Senin, 29 Maret 2010

no label pliss

Di sekolah, sedang ada evaluasi. Bagi anak-anak. Seorang terapis masuk kelas dan duduk seharian, lalu memberi tahu guru mengenai beberapa anak yang musti dikhawatirkan.

Belum sampai kelas saya baru diceritakan saja, dari kelas 1D.

Katanya sang terapis duduk seharian menonton, mengajak bicara sedikit-sedikit, lalu ngasih tau. Bahwa yang ini mungkin disleksia, yang itu terlalu tinggi kecerdasannya, yang ono hiperaktif, yang anu indigo.

Saya tidak senang mendengarnya.

Mugkin karena saya gak pernah gitu klik sama hal-hal kerja yang berhubungan psikologi (bukan orang yakin, sebab Eni, teman serumah saya, pun orang psikologi) entah saya hanya orang yang sering merasa terancam dengan hal yang baru

tetapi....

Saya gak seneng menemukan ada orang melabeli anak-anak saya.

Aku gak seneng menemukan ada orang melabeli anakku!

Dia hanya duduk seharian dan memberi cap yang mungkin akan membekas selamanya? No... No.... Jangan lakukan itu, please...Mereka manusia, bukan barang.

Kalau kamu adalah pekerja pabrik salah memberi label, mungkin berakibat salah kirim saja, tapi kepada manusia, bagaimanakah.....

(teringat The Spiral Staircase saat sang tokoh utama selama bertahun-tahun menderita karena salah diagnosis skizofrenia yang ternyata dia epilepsi)

Dan, sejauh yang saya rasakan, semakin tambah tahun dan hari menjadi guru, semakin hati-hati saya bertindak. Karena semakin menemukan bahwa manusia itu luas dan sangat luas. Maka saya tidak mengerti jika ada orang, atau profesi tertentu, mengevaluasi manusia, yang berani menetapkan label atas dasar observasi satu hari.

Yang mungkin aja saat itu si anak lagi bisa diajak bekerja sama, atau lagi rewel gara-gara bajunya gak nyaman atau kepalanya gatel karena belum keramas.

Hhh, mungkin saya hanya khawatir berlebihan aja....

1 komentar: