Rabu, 18 Agustus 2010

Orang Bilang Ayah Teroris


Baru aja baca buku dengan judul diatas. Tipis. Menarik sekali. Berdasarkan catatannya Paridah Abas, istri terpidana mati Bom Bali I Ali Ghufron. Ini buku yang sudah lama banget ada di rak buku kami, tapi belum tertarik saya sentuh sampai hari ini.


Rasanya, tidak meyakinkan.


Ternyata, ini adalah buku yang tidak dapat diletakkan sampai selesai. Membawa saya di haru biru. Jenis buku yang setelah kita baca, akan membuat kita termangu-mangu dengan suasana.


Padahal, tulisannya sendiri sederhana sekali. Namun tiap patah kata, nampaknya ditulis dengan sepenuh hati. Sepenuh kasih sayang yang tercurah dari seorang perempuan kepada suaminya. Dari seorang ibu kepada anak-anaknya.


Kisah dimulai pada Ramadhan, ketika suami yang ditunggu janji untuk pulang, malah terdengar kabar ditangkap polisi. Paridah sedang di Indonesia saat itu, tertinggalkan di sebuah rumah kontrakan lusuh dengan selembar kasur dan tikar, serta peralatan rumah tangga yang jauh dari layak. Hamil dengan anak-anak yang masih kecil.


Suaminya meletakkannya beserta anak-anak di tempat itu lalu pergi. Dengan janji, akan pulang saat lebaran nanti. Tapi yang ditunggu tak kunjung datang.


Kisah bergulir silih berganti, antara masa kini dengan masa lalu yang saling lompat. Seakan kita sedang duduk dihadapannya yang bercerita, dengan tenang, dan baik hati, mengenai masa-masa yang mungkin adalah merupakan salah satu saat tergelap di hidupnya. Dari bingungnya menghadapi pertanyaan anak-anak tentang sang ayah yang tak kunjung datang, kemudian memori bagaimana dua orang yang pikirannya utara selatan ini bisa saling berdampingan.


Tulisannya mengisyaratkan bahwa dia adalah perempuan yang cerdas sekali, kritis, dan mandiri. Orang yang hanya bisa ditaklukan dengan ilmu. Kemudian suatu hari, dia mengutarakan keinginan kepada ayahnya bahwa dia ingin pergi ke Indonesia. Ingin menimba ilmu agama di pesantren. Ayahnya bilang, tidak usah ke Indonesia. Sang ayah akan mencarikan seorang ustadz untuknya. Paridah tentu senang. Dia menyangka bahwa ayahnya akan mendatangkan seorang ustadz sebagai gurunya. Tapi yang terjadi adalah, sang ayah mencarikan ustadz orang Indonesia untuk dinikahkan kepadanya.


Paridah menolak mati-matian.


Tapi kemudian, dia mengalah. Menurutnya, karena jelas tidak ada alasan syar’i yang dapat dipergunakannya untuk menolak pernikahan tersebut.


Saya baru sadar betapa menyesakkannya keadaan yang saat itu menjepitnya. Paridah adalah seorang warganegara Malaysia, tertinggalkan di negara asing baginya. Suaminya ditangkap dengan tuduhan yang begitu berat. Anak-anak serta keadaannya yang sedang hamil. Lalu tangan hokum pun sampai pula kepadanya saat dia harus dijerat UU imigrasi yang memojokannya. Semua passport dan surat-suratnya dibawa sang suami, dan entahlah dimana itu semua.


Namun, dalam keadaan paling menjepit pun, figure seorang ibu, seorang pendidik yang baik tetap mempertahankan bijaksananya. Kepada anak-anak, tidak ada suatu kebencian yang coba dia kobarkan kepada pihak yang lain. Dia tidak mengutuk, mengeluh, berurai ratap. Dia hidupkan pikiran dengan menahan diri, atau dialog yang terbuka.

1 komentar: