Selasa, 17 Agustus 2010

Udah Pantes Pake Baju Putih

Awalnya demam plus batuk yang tak kunjung berhenti. Batuk yang kemudian saya rasakan menyiksa. Membuat saya terjaga sepanjang malam didera kelelahan fisik karena tak tidur tak dapat berbaring. Tidak dapat. Sebab kalau berbaring, saya akan terbatuk hebat sampai muntah-muntah dan meneteskan air mata. Saya kira, saya kena pertusis atau apa. Batuk saya kemudian reda dan berangsur menghilang. Tapi saat tes ini dan itu sebelumnya, ada temuan tentang ketidak beresan dalam tubuh saya. Dokter mengirim saya ke dokter spesialis. Kemudian, dokter spesialis tersebut mengangguk menyatakan bahwa saya benar memang harus ditangani olehnya.


Heran, kaget, dan yang pasti takut.


Bagaimana tidak, ayah saya pun harus ditangani oleh spesialis yang sama tepat enam bulan sebelum beliau meninggal dunia. Keadaan inilah yang kemudian dinyatakan sebagai apa yang membawa beliau pergi, menurut laporan dokter yang memastikan kematiannya. Saat itu, usia ayah saya baru 45 tahun. Sekarang, apakah saya mendapat kehormatan untuk mengalami sakit yang sama dengan beliau?


Menyebalkannya adalah, ini membuat saya harus bolak balik ke RS. Dan setiap perjalanan menuju ke sana, rasanya memberat di dada saya. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga pikiran. Bagaimana caranya saya memberi tahu ibu saya mengenai ini? Bagaimana dengan biayanya? Sakit ini sakit yang mahal. Bagaimana caranya saya membiayai tindakan-tindakan yang mungkin kalau hanya untuk serangkain tes saja harus bingung. Oh, please deh! Harusnya, untuk orang seperti saya, level sakitnya itu masuk angin, radang tenggorokan, flu, atau TBC. Bukan ini.


Di sana pun saya tidak senang.


Lucunya, baik di puskesmas maupun di RS, hal yang menarik perhatian saya ketika menunggu adalah aktifitas sesama pasien. Ya anak-anak atau obrolan. Senang mendengar kisah-kisah hidup orang lain. Dan selama ini, walaupun di ruang tunggu RS, saya selalu bersama dengan orang-orang yang hidup dan menjalani hidupnya dengan sebaik yang mereka bisa. Tapi di bagian ini, yang saya temui adalah orang-orang yang diam.


Muka-muka penuh kerutan dengan mata yang menyiratkan asam garam dunia. Memakai tongkat dan tubuh yang lemah. Beberapa orang seusia saya ada, tapi mereka adalah si pengantar neneknya atau kakeknya tersebut.

Bisa saja saya heboh pecicilan sendiri. Cengar-cengir mendengarkan MP3 atau sibuk dengan HP, baca buku, kadang nekad bawa laptop. Tapi tetep aja itu semua mempengaruhi saya, merasakan redup yang mulai membayang.


Kakek yang duduk di samping saya bilang kalau dia sudah pantes pake baju putih. Sudah terlalu lama hidup. Kakek-kakek dan nenek-nenek sekitar kami tersenyum, lalu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

1 komentar:

  1. sakit apa bu al??, tetap tabah yah, setiap penyakit ada obatnya

    BalasHapus