Selasa, 01 Juni 2010

Guru, Orangtua, Buku Teks Ajar, dan Komunikasi


Suatu hari, saya membaca sebuah kisah kecil yang dituliskan oleh seorang ibu di blognya. Dia mengisahkan suatu insiden yang menimpa anaknya di sekolah dan dia merasa sangat kesal karena itu. Begini ceritanya:

Sang anak ditegur oleh gurunya karena telah mengisi latihan-latihan yang terdapat di buku teks ajar di rumah. Bukan apa-apa, sang guru nampaknya agak bingung saat menugaskan anak-anaknya untuk mengisi latihan di sekolah, seorang ada yang sudah mengisinya di rumah. Lalu keluarlah kata-kata yang ternyata menyakitkan sang anak. Saya bilang menyakitkan, karena kata-kata itu sampai kepada ibunya:

’Sekalian aja yang sekolah ibunya kalau begitu.’

Sang ibu yang merasa agak tersinggung mempertanyakan kreatifitas sang guru. Latihan itu dia suruh anaknya kerjakan di rumah untuk kegiatan belajar di rumah. Lalu kenapa gurunya bisa bilang begitu? Seharusnya sang guru lebih kreatif dikit, dong! Memberikan tugas di sekolah gak usah dari buku. Lagian kok rasanya gak percaya banget kalo si anak mengerjakan latihan itu di rumah?

Kejadian senada pernah menimpa saya beberapa tahun yang lalu. Tapi saya tidak sampai mengatakan hal tersebut kepada anak-anak dan alhamdulillah, sang ibu tidak melakukan apa-apa selain mengirimkan surat protes panjang kepada saya, sehingga saya bisa lagsung menjelaskan kepadanya. Dialog antara kami pun terbuka dan kami mencapai keadaan saling memahami.

Ketika pertama kali mengajar, bisa dikatakan, saya sangat blank dengan pekerjaan yang saya geluti ini. Saya bukan jebolan sekolah pendidikan. Latar belakang saya ilmu sosial. Dan yang saya tahu mengenai bagaimana mengajar yang baik adalah dari potongan-potongan kisah di buku-buku tentang sekolah seperti Totto Chan dan sejenisnya. Juga dari film-film tentang guru yang meginspirasi macam Dead Poet Sociaty dan seterusnya. Saya punya keinginan untuk menjadi guru seperti mereka, tapi metodenya saya gak tahu. Bahkan saya agak blank dengan sistem pendidikan macam sekarang.

Saya masuk pada akhir diberlakukannya kurikulum KBK awal KTSP. Kurikulum yang jauh berbeda dengan yang pernah saya dapatkan di sekolah dahulu. Pun saya mengajar di sekolah dengan sistem fullday. Artinya, anak-anak berada di sekolah benar-benar sepanjang hari. Dari pukul 7 pagi teng masuk sampai pukul 3 sore. Pelajaran sekolah serta seluruh kegiatan dijadikan satu paket di sana.

Satu hal yang membuat saya agak melongo saat pertama kali mengajar adalah bahwa anak-anak tidak diberi PR. Okeh sebenarnya sistem tidak ada PR ini tidak berlaku di semua sekolah. Beberapa hari yang lalu, saya pernah berada dalam suatu pelatihan dan sang pemateri berdebat keras mengenai keputusan tidak memberikan PR tersebut dengan beberapa orang guru swasta. Sang pemateri sama sekali gak bisa menerima, bagaimana mungkin anak-anak tidak diberikan PR.

Sebenarnya, yang namanya ’tidak memberi PR’ itu bukan berarti anak-anak tidak diberi tugas apapun di rumah. PR yang tidak diberikan ini maksudnya adalah anak-anak tidak lagi diberi PR model konvensional macam kita sekolah dulu. Disuruh ngarjain LKS berlembar-lembar yang isinya soal pilihan ganda dan isian. Bahkan, beberapa kisah yang saya dengar dari rekan-rekan dan sempat saya temui sendiri ketika sekolah adalah, jalannya kelas ya hanya ngerjain LKS aja. Ngerjain soal melulu. Kalau tidak ngerjain soal, ya, dengerin guru ngoceh atau mencatat. Tugas tetap ada dan tetap harus dikerjakan, namun dalam bentuk yang lebih beragam lagi.

Tugas atau PR bagi kelas 1 SD di tempat saya adalah tugas-tugas yang leih merupakan lifeskill mereka. PR minggu ini adalah berusaha untuk membereskan tempat tidurmu sendiri, minggu depan belajar untuk memakai baju sendiri. Hal-hal seperti itu. Kelas dua mungkin lebih berat saat mereka harus belajar untuk mencuci piring, menyapu lantai, mengepel, dan seterusnya. Sedangkan untuk kelas besar, tugas yang diberikan kebanyakan melakukan risert kecil-kecilan lalu menuliskan laporannya. Membuat artikel mengenai salah satu tokoh sejarah misalnya, atau melakukan pengamatan dengan meminta mereka untuk mengubur beberapa benda di dalam tanah, untuk kemudian mengeluarkannya lagi. Mencari tahu mana benda yang dapat membusuk dalam tanah, mana yang perlu waktu lama. Hari ini saya memberikan tugas kepada anak-anak saya untuk mencari apakah ada negara di dunia ini yang tidak memiliki tentara. Dan jika ada, silahkan cari negara mana saja itu. Besok kami akan mendiskusikannya. Saya akan meminta opini mereka mengenai hal tersebut.

Maka, yang namanya tugas untuk mengerjakan soal di rumah nyaris tidak ada.

Soal adalah kerjaan di sekolah. Dan biasanya tidak dalam jumlah yang banyak. Karena kalau bisa, harus dapat selesai di sekolah sehingga dapat langsung dibahas dan dinilai saat itu juga. Tapi tentu tugas mengerjakan soal di rumah diberikan juga sesekali.

Pada kelas kecil, khususnya kelas 1 SD di tempat saya ini, anak-anak tidak membawa buku teks ajar mereka pulang ke rumah. Ini dikarenakan sistem di kelas kecil (kelas 1-3) adalah tematik, dan bukan mata pelajaran. Artinya, pelajaran diberikan di dalam kelas berdasarkan tema.Misalnya bulan ini mengenai keluarga, maka semua pelajaran akan membahas mengenai keluarga itu. Dalam PKN mungkin akan dibahas hak dan kewajiban anak dan anggota keluarga lain di dalam lingkup keluarga. Pada matematika anak akan diminta menghitung jumlah anggota keluarga, dan seterusnya. Jadi setiap guru masuk, pembahasan bisa langsung pula masuk beberapa mata pelajaran sekaligus. Bisa SBK, Bahasa Indonesia, dan IPS. Cara guru menyampaikan pelajaran juga tidak sama dengan kelas 4-6 yang berdasarkan pelajaran. Guru masuk mungkin langsung mengajak anak nyanyi naik kereta api sama-sama sambil tepuk tangan. Kadang sambil keliling kelas sambil beriringan seperti kereta api. Ini SBK-nya. Lalu kemudian diskusi kecil-kecilan mengenai macam-macam alat transportasi yang mereka temui sehari-hari sambil nyanyi lagi lagu-lagu transportasi. Mengidentifikasi macam-macam alat transportasi, ini IPS. Lalu kita bercerita di depan kelas mengenai pengalaman naik alat transportasi, ini IPS dan Bahasa Indonesia. Lalu anak diajak menuliskan cerita mereka di atas kertas, ini Bahasa Indonesia dan IPS. Terakhir, mungkin sama-sama menggambar alat-alat transportasi. Maka, dengan sistem pengajaran seperti ini, yang namanya mata pelajaran praktis tidak lagi berfungsi. Hari senin minggu ini apa yang dibahas mungkin beda dengan apa yang dibahas minggu depan. Tentu ada perencanaannya dan guru biasanya sudah menyiapkan daftar buku per minggu apa saja yang musti di bawa. Tapi, pada akhirnya ini agak ribet. Orangtua murid suka kebingungan sendiri dan anak-anak masih belum dapat memanajemen dirinya dengan baik. Karena itu, buku pelajaran biasanya disimpan di sekolah.

Bagi orangtua, sistem seperti ini agak mencengangkan. Protes yang biasa adalah tentang buku teks yang musti ditinggal di sekolah. Ini menyebabkan OTW bingung mengawasi belajar anaknya di rumah. ’Kita kan bukan guru, Bu. Mana kita tau pembahasannya tentang apa. Kalo gak ada buku, gimana anak-anak belajarnya?’

Itu protes yang baik. Langsung beritahu apa yang bikin susahnya ke guru sehingga dapat dicari solusinya. Gak asik banget kalo OTW langsung serta merta menyeletuk: Ah, gurunya males banget ngingetin anak-anak untuk bawa buku, sih.

Kadang begini kata-katanya, ’Kok gak percaya banget sh anak-anak belum bisa menyiapkan bukunya sendiri. Gak percaya banget sama orangtuanya’

Dengan segala hormat saya, Pak, Bu, bukannya gak percaya pada anak Anda atau Anda, tapi anak-anak itu beda-beda. OTW juga kesibukannya beda-beda. Alhamdulillah anak Anda sudah bisa mandiri, lalu bagaimana dengan anak yang lain? Dan menetapkan peraturan beda-beda pada setiap anak nantinya akan lebih ribet lagi. Bukan hanya orangtua yang merasa di beda-bedakan, anak juga akan merasa dibeda-bedakan. Kita membahas kelas kecil, loh, ya. Kemandirian tetap merupaka isu penting, tapi membiasakan untuk itu musti dengan bertahap juga.

Maka untuk hal-hal seperti ini memang harusnya komunikasi terbuka. Jika ada yang merasa gak sreg, tanyakan saja langsung pada guru. Saya kira, guru akan menjelaskan dengan suka hati. Kalau tidak mau menjelaskan, kritik saja dia. Sebab itu kan tugasnya, heheh…

Kasus yang terjadi bahwa pada awal tulisan ini pun terjadi di tempat saya dan sempat jadi pembahasan antar guru. Sejak awal kita sudah memberi tahu untuk tidak mengerjakan soal buku teks ajar di rumah. Sebab, dengan mengerjakannya di sekolah, tepat setelah pembahasan, guru ingin tahu, seberapa efektif pengajarannya barusan. Apakah anak sudah mengerti? Kalau sebagian besar anak tidak dapat mengerjakannya dengan baik, maka kemungkinan anak belum mengerti. Harus diulang atau metodenya dirubah.

Tapi kemudian banyak anak yang ternyata sudah mengerjakan soal latihan di rumah.

Lalu kami membuat soal sendiri untuk dikerjakan di sekolah berbeda dengan yang di buku. Ini membuat beberapa OTW jadi protes juga: Lah, kalo gitu, buat apa buku teks dibeli? Soalnya gak pernah dikerjain (karena guru membuat soal sendiri di sekolah) trus gak pernah dibaca pula (karena jaman sekarang udah gak asik banget guru masuk langsung berceloteh: ayo anak-anak buka halaman sekian, baca, jangan berisik.)

Protes mengenai kenapa buku teks ajar nampaknya gak pernah digunain adalah protes yang paling sering saya hadapi. Setiap tahun. Dari OTW anak baru yang belum kenal dengan cara saya mengajar. Karena terus terang, saya jarang sekali menyuruh anak untuk membuka buku teks ajar atau membahasnya secara berurutan patuh apa kata buku. Pada setiap kelas yang saya pegang, maka nampaknya akan mengacak sana-sini. Sebenarnya, tidak begitu. Biasanya pada awal tahun, saya sudah mengumpulkan semua materi yang harus sampai kepada anak-anak. Saya kumpulkan berdasarkan topik, lalu saya rancang dalam betuk kegiatan. Maka terkadang memang mengacak-acak dari buku. Bab pertama tidak selalu saya bahas pada awal tahun, kadang saya tarik bab ke 6 duluan. Ini tentu dengan penilaian saya sendiri. Misalnya, apakah topik ini saya perkirakan akan berlangsung lambat karena susah, atau saya kaitkan dengan pelajaran lain yang membahas topik serupa sehingga jalannya kelas tidak mengulang-ulang. Lagipula, saya biasanya tidak mengambil sumber dari buku teks tertentu saja. Suatu topik yang dibahas sumbernya saya ambil dari mana-mana. Dari banyak buku teks koleksi saya sendiri. Trimakasih untuk program BSE yang bagi saya sangat bermanfaat sekali karena memudahkan saya dalam mengoleksi berbagai macam buku teks. Juga saya ambil dari sumber-sumber diluar buku teks ajar seperti internet, atau buku-buku lain.

Lalu, buat apa buku teks ajar yang dipunya anak-anak saya itu? Ya, untuk mereka belajar di rumah. Saya biasanya akan memberi tahu bahwa pada hari yang akan datang, kita akan membahas mengenai apa. Baca dulu di rumah kalo gak mau melongo kayak sapi ompong di kelas nanti karena gak nyambung saat awal pelajaran saya langsung masuk diskusi.

Gak heran kan kalau ada komentar dari OTW yang bilang: pelajarannya Bu Alifia selalu yang paling bikin bingung. Lompat sana-sini.

Obrolan dengan guru swasta pada yang akhirnya sekolahnya memutuskan untuk tidak memberikan buku teks ajar karena dianggap OTW gak berguna akhirnya membuat kebingungan juga karena OTW malah jadi sama sekali gak ada clue topik yang dibahas tentang apa. Walaupun sudah diberikan catatan topik apa yang dibahas di semester ini, OTW pun bigung nyari bahannya dimana?

Nah, susah juga kan?

Kembalilah saya kepada komunikasi. Itu kuncinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar