Amaar Rasyid. Uniknya, masjid Mercy ini ternyata berada di dalam aula yang merupakan properti dari gereja anglikan setempat.

Adalah Yassir Hamoudi, seorang kontraktor yang di daulat oleh komunitas muslim untuk mencari sebuah tempat yang dapat disewa sebagai masjid. Sudah capek pindah-pindah dari satu ruang bawah tanah ke garasi yang lain soalnya. Masalahnya, mencari tempat untuk masjid itu susah. Gak mungkin kan sebuah masjid beradatepat diatas penyewaan film porno atau bar? Kalaupun dapat yang sempurna, selalu akhirnya ditolak karena toh mana ada yang mau menyewakan tempat untuk sebuah masjid? Nah, satu-satunya yang bersedia memberi tempat adalah Rev. Duncan Magee, seorang pendeta Anglikan yang gerejanya sudah bangkrut kehabisan jema’at.

Ini adalah serial komedi itu berarti lucu. Humor terjadi selalu mengenai salah paham antara komunitas muslim dan masyarakat umum yang masih ngeri dengan umat islam setelah semua kejadian teroris itu, juga persenggolan intra komunitas juga yang ternyata beragam.

Baber Asyidiqi adalah seorang dosen ekonomi yang adalah anggota komunitas yang paling konservatif. Dia selalu berpakaian seperti orang Pakistan. Di salah satu episode, saat helloween, Baber menjadi idola ditakuti anak-anak karena berpakaian paling keren sebagai ‘orang taliban’. Padahal sebenarnya dia cuma berjalan ke sana kemari berpakaian selayaknya dia biasa. Sementara belum menemukan imam, Baberlah yang menjadi imam. Namun nampaknya kurang diterima. Kebanyakan sih, karena terlalu kaku pandangannya walaupun hanya keluar dari mulut saja. Tapi itu pun sering bikin kesel. Misalnya, ada suatu kisah saat Imam Amaar akhirnya bisa mengumpulkan remaja muslim untuk ikut ’Halaqa Teen’, sebuah program pengenalan islam yang dirancang fun. Saat baru saja dimulai, Baber tau-tau nongol dan ngomel kenapa anak laki-laki dan perempuan duduk berdampingan. Terpisah, tapi berdampingan tanpa hijab. Menurutnya, daripada gitu, mending pulang saja. Udah saja anak-anak jadi bersorak ’Horeee!!’ dan pergi meninggalkan Imam Amaar melongo sendirian.

Bersama dengan Baber Asyidiqi, ada pula Fatima Dinssa yang merepresentasikan pandangan islam yang konservatif. Walaupun mereka berdua tidak selalu seiya sekata, tapi kebanyakan, bisa saling mengerti satu sama lain. Fatima adalah seorang janda pemilik kafe tempat para tokoh di kisah ini sering mampir. Seorang imigran dari Nigeria yang akhirnya beralih kewarganegaraan juga menjadi Kanada, dan nampaknya selama di Afrika sana dulu, Fatima adalah semacam ahli pengobatan tradisional. Dia masih sangat bangga dengan hal itu menawar-nawarkan ramuan kepada pelanggannya. Masalah pengobatan inilah yang membuat Fatima sering bertengkar dengan Rayyan, merepresentasikan islam moderat, yang juga adalah, sahabat baiknya.

Dr. Rayyan Hamoudi mungkin adalah anggota komunitas yang berada di sisi sebrang paling ekstreem dari Baber. Perempuan yang cantik ini adalah seorang dokter dan juga feminis. Tajam dan cerdas. Tidak takut untuk bersitegang dengan siapapun termasuk sang imam. Sisi lain dari perempuan muda berusia 25 tahun ini adalah, dia seorang muslim yang taat. Tertutup jilbab--yang tentu selalu bikin orang tanya-tanya kenapa ada feminis pakai jilbab?—dan menjalankan ibadah dengan serius. Bahkan kadang, ketaatannya dalam beribadah dan menjalankan hukum islam membuat orang tuanya jadi kerepotan sendiri.

Dr. Rayyan ini, bagi Zarqa Nawaz, sang kreator serial ini, adalah semacam role model anak muda Islam masa kini: intelek, progresif, independen, dan taat beribadah.

Bersama dengan dr. Rayyan, adalah sang imam sendiri, Amaar Rasyid. Sang tokoh utama di mana kisah berputar di sekitarnya. Seorang anak muda yang sesungguhnya adalah pengacara, anak orang kaya, yang mendadak mendapat panggilan hati untuk pergi ke Mesir mempelajari agama lebih dalam dan meninggalkan seluruh kemewahan untuk memulai hidup sebagai imam di masjid kecil di sebuah kota kecil. Dalam banyak hal, Imam Amaar sebenernya sependapat dengan dr. Rayyan, namun posisinya sebagai imam mengharuskan dia menjadi penengah dan dapat membuat keputusan yang merepresentasikan seluruh anggota komunitas. Rayyan nampaknya susah mengerti dan membuatnya sering bersitegang dengan Amaar. Tapi tidak bisa dipungkiri, nampaknya mereka berdua menikmati saling bersitegang terus.

Di sisi lain, Amaar adalah orang yang terbuka dan selalu mau menerima nasihat dari siapapun termasuk rekannya sesama pemimpin spiritual, Rev. Magee yang selanjutnya menjadi kawan baiknya. Imam Amaar dan pendeta Magee dalam banyak episode terlihat saling memberi nasihat satu sama lain, dorongan, maupun, kadang, berbagi curhat. Malah pernah saat masjid dimasuki rampok, Imam Amaar yang ketakutan tidur sendiri akhirnya menginap di tempat Pendeta Magee. Salah satu episode fave saya adalah pada suatu ketika Imam Amaar kesal karena tidak pernah mendapatkan waktu tenang untuknya pribadi berkotemplasi. Setiap orang dengan seenaknya datang dan menggrecokinya kapan saja dan setiap saat bertanya lalu minta nasihat segala masalah dalam hidup. Termasuk bahkan saat ia menggantung tanda jangan diganggu di pintu. Kesal, akhirnya Imam Amaar curhat pada Pendeta Magee yang dijawab:

’Tau, gak? Itu yang membuat saya mengagumi muslim. Kalian ini, tidak meniggalkan agama saat meninggalkan masjid. Seluruh hidup seorang muslim adalah spiritual.’

Itu membuat Imam Amaar sadar, bahwa menjadi imam, seharusnya keluar menyelesaikan masalah di tengah-tengah masyarakat dan bukan mengurung diri terus beribadah sendirian di balik pintu yang terkunci rapat.

Sebenarnya keputusan-keputusan Imam Amaar ini kadang benar-benar bikin saya mendelik heran. Salah satunya adalah saat Imam memutuskan untuk menggunakan uang sebanyak 5 ribu dolar hasil menang lotre salah satu anggota komunitas muslim, Sarah Hamoudi, sebagai dana pendukung Islama Poluza, sebuah program pengenalan Islam kepada anak-anak. Mendadak saya jadi teringat salah satu episode Para Pencari Tuhan yang mengenai ruwetnya ngutek-ngutek uang panas 50 ribu. Kayaknya sampai repot bener! Jadi ngebayangin Dedy Mizwar tiba-tiba nongol di Masjid Mercy dan menggampar Imam Amaar heheh.. Uang haram kok dipakai buat dana program masjid? Tapi, yah, mungkin pertimbangannya adalah Sarah Hamoudi adalah seorang mualaf yang, maaf, sama sekali gak pinter. Masuk Islam hanya karena ingin menikah dengan laki-laki muslim. Jadi dia susah mengerti apa bedanya judi dengan lotre, atau terus bingung dengan bulan dan waktu shalat. Mungkin Imam Amaar hanya ingin membuatnya mudah bagi Sarah.

Salah satu keputusan yang ’lucu’ lain adalah saat Imam Amaar meminta anggota komunitas membantu gereja anglikan yang akan menghadapi inspeksi mendadak. Sebenernya, membantu gereja tidak masalah. Dan bukan itu masalahnya. Cuma ini membantunya dengan cara anggota komunitas berpura-pura jadi umat anglikan dan ikut beribadat di gereja. Menurut saya, analogi yang digunakan oleh Imam Amaar kurang tepat aja.

Saya kira, inilah yang menarik di serial ini, bahwa para tokohnya mewakili hampir semua pandangan dalam masyarakat. Baber dan Fatima yang konservatif bersanding dengan Imam Amaar dan dr. Rayyan yang moderat. Lalu ada juga Yasir dan Sarah Hamoudi, orangtua Rayyan, yang mungkin lebih disebut di kita sebagai islam KTP. Menghindari haram, tapi juga tidak menjalankan ibadah. Namun begitu, mereka berdua selalu menyuport apapun kegiatan masjid dengan tenaga dan juga pikiran.

Pandangan liberal diwakili oleh Pendeta Magee yang jelas keputusannya membiarkan masjid berdiri di dalam kompleks gereja sudah mengherankan. Belum lagi harapan terpendamnya yang ingin sekali menikahkan pasangan gay di gerejanya. Cuma masalahnya, gak ada pasangan gay yang tertarik menikah di gereja itu.

Kemudian ada juga Fred Tupper yang menderita islamaphobia. Selalu saja curiga mengenai apapun yang dilakukan komunitas islam. Namun, ini kisah abu-abu, di sisi lain, dia pun membantu anggota komunitas islam. Fatima misalnya, saat terjatuh, Fred ngotot ingin membantu bahkan sampai rela berdarah saat mukanya ditendang Fatima yang tidak mau disentuh laki-laki. Dan beberapa kali, gosip yang digaungkan Fred melalui radio hal yang mau tidak mau, harus diakui. Misalnya saat Fred mempertanyakan ledakan penggunaan air di sekitar masjid yang berakar dari kebiasaan boros menghambur-hambur air anggota komunitas islam Maercy. Besebrangan dengan Fred, ada juga sang walikota yang gak pernah mau perduli apapun, yang penting nanti dia terpilih lagi jadi walikota. Dan terakhir, tidak tertinggal juga seorang Layla Asyidiqi, anak perempuan Baber, mewakili remaja Islam masa kini yang selalu menghadapi krisis antara pergaulan dan keinginannya menjadi muslim yang taat.

Dari masalah beli karpet baru buat masjid sampai geregetannya memutuskan apakah boleh ikutan Halloween apa enggak, dari mulai pusing menentukan metode melihat bulan sebagai permulaan Ramadhan (ingat, menentukan metodenya aja udah ruwet) sampai bagaimana caranya menolak poligami. Bagi saya, setiap episode selalu menyenangkan.

Menunggu season 4 oktober mendatang.

Download Little Mosque season 1, 2, 3 disni.

Minggu, 11 April 2010

Kamis, 08 April 2010

hands

Poverty stole your golden shoes
It didn't steal your laughter
And heartache came to visit me
But I knew it wasn't ever after
We'll fight, not out of spite
For someone must stand up for what's right

sekolah di haiti

Rabu, 07 April 2010

nyam

Jumat, 02 April 2010

tiga jam untuk delapan bulan

tadinya, saat segalanya berakhir, saya merasakan kelegaan besar. Kami semua. Tapi saat melihat babeh memeluk U yang tercenung menyaksikan istrinya terkapar dengan meringis menahan perih di dadanya, saya mendadak sadar betapa banyak yang harus kita bayar untuk ini yang tidak jelas apakah telah selesai atau tidak.

Eni gak bicara sampai besok, dan pergi tanpa kata. Saya gak tau apa yang ada dipikirannya apakah menyesal atau hanya bingung. Yang saya tahu, dia nyaris tidak menutup matanya sepanjang malam hanya tergeletak begitu saja disebelah saya, lalu setelah tengah malam lewat, dia duduk lalu melangkah kaki ke amar mandi. Shalat tahajud, membaca qur'an. Suaranya yang jernih menidurkan saya yang terbangun menemukannya sudah pergi entah kemana. Hanya secarik kertas bahwa dia pergi, nanti kembali pada hari minggu, atau senin pagi.

Saya masih merasa lega... Dan apapun yang sudah terserak, gausah diingat lagi gak usah pernah diingat lagi. Mari kita anggap mimpi buruk yang sudah berakhir...saya harap. Gak usah dipungut lagi remah dan pecahan puingnya.

Kemudian, saya menangis. Sampai tiga jam. Dari hanya lelehan sampai rasanya histeria. Untung sndirian jadi gak malu. Saya menangis sambil berdiri, duduk, jongkok, telentang, tengkurep, lalu terduduk di pojok kamar sana. Wajah A terbayang, lalu saya menangis lagi... Lama. Sampai capek sampai saya sendiri merasa heran kenapa gak bisa berhenti nangis.

Saya menangis bukan untuk kejadian tadi malam, tapi untuk 8 bulan panjang ini. Bukan untuk anak-anak saya, atau rekan-rekan saya, tapi untuk diri saya sendiri. Saya menangisi diri sendiri. Rasanya malu juga.

Bayangan wajah seseorang menghentian tangis saya, sungguh tak terduga, D.

Mungkin sebaiknya saya tidak melupakan apa yang terjadi semalam saat cermin diri kita pecah berkeping-keping.

Setelah menangis yang lama itu yang nampaknya justru malah menghabiskan rasa lega yang sempat saya rasakan untuk sementara, saya pun menuju ke kamar mandi. Wudhu dan shalat. Ini jam 11 maka saya gak tau juga apakah shalat dhuha masih bisa diterima? Tapi saya hanya ingin mengadu kepadaMu Ya Allah. Saya hanya ingin meletakan kepala saya ini ke pangkuanMu..

Ya Allah, sesungguhnya aku hanya hambaMu, anak dari hambaMu, nasibku ada di tanganMu, telah lalu hukumMu atasku, adil ketetapanMu atasku, aku mohon kepadaMu dengan perantara semua nama milikMu yang Engkau namakan sendiri, atau Engkau turunkan dalam kitabMu, atau Engkau ajarkan seseorang dari hambaMu, atau Engkau rahsiakan dalam ilmu ghaib disisiMu. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai penawar hatiku, cahaya dalam dadaku, penghapus dukaku dan pengusir keluh kesahku.


Kamis, 01 April 2010

Perjodohan yang Gagal dan Kisah Cinta

Kemarin, cukup fenomenal. Sebab kita membicarakan apa yang paling jarang kita bicarakan yaitu laki. Bukan laki biasa tentu, tapi cerita cinta.

Ya, yaaaa, kita berdua adalah dua cewek kutubuku kutufilm kutugame yang, tentu saja, laki dan perasaan adalah opsi terakhir yang keluar ke pembicaraan. Ngomogin cinta-cintaan, plis deh! Kayak gak ada bahan lain yang lebih okey saja buat diceritakan, ya, gak?

Tentunya ada stimulus. Yang tiada lain tiada bukan adalah emaknya Eni!

Bayangin, kita bertiga tiduran diatas tempat tidur, ngobroool ketawa-ketiwi. Adegannya kayak ibu sama dua anak perempuannya aja yaa... Trus, entah bagaimana, si emaknya Eni tau-tau cerita tentang kisah-kisah cintanya Eni! Ternyata sejarahnya cukup panjang juga.

Saya baru tau kalo teman serumah ini bisa juga pacaran, huehehe… Kalo naksir dan jatuh cinta sih, semua juga ngerasain, ya, gak. Tapi pacaran, percayakah bahwa tidak semua orang berkesempatan melakukannya?

Maksud pacaran disini adalah hubungan yang sebelum menikah, yaa… Bukan pacaran sudah nikah itu.

Saya percaya. Sebab banyak sekali contohnya di sekitar saya.

Sebut saja Sari, salah satu sahabat saya. Jatuh cinta, iya. Pacaran, yah, bingung juga karena ada suatu kisah lucu saat dia bener-bener naksir dengan seorang kakak kelas, dan kita, sebagai cewek SMA yang selayaknya, jingkrak-jingkrak tiap kali si kakak itu nongol.

Kita, itu artinya lebih dari satu orang. Kita se-gank yang jingkrak-jingkrak. Termasuk saya tentunya dan maksudnya sih, buat nyemangatin temen saya itu.

Lalu pas si kakak keluar kota untuk kuliah di tempat lain, sobat saya ini mulai berani kirim-kirim, dulu sih, masih jaman surat. Sebentar. Lalu SMS. Telpon-telponan, daaan, jadian. Tanpa bertemu. Suatu hari, beberapa saat sebelum si laki itu mudik dan akhirnya mereka bertemu, sobat saya ini baru sadar bahwa ternyata si kakak laki ini salah orang.

Kok, bisa?

Entahlah!

Saya gak nanya lebih jauh saking terkejutnya dan saking herannya juga saking gak enaknya. Karena selama beberapa bulan mereka jadian itu, si kakak menyangka bahwa dia jadian sama….saya.

Nah, loh!

Bayangkan perasaan sahabat saya ini. Bayangkan perasaan saya.

Karena jadinya aneh dan gak enak, akhirnya kami, masing-masing mengambil keputusan untuk tidak membicarakannya sama sekali. Sahabat saya nampaknya sangat terpukul, lalu memilih untuk menutup dirinya dari laki-laki. Serius kuliah lulus S1 lanjut S2 kemudian bekerja sebagai peneliti. Gila banget, yaaa... Saya sempet percaya bahwa dia mungkin bener-bener menutup dirinya dari laki-laki sampai mendapat kabar bahwa dia akan menikah. Sama siapa? Dia juga gak gitu kenal calon suaminya ini.

Bisa gitu?

Bisalah! Si laki-laki ini ternyata adalah seorang rekan kerja yang tau-tau nongol main ke rumahnya minta ketemu ortunya sahabat saya, dan melamar saat itu juga. Pertimbangan dan shalat istihkarah, sahabat saya menerimanya. Dan mereka menikah, hidup tenang bersama keluarga kecil mereka sampai hari ini.

Lalu ada lagi sepupu saya, kita sebut saja Dina. Seorang gadis desa yang kuper. Yep, bahkan untuk ukuran seorang gadis desa, dia termasuk kuper. Berangkat sekolah, lalu pulang membantu ibu. Boro-boro pacaran, jatuh cinta juga kayaknya belum pernah. Yang saya tahu, tiap kali ketemu, dia masih seneng main lari-larian.

Suatu kali, sahabat ibu saya mengutarakan keinginannya untuk mencarikan jodoh buat adiknya yang kuper dan gak beranian sama cewek. Ibu saya bilang, ada sih keponakan. Baru aja lulus SMA. Coba aja ditemuin.

Ketemuan, masing-masing merasa cocok. Trus nikah. Sekarang pun hidup tenang dengan keluarga kecil mereka.

Sobat saya Kirsan, juga gak pernah pacaran seumur hidupnya. Ya tentu aja Kirsan ini akhwat dari kecil yang menjaga sekali pandangannya dan menurut keyakinannya, pacaran itu mendekati zina. Maka gak heran bukan, kalo dia gak pernah ngelirik laki-laki sama sekali.

Maksudnya tentu bukannya gak pernah ngeliat laki-laki. Saya tahu Anda paham maksud saya.

Suatu hari, beberapa tahun yang lalu, dia tau-tau digrecokin dengan SMS dari seseorang yang suka tanya aneh-aneh. Gak pernah dibales, tentu saja. Tapi lama-lama, gondok banget kayaknya tuh Kirsan. Dia lalu kirim SMS yang isinya, sediit banyak, kayak begini:

Maaf, ini siapa? Kalau tidak ada maksud apa-apa, tolong jangan ganggu saya.

Tau-tau, itu SMS dibales, yang sedikit banyak, isinya begini:

Maaf deh kalo saya mengganggu Mbak. Perlu dicatat aja ya Mbak, saya ini seorang ikhwan yang sedang mencari pendamping hidup. Saya tahu Mbak dari adik saya yang merupakan teman sekolah Mbak. Dan saya bermaksud baik untuk ta’aruf sama Mbak. Tapi kalau belum apa-apa Mbak sudah judes seperti ini, terimakasih! Saya sudah punya calon lain selain Mbak. Wassalamualaikum!

Kebayang dong, saya dan Kirsan ketawa ngakak sejadi-jadinya sampai ditegor keras oleh seorang bapak karyawan Mizan! Kami sedang belanja buku untuk perpustakaan sekolah saat itu.

Kisah itu terlupakan begitu saja sampai suatu kali, si Kirsan bilang kepada saya bahwa dia akan menikah. Seorang ikhwan datang melamar kepada orangtuanya di kampung sana. Kirsan lagsung aja tanya pedapat orangtuanya mengenai laki-laki yang datang itu dan ternyata jawabannya adalah anggukan semangat dari ayah dan bundanya. Maka Kirsan mengirim kabar ke kampung ke rumah orangtuanya bahwa jika orangtuanya setuju, maka dia setuju.

Saya rada berkedip-kedip mendengarnya. Yah, kalo masalah bagaimana cerita ikhwan-akhwat menikah sih saya sering dengar dan sering menyaksikan teman-teman saya, tapi ini kan dia sama sekali belum liat orangnya. Bagaimana bisa, sih, Kir?

Kirsan cuma jawab ringan bahwa dia percaya penilaian ayah dan bundanya. Ridho Allah kan tergantung ridho orangtua kita, AL.

Lalu, lalu… Beberapa bulan setelah pernikahan, saya diberi tahu oleh Kirsan bahwa ternyata, yah, Anda bisa menebaknya, kali! Suaminya itu ya orang yang dulu gerecokin dia itu. Orang yang dulu kirim SMS aneh itu, loh! Dan Kirsan sendiri baru tahu tepat pada hari pernikahan, beberapa menit sebelum ijab Kabul, huahaha…..

Yang saya tahu, mereka pasangan yang mesra, tuh!

Lalu yang terakhir yang ada di pikiran saya adalah Bu Rita. Guru paling cantik di sekolah, dan emang cantik banget deh ni orang, ternyata juga gak pernah pacaran sampai menikah. Tau-tau salah seorang rekan kami, Pak Guru Agama, dengan PDnya ngelamar. Karena ortunya setuju, maka Bu Rita setuju ajah. Sempet rada emosian adalah bahwa Pak Guru Agamanya langsung ngajak nikah bulan itu juga! Bayangin aja, pertama kali datang dengan PD abis ngelamar itu awal bulan, pada akhir bulan mereka sudah menyelenggarakan pernikahan. Dan selama proses itu, gak ada yang tahu bahwa mereka sudah berencana menikah. Lah orang nyaris gak bicara satu sama lain juga, sih! Tau-tau, tanpa undangan selain secara verbal gitu aja, dua hari sebelumnya, mengumumkan bahwa mereka berdua mengundang kami semua datang ke acara. Ya ampun! Sampe shok semua orang!

Kembali mengenai teman serumah saya ini, ternyata baru saja mengalami perjodohan yang gagal! Ahahaha, baru tau saya! Tapi kisahnya sendiri sih gak ngejelimet.

Seseorang datang kepada ibunya Eni, minta cariin calon buat sahabatnya yang sudah siap menikah, tapi gak punya calon. Nah, ibunya Eni ini berencana untuk ngenalin ke Eni. MASALAHNYA, si ibu ini belum sempet bilang ke Eni (atau lebih tepatnya, belum berkesempoatan untuk menyusun rencana yang cerdas), orangnya udah keburu nongol. Datang bertamu ke rumah, tepat pada saat Eni sedang ruwet banget dengan kerjaannya dan pun sedang sendirian di rumah. Saya ngakak ngebayanginnya. Si Eni yang kalo lagi ruwet itu judesnya amit-amit dan kacau balaunya amit-amit (bayangin Toph temennya Ang di Avatar The Last Air Bender yang gak kukuw penampilannya, deh!) tau-tau digrecokin sama dua orang laki-laki dateng bertamu dan tanya-tanya gak jelas.

Yaa, karena merasa terganggu, si Eni jawab pedas dan keras (ouch!). Itu membuat si cowok yang tadinya mau dikenalin jadi jiper dan ketakutan langsung menggeleng-geleng kepalanya dan pamit pulang.

Huaaaaa.... Hahkakahaka..

Bagaimana dengan kisah saya sendiri?

Cukup adil nampaknya dikatakan bahwa kisah cinta saya yang terakhir adalah hubungan- panjang, melelahkan, berlarut-larut, yang berakhir seakan pintu yang dihempaskan tepat di depan muka. Ouch lagi!