Kamis, 13 Mei 2010

perbedaan

Pernikahan sepupu saya berakhir sudah. Kata cerai terucap. Hubungan yang dulu pernah indah berakhir dengan tragis dengan perasaan benci satu sama lain.

Saya termangu... Bagi saya, mereka berdua tetap sama. Orang-orang yang saya sayangi. Salah satu kerabat yang terdekat. Dan sepupu laki-laki saya itu adalah keluarga yang hidupnya menginspirasi saya.

Ayahnya, kakak laki-laki ibu saya, meninggal dunia pada usia muda. Saat keluarganya sedang bahagia-bahagianya. Sakit mendadak lalu tak tertolong lagi. Meninggalkan 5 anak. Paling tua masih SMA yang paling muda baru belajar berjalan. Dari 5 anak ini, hanya sepupu saya yang sedang saya bicarakan ini sajalah, yang selanjutnya saya sebut saja dengan Firman, yang bisa survive dan menjadi sandaran seluruh anggota keluarganya.

Kakak yang paling pertama, putus sekolah lalu menikah. Firman kabur dari rumah karena malu ibunya menjadi istri simpenan dari seorang laki-laki yang gemar memukuli anak-anak tirinya. Anak ketiga hamil kecelakaan, lalu putus sekolah. Anak keempat kabur juga dari rumah ketika ayah tirinya memukulinya gara-gara bola yang ditendangnya memecahkan layar TV. Saat itulah, Firman yang sedang dalam pengembaraan akhirnya pulang ke rumah. Mencari adik keempat sekaligus menjaga adik kelima. Dia diingatkan tiba-tiba, bahwa tanggungjawabnyalah, sebagai anak laki-laki tertua, untuk menjaga seluruh keluarganya.

Waktu terus berjalan dan Firman melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan.

Kisah cintanya terlarang, karena itu sempat stagnan sampai 10 tahun. Dua-dua pihak tidak mau terima. Kami yang merupakan keturunan pemuka agama susah menerima pernikahan lintas agama, sementara keluarga sang perempuan yang ilmuwan ogah bermenantukan seseorang yang hanya lulusan SMP saja.

Sepuluh tahun mereka menunggu kedua belah pihak sama-sama melunak, dan akhirnya, mau menerima. Itu dua tahun yang lalu.

Dan sekarang, kata cerai terucap.

Alasannya, perbedaan.

Saya termangu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar