Jumat, 24 April 2009

Saya Gak Layak Jadi Guru

Pendidikannya. Jelas. Paling tidak, menurut pemerintah seperti itu.

Adalah seorang perempuan, datang ke sekolah kami melamar kerja menjadi guru. Kami semua sepakat, dia adalah seorang guru yang baik. Hasil tes tertulis, tes komputer, dan performanya saat microteaching memperlihatkan hal itu. Dia tidak hanya berhasil membuat pelajaran paling dibenci anak-anak, yaitu matematika, menjadi terasa menyenangkan dan mudah, tapi juga berusaha mengenal anak-anak. Paling tidak, dia berusaha untuk itu. Baginya, anak-anak yang didepannya ini bukan segerombol anak kecil yang musti nurut apapun yang dia katakan, tapi individu-individu unik yang dia coba pahami. Berbeda dengan calon-calon guru yang lain yang kebanyakan jaim saat microteaching, dia tidak segan menegur dan bersikap tegas, tapi juga mau tertawa dan mengajak bicara dengan ramah.

Dan segala kekacauan yang terjadi, yang adalah ‘rencana busuk’ kami yang kami minta anak-anak untuk bekerja sama, sang calon guru ini tidak terlihat kehabisan akal. Kebingungan sebentar memang, tapi tidak menyerah dan terus berusaha.

Sayangnya, dia tidak dapat kami terima sebagai guru SD. Alasannya. Sedehana saja. Dia dianggap tidak dapat memenuhi syarat sebagai guru SD karena dia berijazah D3, pun tanpa akta.

Menyesakkan bukan?

Rekan-rekan saya membicarakan itu berhari-hari. Dan saya hanya duduk di pojokan, mendengarkan. Kalau masalah-masalah yang seperti ini, saya suka jadi merasa agak sensitip heheh..

Itu beberapa saat sebelum anak-anak libur. Kemarin, saya kembali diingatkan bahwa saya belum layak menyandang status guru.

Adalah seorang guru TK. Dia agak bermasalah. Yah, sebenarnya, dia banyak bermasalah. Tahun ajaran ini, keputusan yayasan adalah bahwa yang bersangkutan dipindah. Dari tadinya guru, menjadi staff admin yayasan. Mari kita tidak perpanjang apa masalah dan bagaimana, toh saya tidak akan membicarakannya. Yang pasti, dia merasa kecewa dan marah sekali.

Entah muka saya ini mengisyaratkan apa tapi saya selalu ketiban curhat. Padahal saya sendiri gak akrab dengannya.

Sepanjang hari, saya berusaha menenangkannya. Sebenernya, saya tahu lebih banyak daripadanya tentangnya. Atau apa-apa yang disembunyikannya. Tapi saya pun tidak membahasnya. Saya hanya berusaha untuk membesarkan hatinya.

Kami bicara-bicara.

Saya menyatakan sayang dia harus berada di balik meja, sebab dia adalah guru yang cerdas. Dia berkata, iya, kenapa bukan kamu (saya, red) aja yang ditarik jadi staff. Kamu kan gak punya akta 4.

Saya terdiam. Dia mungkin tidak sadar bahwa dia, menembus dada saya tepat di wilayah paling sensitif.

Kenapa bukan kamu aja yang ditarik jadi staff. Kamu kan gak punya akta 4.

Yang terngiang-ngiang di telinga saya adalah:

Kamu gak pantes jadi guru.

Kamu gak layak jadi guru.

Saya gak layak jadi guru

1 komentar:

  1. :)
    Kalo mbak Al aja gak pantes, lalu siapa yg pantes? Saya? Hehehehe..

    BalasHapus