Selasa, 07 April 2009

Ibu Ibu Kontrakan

Di depan mess kami, adalah rumah-rumah kontrakan Petak-petak gitu. Dihuni oleh pasangan suami istri muda.Sang suami kebanyakan para satpam di beberapa perumahan mewah sekitar sini sementara para istri adalah ibu-ibu rumah tangga dengan anak-anak balita.

Hidup di kontrakan, terkadang begitu ribet. Paling tidak, dari kisah-kisah yang suka dikeluhkan oleh Bu Lulu dan Bu Lyn, kesannya seperti itu. Selalu ada pertengkaran kecil, dari apa-apa yang sebenernya hanya masalah sepele. Saya kira, kebanyakan selalu adalah rasa iri hati. Atau keinginan selalu ingin merasa lebih, dari masing-masing.

Saya dan Eni, teman serumah saya, selalu kurang waktu untuk bergaul dengan tetangga depan rumah itu. Maklum, berangkat pagi pulang hampir maghrib. Kalau libur pun, kami pulang ke rumah orangtua masing-masing. Tapi salah satu penghuni kontrakan berkawan baik dengan rekan satu rumah saya. Dia adalah satu-satunya penghuni yang masih single, dan sama-sama bekerja dengan Eni di tempat les yang sama. Guru SD juga seperti kami, di sekolah yang berbeda. Jauh lebih sibuk dari kami karena selain mengajar di sekolah national plus, dan juga mengajar les, dia juga sedang sibuk mengambil kuliah S2.

Akhir-akhir ini, dia sering datang. Duduk bersama kami di halaman belakang.

Curhat.

Awalnya mulanya, saya kira, karena dia terlalu permisif. Kepada ibu-ibu itu. Maksud saya, apakah dia begitu baik sampai memperbolehkan barang-barangnya dipakai oleh ibu-ibu sekitar rumahnya seenak mereka? Pertama, saat-saat dia ada di rumah. Hanya menitip-nitip di kulkasnya. Itu biasa. Tapi akhirnya, semua ibu-ibu ikutan menitip-nitip. Bingung saya. Lah, itu jadinya kulkas bersama ya?

Lalu, ikut pakai mesin cuci. Dan terkadang saat dia pergi berhari-hari, tetangganya boleh pinjam motor. Karena dia jarang di rumah, jadilah para tetangga itu punya kunci cadangan masuk ke kontrakannya.

Saya dan Eni menganggap itu sudah keterlaluan.

Baginya, itu gak masalah. Sebab ibu-ibu itu sering membantunya mengangkatkan cuciannya jika hujan turun tiba-tiba. Atau rela mengepelkan teras depan rumahnya.

Lama-lama, jadi tambah. Beberapa kali dia menemukan di rumahnya yang kecil itu, terlalu banyak orang. Anak-anak tetangga menonton indovision. Atau dengan asik main game di komputer. Dia jadi tidak enak meminta mereka pergi. Tapi toh, dia yang selalu pulang dalam keadaan capek setelah bekerja dan kuliah, inginnya tentu tiba di rumah dengan tenang. Bukan di rusuh anak-anak tetangga.

Mulailah dia membatasi akses tetangga-tetangganya itu ke rumahnya.

Para tetangga, yang selama ini begitu dienakan dengan segala fasilitas yang ada, nampaknya sudah lupa bahwa itu adalah kebaikan seseorang. Dan bukan hak mereka.

Dengan diam-diam tapi terasa, para tetangga ini mulai dingin kepadanya. Mengatainnya pelit.

Sampai suatu ketika, yang entah dari mana, muncul desas-desus tidak enak. Tentang dia. Entahlah apakah begitu aneh seorang perempuan berusia pertengahan 30-an melajang? Dan (terlalu) mandiri? Atau karena dia tidak pernah disambangi laki-laki? Tapi memang dia tidak pernah ditamui siapa-siapa selain kadang memang ada salah satu rekan kerjanya perempuan menginap. Tapi toh itu tidak membuktikan apapun.

Tapi pemilik kontrakan jadi resah. Sang pemilik sebetulnya tidak masalah dengannya. Toh dia penyewa rumah yang tidak merepotkan, bayar tepat waktu, bahkan sebenarnya, bayar lebih dari yang lain. Karena alasan di rumahnya banyak barang-barang yang menyedot energi. Walaupun barang-barang itu jarang dipakainya sendiri. Tapi dia tidak mempermasalahkan itu.

Namun, desakan ibu-ibu kontrakan tambah besar. Sang pemilik kontrakan memintanya mencari tempat lain bulan depan. Kejadian itu hampir satu bulan yang lalu.

Dia bingung, mau pindah kemana? Pindah rumah adalah hal yang paling tak terpikirkan olehnya yang terlalu sibuk ini. Siapa sih yang punya waktu untuk nyari-nyari kontrakan segala. Kontrakan mungkin banyak, tapi kan susah untuk mencari tempat yang tepat.

Saya dan Eni menawarkan untuk bersedia jadi tempat mengungsi sementara. Selama dia belum menemukan tempat yang baru. Sedih kami. Biar tidak mengajar di tempat yang sama, tapi sebagai sesama guru, bagi kami, dia adalah rekan. Lagian, masih ada beberapa kamar kosong disini. Pun saya dan Eni, terkadang merasa terlalu sepi untuk tinggal berdua saja.

Tidak, katanya. Dia tidak mau kita berdua ikut keseret-seret gosip gak enak.

Bener juga sih.

Saya berusaha meyakinkannya bahwa itu tidak akan terjadi.

‘Tapi ini kan bukan rumah kalian. Ini fasilitas sekolah. Bagaimana cara kalian menjelaskan pada sekolah bahwa ada orang lain tinggal disini dan itu bukan keluarga. Guru di sekolah lain, pula. Walaupun mungkin Cuma sebentar.’

Iya, juga, ya…

Dan Minggu sore, saya menatap rumah kontrakannya dengan termangu. Gelap dan kosong.

‘Kemarin dia pindah.’ Kata Eni. ‘Yang punya kontrakan bilang, rumahnya mau dipakai keponakannya. Jadi dia disuruh pindah kemaren juga.Dia telpon gue, AL. Nangis. Gak tau mau kemana.’

Lah, terus? Gimana?

‘Yaa, makanya gue langsung ke sini. Kita keliling cari kontrakan. Alhamdulillah di tempatnya Lulu ada kontrakan yang kosong dan dia bisa langsung pindah.’

Dia disuruh pindah saat itu juga?

Hati saya mencelos.

Dan kita tinggal di Indonesia. Masyarakat yang paling murah senyum, ramah, dan baik hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar