Senin, 19 April 2010

CINTA

Saya kira, kisah nyata ini akan saya mulai dengan pada suatu hari, saat saya sedang asik menonton TV. Seorang perempuan datang dan langsung masuk ke dalam rumah. Duduk di ruang keluarga. Dia kurus tapi tulangnya kuat, tubuhnya hitam rambutnya pendek agak acak-acakkan. Usia perempuan ini hampir sama dengan usia ibu, atau sedikit lebih tua. Matanya celong ke dalam. Sesuatu di matanya menceritakan kepada saya bahwa dia lapar.

Dia menanyakan ibu saya. Tidak ada, kata saya. Ibu saya sedang berada di Bandung, mengurus perjanjian sewa tanah.

‘Kapan pulang?’

Mungkin besok. Dia menunduk lesu. Saya meminta dia makan. Dia ingin makan, tapi ragu.

‘Punya uang tidak? Saya boleh pinjam? 10 ribu. Buat beli makan.’

Sebenarnya saya dilarang oleh ibu untuk memberinya uang, tapi siapa yang tidak kasihan? Ibu saya pun yang menyuruh saya untuk tidak memberi dia uang, tetap memberi uang akhirnya. Dia pergi dengan senyum riang. Dia lapar, tapi tidak mau makan sebab kalau dia makan, nanti tidak ada alasan untuk pinjam uang. Dia akan pergi ke warteg setempat, membeli nasi dan lauk, tapi bukan untuknya. Mungkin malam ini dia akan tidur dengan tetap menahan lapar.

Nasi bungkus itu untuk makan suaminya.

Saya ingat sejak kecil dulu, perempuan itu sudah ada di sekitar kami. Dia adalah sahabat ibu saya.

Lalu perempuan itu jatuh cinta kepada seorang supir taksi, tetangganya sendiri. Supir taksi itu sudah memiliki dua istri dan 3 orang anak. Demi sang supir taksi, perempuan itu rela meninggalkan seluruh harta bendanya dan bahkan anaknya. Ditinggalkan begitu saja. Suaminya sendiri saat itu telah meninggal dunia.

Kemudian, saya sering melihatnya datang ke rumah kami. Dia selalu kehabisan nafas terengah-engah meminta minum yang sangat banyak, lalu makan seperti orang yang sangat kelaparan dan sudah lama sekali tidak makan. Dia tinggal cukup jauh dari rumah kami, dua kali naik angkot seharusnya. Satu kali jika naik kopaja. Dan dia menempuhnya dengan jalan kaki.

Gak capek?

‘Ya.. Capek. Habis, gak punya ongkos.’

Saya sering memperhatikan, badannya dan mukanya yang hitam berwarna aneh. Biru-biru di beberapa tempat.

Kenapa, itu?

‘Oh, ini, jatoh tadi. Di deket kali itu. Licin itu di situ, hati-hati.’

Saya nyengir. Kami akan membiarkannya beristirahat sampai hari mulai gelap, dia pamit pulang. Kami akan memberinya ongkos, tapi berani bertaruh, dia tidak akan naik angkot kembali ke tempat tinggalnya yang sekarang.

Dia dipukulin sama suaminya?

‘Sama suaminya juga, sama istri keempat suaminya juga.’ Kata ibu.

Istri keempat?

‘Iya, suaminya udah kawin lagi.’

Yang pertama itu kan yang punya anak itu, yang kedua..yang kedua yang mana sih, bu?

‘Gak tau. Lah, mana ibu tau?’

Yang ketiga, dia.

‘Yang keempat kalau gak salah, kerja di swalayan gitu deh. Ituloh, kayak yang suka di Ramayana itu..’

Istrinya empat?

‘Nah, dia, suaminya, sama istri yang keempat itu tinggal satu kontrakan. Kontrakannya juga Cuma satu kamar.’

Masa sih?

‘Kalau suaminya pulang kesel, dia pukulin istri-istrinya, nanti istri keempat itu mukulin dia. Sebab istri keempat itu kerja, kan dia gak. Dianggap numpang hidup. Yah, kalau menurut ibu sih, dia itu sebenernya diperlakukan lebih parah dari pembantu.’

Tercenung. Tentu, bagaimana ceritanya kawan baiknya ini bisa jatuh sampai sebegitu dalam?

Berbulan-bulan setelah itu, dia datang dengan membawa gembolan besar. Kali ini, tubuhnya tidak dihiasi biru-biru, tapi luka-luka berdarah. Dia bilang kepada ibu, bahwa dia ingin cari kontrakan di sekitar sini saja. Dia mau kerja apa saja. Tapi tidak kembali ke tempat itu.

‘Sakit hati saya..’

Dia menangis tersedu-sedu. Ibu bilang, memang seharusnya kamu sakit. Kemana saja kamu.

‘Iya, sakit. Saya mau tinggal di sini saja. Nanti si Mas yang datang ke sini beberapa hari sekali.’

Ibu saya melongo. Menatapnya…

Perempuan itu tinggal tak jauh dari kami sekarang, mulai bekerja sebagai buruh cuci dan gosok, atau apa sajalah. Masih sama seperti yang lalu, sering datang dengan gontai dan lapar. Khususnya jika suaminya baru saja datang. Uang makannya untuk hari yang selanjutnya, selalu diberikan kepada suaminya si sopir taksi. Untuk ongkos beli bensin. Kadang, seperti biasa, wajah dan tubuhnya lebam-lebam.

‘Kenapa lagi sih, Ti..?’ Ibu sudah begitu lelahnya.

‘Kan, mana saya tahu ya? Si Mas pengen makan udang. Sambel goreng udang pakai pete. Yah, mana saya tau. Rasanya keasinan. Dia gak suka asin.’

Ibu memalingkan mukanya, dia bahkan tidak tahu lagi mau menangis atau marah.

Kejadian seperti itu sering, dan berulang-ulang. Beberapa kali, saat dia sedang ada di rumah kami, si supir taksi datang dan membentak-bentak. Menyuruh istrinya pulang.

‘PEREMPUAN MACAM MANA KAMU! LAKINYA PULANG MALAH ASIK NGRUMPI!’

LAKI MACAM MANA YANG MINTA DI KASIH MAKAN SAMA PEREMPUAN?

Dia berbalik, mengepalkan tangannya.

Supir taksi melihat ibu saya, lalu mengacungkan jari.

‘HEH, BU HAJI!!’ Katanya. ‘AJARIN TUH ANAKNYA NGOMONG YANG SOPAN SAMA TAMU!’

‘Kalau tamu itu, ucap salam ketuk pintu bicara yang santun. Bukan berdiri di depan pagar tereak-tereak seperti itu, kan?’

Dia pergi menyeret istrinya. Ibu melotot kepada saya.

‘Nanti, kalau dia dipukulin, gimana?’

Beberapa minggu kemudian, kejadian yang sama terulang lagi. Perempuan itu sedang membantu kami yang mengadakan hajatan. Memasak di dapur. Suaminya datang, berteriak-teriak. Ibu saya keluar rumah.

‘Dia lagi bantu saya. Dibayar. Pake uang.’

Dia pergi bersungut-sungut. Katanya sudah lapar. Perempuan itu pergi dengan dibekali nasi dan lauk-pauk serta upah kerjanya. Saat itu, sekitar pukul 10 pagi. Saat maghrib berakhir, kampung kami yang tenang tau-tau ramai. Polisi dimana-mana. Anak-anak kegirangan mengerubungi garis kuning polisi yang melintang, seperti di film. Hanya ini kejadian nyata.

Orang-orang bicara.

Pemilik kontrakan mulai curiga saat mendengar suara orang merintih-rintih dari dalam salah satu kontrakannya, tapi dia tunggu sampai ba’da maghrib. Masih tidak ada tanda pintu mau dibuka, si pemilik kontrakan mendobrak pintu. Perempuan itu di lantai, terkapar, telanjang, bersimbah darah, merintih-rintih.

Suaminya sudah pergi dari ba’da ashar tadi, mengunci istrinya di kamar dengan bibir yang sobek besar. Bibir di mukanya, juga bibir vaginanya. Beberapa tulang rusuk retak. Entah apa lagi yang jelas kata orang-orang, dia hampir mati.

Polisi dan ambulan, juga beberapa kru TV. Katanya sih, kejadian ini sempat masuk buser SCTV.

Keluarga perempuan itu menarik tuntutan. Mereka hanya ingin membawanya pulang. Mengembalikannya ke pelukan ibunya di desa.

Saya kira, kisah ini berakhir sampai disini.

Hidup, jalan terus. Saya lulus kuliah dan bekerja. Beberapa saat kemudian, pindah ke pinggir Jakarta berbatasan dengan kabupaten Bogor. Suatu saat, ibu menelpon. Menyuruh saya untuk tidak memberikan alamat saya kepada perempuan itu atau memberi apapun khususnya uang.

Rumah keluarganya berada di Bogor.

‘Gini, ya Al,’ ibu saya. ‘keluarganya itu sengaja, gak ngasih dia uang sepeserpun. Nanti dia balik lagi ke Jakarta. Maunya balik lagi terus. Ngumpet-ngumpet telpon suaminya. Dia minta-minta uang ke sana ke mari pengen balik ke Jakarta. Dia itu, dari tengah kota aja bisa jalan kaki sampai ke rumah, ingat gak? Jangan-jangan, dia jalan kaki sampai ke mess kamu buat pinjem duit.’

Ya, tentu. Tapi bagaimana nanti kalau tiba-tiba dia ada di depan pintu saya? Apakah saya akan menyuruhnya pulang tanpa sepeser uang? Bagaimana? Saya berani bertaruh, tidak akan tega. Ibu saya pun begitu.

Siapa yang tega? Anak satu-satunya perempuan itu juga tidak tega melihat ibunya duduk melongo di rumah nenek tidak melakukan apa-apa. Sang anak, yang saat itu masih SMU, memberikan sebagian uang sakunya. Dua ribu tiga ribu buat ibunya. Buat sekedar beli bakso, pikir anaknya. Atau es cendol. Siapa sangka, uang dua ribu tiga ribu ini dikumpulkan perempuan itu dengan hati-hati dan cermat. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.

Dia kembali ke Jakarta, tiba di rumah kami. Menyapa ibu yang sedang duduk serius mempelajari perjanjian-perjanjian dan surat-surat tanah.

Dia tersenyum, ibu melongo.

Itu hampir tiga tahun yang lalu.

Saat ini, dia kembali ke kontrakan yang dulu. Tetap sama. Suaminya datang dan pergi, dia semakin kurus. Ada hari-hari dia berjalan gontai dengan lebam-lebam yang sudah mulai menghitam. Kadang-kadang, pinjam uang untuk makan. Biasanya, itu kalau suaminya datang. Dia selalu tidak punya sepeserpun uang. Suaminya mengambil, bahkan sampai seratus-ratus rupiah.

‘Ti, kenapa…?’

Ibu duduk di depannya, menatap dalam ke matanya. Dia melelehkan air mata. Ada lebam baru di pelipisnya.

‘Ti.. Kenapa..?’ suara ibu semakin lirih.

‘Habis, gimana lagi ya Ta. Aku, udah cinta..’

Saya menatap wajah ibu yang menatap wajah kawan baiknya. Ada pandangan sayang, marah, terkejut dan tidak percaya. Tapi yang terbesar adalah bingung. Saya menatap wajah ibu beberapa saat. Saya berani bertaruh, wajah saya sama dengan wajah ibu.

Kenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapa??????????????????

1 komentar:

  1. ya ampuuunnnn!...
    keselkeselkesel!!!!
    *jedot-jedotin jidat ke tembok

    -tweet

    BalasHapus